Oleh Fadly A Safaa, Jaksa Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara
Pemberitaan yang menarik baru-baru ini mengenai penanganan perkara Tindak Pidana Korupsi Tata Niaga Komoditas Timah di Wilayah IUP PT Timah Tbk Tahun 2015–2022 yang melibatkan dan menempatkan Harvey Moeis selaku terdakwa telah divonis hukuman pada tingkat pertama selama 6,5 tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, yang kemudian hukuman pidana penjara diperberat oleh Pengadilan Tinggi Jakarta menjadi 20 tahun penjara, kemudian Harvey Moeis mengajukan kasasi atas Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta tersebut namun ditolak oleh Mahkamah Agung (MA) / menguatkan putusan pengadilan tinggi sehingga perkara dinyatakan berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
Menariknya dalam kasus ini berlanjut pada permohonan keberatan oleh sandra dewi (istri terdakwa harvey moeis) terhadap kejaksaan selaku termohon yang diajukan kepada pengadilan dengan register nomor perkara 7/Pid.Sus/Keberatan/Tpk/2025/Pn.Jkt, dalam dokumen permohonan keberatan dari Sandra dewi selaku pihak pemohon menyatakan bahwa aset yang disita diperoleh secara sah dan tidak memiliki keterkaitan dengan tindak pidana korupsi dan mengklaim sebagai pihak ketiga beritikad baik sebagaimana Pasal 19 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi sehingga meminta pengembalian sejumlah aset yang telah disita oleh penyidik berupa 88 tas mewah senilai Rp14,17 miliar, empat kaveling properti di Permata Regency, Tabungan yang diblokir, Rumah di Kebayoran Baru dan Gading Serpong, Perhiasan dan hadiah ulang tahun berupa mobil Rolls-Royce.
Menurut ketentuan Pasal 19 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dan ditambah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2021 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, menyebutkan :
Putusan pengadilan mengenai perampasan barang-barang bukan kepunyaan terdakwa tidak dijatuhkan, apabila hak-hak pihak ketiga yang beritikad baik akan dirugikan
Dalam hal putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) termasuk juga barang pihak ketiga yang mempunyai itikad baik, maka pihak ketiga tersebut dapat mengajukan surat keberatan kepada pengadilan yang bersangkutan, dalam waktu paling lambat 2 (dua) bulan setelah putusan pengadilan diucapkan di sidang terbuka untuk umum
Pengajuan surat keberatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan
Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), hakim meminta keterangan penuntut umum dan pihak yang berkepentingan
Penetapan hakim atas surat keberatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat dimintakan kasasi ke Mahkaman Agung oleh pemohon atau penuntut umum.
Dalam penjelasan Pasal 19 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dan ditambah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2021 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, menyebutkan pasal tindak pidana sebagaimana dimaksud Ayat (1), Ayat (2), Ayat (4) dan Ayat (5) Cukup jelas, terkecuali Ayat (3) yang menyebutkan : apabila keberatan pihak ketiga diterima oleh hakim setelah eksekusi, maka negara berkewajiban mengganti kerugian kepada pihak ketiga sebesar nilai hasil lelang atas barang tersebut.
Proses acara keberatan dengan dasar Pasal 19 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dan ditambah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2021 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung nomor 2 tahun 2022 tentang tata cara penyelesaian keberatan pihak ketiga yang beritikad baik terhadap putusan perampasan barang bukan kepunyaan Terdakwa dalam perkara tindak pidana korupsi.
Kedudukan Hukum atau legal standing dalam Pasal 19 Ayat (1) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi pemohon diletakkan sebagai “pihak kite yang beritikad baik”, dalam penjelasan Pasal 19 Ayat (1) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi secara eksplisit tidak menjelaskan siapa yang dimaksud pihak ketiga yang beritikad baik, namun dalam ketentuan pasal 1 butir 3 peraturan mahkamah agung nomor 2 tahun 2022 menyebutkan pihak ketiga yang beriktikad baik adalah pihak yang dapat membuktikan sebagai pemilik yang sah, pengampu, wali dari pemilik barang, atau kurator dalam perkara kepailitan atas barang-barang yang tidak ada kaitannya secara hukum dalam proses terjadinya tindak pidana korupsi.
Dalam beberapa tafsir secara autentik menurut ketentuan KUHPerdata maupun peraturan lainnya, Pengampu (Curatele) secara umum diatur dalam Pasal 433 KUH Perdata, yang menyatakan setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan perwalian diatur dalam Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan yang menyatakan anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah kekuasaan wali.
Menurut pasal 1 butir 5 UU No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU PKPU), Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh Pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta Debitor Pailit di bawah pengawasan Hakim Pengawas sesuai dengan Undang-Undang ini.
Sedangkan definisi mengenai pemilik yang sah tidak diatur secara eksplisit dalam suatu ketentuan, namun dapat dimaknai secara ekstensif pemilik sah sebagaimana terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata): Pasal 570 KUHPerdata mendefinisikan hak milik sebagai hak untuk menikmati kegunaan suatu benda secara bebas dan berbuat bebas terhadapnya dengan kedaulatan penuh, asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang, dan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 mengatur hak-hak atas tanah, seperti hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan. Pasal 20 UUPA menegaskan bahwa hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang bisa dimiliki oleh individu atau badan hukum tertentu.
Sehingga paling mungkin pemohon mengajukan keberatan dengan alasan selaku pemilik yang sah.
Sedangkan Perjanjian Pisah Harta diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam UU Perkawinan, Perjanjian Pisah Harta diklasifikasikan sebagai Perjanjian Perkawinan yang diatur dalam Pasal 29 ayat (1) yang menyebutkan :
“Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.”
Perjanjian pisah harta dilakukan dengan akta notaris, tetapi perjanjian semacam ini tidak bisa disahkan jika melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan. Selain itu, perjanjian berlaku sejak pernikahan berlangsung dan tidak bisa diubah kecuali atas kesepakatan kedua pihak.
Namun apakah hal tersebut relevan dengan pembuktian terutama menyangkut dengan terpenuhinya ketentuan pasal 12 peraturan mahkamah agung, sebagai berikut :
Pemohon memperoleh hak atas Barang objek permohonan sebelum dilakukan penyidikan dan/ atau penyitaan;
Pemohon memperoleh hak atas Barang objek permohonan berclasarkan iktikacl baik;
Objek Keberatan merupakan Barang yang dirampas atau dimusnahkan dalam perkara tindak pidana korupsi; dan
Pemohon tidak terkait dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh terdakwa
Dalam hal Pemohon tidak dapat membuktikan dalil permohonannya, maka majelis hakim dapat menolak permohonan keberatan tersebut.
Point pertama mdenyebutkan pemohon berkwajiban membuktikan memperoleh hak atas barang objek permohonan sebelum dilakukan penyidikan dan/ atau penyitaan, dalam praktek hampir semua penyitaan yang dilakukan oleh penyidik atas barang bergerak ataupun tidak bergerak sebelum dilakukan penyidikan sehingga idealnya peraturan tersebut redaksionalnya berbunyi sebelum terjadinya tindak pidana yang memungkinkan pihak ketiga mengajukan keberatan.
Point terakhir yang tidak kalah penting dalam peraturan ini menyebutkan pemohon memiliki kewajiban untuk membuktikan pemohon tidak terkait dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh terdakwa, dalam kasus a quo bila melihat status Sandra dewi selaku pemohon yang mengajukan keberatan memiliki keterkaitan dengan proses penanganan perkara mulai dari tingkat penyidikan hingga persidangan.
Karena sebagai saksi dan bila melihat posisi Sandra dewi selaku pemohon memiliki hubungan dengan terdakwa Harvey Moeis yakni selaku istri terdakwa terlebih dahulu dalam pembuktian penuntut umum selaku termohon dapat membuktikan telah terjadi percampuran harta dengan hasil tindak pidana korupsi sehingga probabilitas atau prediksibilitas permohonan keberatan tersebut cenderung untuk ditolak oleh hakim yang menyidangkan perkara tersebut.(***)