Oleh: Muhammad Khoidir, Mahasiswa S2 Jurusan PKn Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung.
Apa jadinya jika guru memprovokasi siswa berdemo atas dasar disinformasi? Apakah ini ekspresi kritis, atau eksploitasi relasi kuasa?
Pada 21 Juli 2025, ruang publik dikejutkan oleh demonstrasi siswa SMAN 2 Wangi-wangi yang menuduh kepala sekolah melakukan penyalahgunaan dana BOS. Aksi ini semula dipuji sebagai keberanian moral siswa dalam bersuara. Namun publik terbelah ketika seorang guru menyatakan diri sebagai “provokator” dari aksi tersebut. Di luar dari dasar analisis anggaran dan hukum yang keliru dan tidak berdasar, peristiwa ini mengundang pertanyaan penting: apakah ini buah dari pendidikan politik yang sehat, atau justru bentuk politik kekuasaan yang menyamar sebagai pendidikan?
Untuk menjawabnya, kita perlu membedakan secara tajam dua istilah yang kerap tertukar: politik pendidikan dan pendidikan politik. Keduanya berbeda secara definisi, orientasi, dan implikasi terhadap posisi siswa, otoritas guru, dan makna sekolah itu sendiri.
Politik Pendidikan: Ketika Sekolah Menjadi Alat Politis
Gagasan tentang politik pendidikan sesungguhnya telah lama hadir dalam khazanah pemikiran filsafat politik. Aristoteles (384–322 SM) dalam karyanya Politics, menyatakan bahwa pendidikan publik perlu diatur oleh negara, baik demi kepentingan moral maupun politis. Artinya, sejak awal, pendidikan memang dimaknai sebagai sarana pembentukan warga negara yang sesuai dengan nilai-nilai yang dijunjung oleh negara.
Pemikiran ini berkembang dalam tradisi kontemporer, salah satunya oleh David Easton (2014) yang memandang pendidikan sebagai instrumen sosialisasi politik, tempat di mana generasi muda diperkenalkan pada nilai-nilai dominan untuk menjaga keberlangsungan sistem sosial-politik. Sekolah dalam kerangka ini berfungsi sebagai perpanjangan tangan negara untuk menanamkan orientasi politik tertentu.
Namun perlu ditekankan bahwa dalam politik pendidikan, siswa bukan pelaku politik, melainkan objek dari kebijakan pendidikan. Politik pendidikan lebih berbicara tentang bagaimana nilai-nilai politik negara diterjemahkan ke dalam kebijakan kurikulum, tata kelola pendidikan, dan arah pembangunan karakter. Sebagimana dalam pandangan H.A.R. Tilaar (2009), politik pendidikan menyangkut proses perumusan, pelaksanaan, dan evaluasi kebijakan yang melibatkan aktor-aktor negara, birokrat pendidikan, dan lembaga legislatif. Bukan siswa.
Pendidikan Politik: Tujuan Emansipatoris yang Terstruktur
Sebaliknya, pendidikan politik adalah proses pedagogis yang bertujuan membentuk warga negara yang kritis, rasional, dan etis. Menurut Robert Brownhill dan Patricia Smart (1989), pendidikan politik yang sehat membekali siswa dengan pemahaman mendalam tentang sistem politik, kemampuan berpikir reflektif, dan etika berpartisipasi dalam ruang publik.
Pemikiran ini sejalan dengan gagasan besar Paulo Freire dalam karya-karyanya yakni: The Politics of Education: Culture, Power and Liberation dan Pedagogy of the Oppressed. Freire menolak “pendidikan gaya bank”, yakni model pendidikan yang hanya “mengisi” kepala siswa dengan informasi tanpa memberi ruang untuk berpikir kritis. Bagi Freire, pendidikan harus membebaskan kesadaran, bukan mereproduksi kepatuhan terhadap struktur yang menindas. Pendidikan politik sejati adalah ruang dialog, bukan ruang doktrinasi.
Namun demikian, pendidikan politik tidak bisa diberikan sembarangan. Ia harus disusun secara bertahap dan metodologis, mengikuti perkembangan usia, moralitas, psikologi, dan lingkungan sosial budaya siswa. Dalam hal ini, pendekatan kurikulum spiral menjadi relevan, sebagaimana diajukan oleh Jerome Bruner (1960), di mana konsep-konsep diperkenalkan secara berulang dan meningkat kompleksitasnya seiring bertambahnya kematangan intelektual siswa.
Ketika Pendidikan Politik Dirusak oleh Politik Kekuasaan
Demonstrasi siswa SMAN 2 Wangi-wangi mencerminkan kondisi yang justru bertentangan dengan semangat pendidikan politik yang sehat. Aksi tersebut tidak lahir dari kesadaran kritis yang terbangun melalui proses pedagogis yang panjang, melainkan digerakkan oleh provokasi seorang guru yang menyalahgunakan otoritasnya. Dalam hal ini, siswa tidak lagi ditempatkan sebagai subjek pembelajaran politik, melainkan dijadikan objek dalam permainan kekuasaan yang tidak mereka pahami secara utuh.
Inilah titik paling genting ketika pendidikan politik tidak dibangun secara metodologis dan etis. Pendidikan yang seharusnya mengasah nalar, justru menjadi alat mobilisasi. Guru yang seharusnya menjadi pendamping emansipatoris, malah berubah menjadi operator kepentingan yang membajak ruang belajar menjadi ruang agitasi. Dalam situasi semacam ini, sekolah kehilangan fungsi deliberatifnya sebagai tempat pembentukan nalar publik, dan berubah menjadi panggung konflik sosial yang direkayasa.
Bahaya semacam ini menjadi semakin nyata ketika kita melihat usia dan kondisi psikososial siswa yang masih dalam tahap perkembangan. Secara hukum, mereka belum cakap hukum; secara psikologis, mereka masih rentan terhadap pengaruh eksternal dan tekanan kelompok. Ketika mereka didorong untuk mengekspresikan sikap politik tanpa pemahaman atas struktur, data, dan konsekuensinya, maka yang terjadi bukan pendidikan politik melainkan eksploitasi pedagogis yang sangat merusak.
Penyalahgunaan relasi kuasa oleh guru atau otoritas pendidikan dalam konteks ini menciptakan asimetris kuasa dan distorsi moral, di mana siswa dipaksa atau diarahkan ke dalam konflik yang bukan berasal dari kehendak bebas mereka. Ini merupakan bentuk kekerasan simbolik yang terselubung, sebagaimana dikemukakan oleh Pierre Bourdieu, di mana dominasi berlangsung bukan melalui kekerasan fisik, melainkan melalui manipulasi makna dan pengetahuan yang tidak disadari oleh korbannya. Ketika pengetahuan dan emosi siswa dipelintir demi kepentingan pragmatis, maka pendidikan kehilangan kredibilitas epistemiknya.
Lebih jauh lagi, dampaknya tidak berhenti pada satu insiden. Yang paling berbahaya adalah kerusakan kepercayaan baik terhadap guru, sekolah, maupun institusi pendidikan secara umum. Sekali anak-anak mulai melihat sekolah sebagai tempat manipulasi, bukan pembelajaran; sebagai sarana konflik, bukan ruang dialog; maka retakan epistemik dan etis itu bisa tumbuh menjadi krisis institusional. Dalam jangka panjang, kita sedang menghadapi ancaman delegitimasi lembaga pendidikan sebagai tiang penyangga moral publik.
Pendidikan politik adalah proses mulia yang bertujuan membentuk warga negara kritis dan etis, namun hanya jika dijalankan dengan tanggung jawab pedagogis dan etika profesional. Ketika guru justru menjadi aktor politik praktis dan memanfaatkan usia labil siswa sebagai alat konflik, maka yang terjadi bukan pembebasan, melainkan reproduksi penindasan dalam wujud baru.
Sudah saatnya kita menempatkan pendidikan politik dalam kerangka pembinaan kesadaran, bukan mobilisasi partisan. Jika tidak, sekolah akan kehilangan makna sejatinya sebagai ruang tumbuh, dan berubah menjadi panggung kekuasaan yang penuh disinformasi.(***)