160 x 600 AD PLACEMENT
160 x 600 AD PLACEMENT

Menunggu Gerakan Mahasiswa Sulawesi Tenggara Menghadapi Krisis Tambang: Dari Disorientasi ke Kesadaran Sejarah

RESTIANRICK BACHSJIRUN – Ketua Umum Perhimpunan Revolusioner Nasional (PRN). (Foto: koleksi pribadi)

Oleh: RESTIANRICK BACHSJIRUN

Ketua Umum Perhimpunan Revolusioner Nasional (PRN)

——————–

Bara Tambang, Sunyi Kampus

Indonesia bukan hanya negeri kaya sumber daya alam, tetapi juga kaya sejarah perlawanan. Dan dalam sejarah itu, mahasiswa selalu berdiri di garis depan, menjadi suara bagi yang dibungkam, menjadi nyala bagi yang dilupakan.

Namun kini, di tengah bara api pertambangan yang membakar tanah Sulawesi Tenggara—kampus justru senyap. Mahasiswa yang dulu menggugat negara, kini diam menyaksikan rakyatnya ditenggelamkan oleh lumpur nikel dan janji palsu pembangunan.

Bumi Sulawesi Tenggara tengah menangis. Hutan-hutan ditebang, sungai menghitam oleh limbah, laut memerah oleh minyak. Desa-desa hilang dari peta, digantikan oleh jalan hauling, pelabuhan ore, dan pagar-pagar tambang yang mencaplok hak hidup orang kampung.

Di balik jargon “investasi dan pertumbuhan”, rakyat justru diusir dari tanahnya sendiri, dijauhkan dari sumber airnya, dan dikutuk menjadi penonton atas kemakmuran yang hanya dinikmati segelintir elite dan korporasi.

“Apakah kalian membangun, atau menghancurkan?” “Apakah kalian berjuang, atau sedang bersembunyi di balik layar seminar dan selfie organisasi?” Pertanyaan ini bukan sekadar retoris. Ia adalah cermin sejarah, yang memantulkan wajah generasi mahasiswa hari ini.

Di masa lalu, mahasiswa mengguncang kekuasaan Soekarno pada 1966, menggugat Soeharto pada 1978 dan 1998, dan memaksa rezim otoriter membuka ruang demokrasi. Mereka berdarah di jalanan, mendeklamasikan sajak-sajak kebenaran di tengah peluru karet dan gas air mata. Mereka mengusung rakyat, bukan kepentingan pribadi. Mereka hidup dalam idealisme, bukan kenyamanan birokrasi kampus atau tawaran sponsorship.

Namun kini, di saat bumi Sultra dilukai hari demi hari oleh tambang-tambang rakus, di mana mahasiswa? Apakah sedang sibuk mencetak sertifikat pelatihan digital marketing? Atau sedang berdebat tentang siapa calon legislatif paling estetik di Instagram? Krisis kita hari ini bukan hanya soal tambang.

Ini adalah krisis kesadaran. Mahasiswa lupa siapa dirinya. Lupa bahwa dalam dirinya mengalir darah sejarah yang tak tunduk pada kekuasaan. Lupa bahwa gelar “mahasiswa” bukan sekadar status akademik, tapi panggilan sejarah. Dan selama mahasiswa diam, tambang akan terus menggali bukan hanya tanah, tapi juga masa depan rakyat Sulawesi Tenggara.

Barang siapa tak mampu marah terhadap ketidakadilan, maka ia telah mati sebelum mati.” – Ali Syariati.

Maka artikel ini adalah seruan, bukan sekadar tulisan. Seruan untuk menggugah kembali semangat yang lama tertidur. Seruan untuk menghidupkan kembali api sejarah di dada mahasiswa. Karena rakyat tidak butuh mahasiswa yang pintar membuat proposal acara—mereka butuh mahasiswa yang berani melawan ketidakadilan, menulis sejarah baru, dan bersaksi di tengah reruntuhan tambang.

Inilah waktunya mahasiswa Sultra menjawab panggilan tanahnya sendiri. Bukan sebagai pengamat. Bukan sebagai pelengkap acara. Tapi sebagai subjek perubahan, penjaga nilai, dan pengemban amanah kemerdekaan.

Refleksi Sejarah: Mahasiswa dan Tradisi Melawan 

Dalam setiap denyut sejarah bangsa ini, mahasiswa selalu menjadi percik pertama api perubahan. Di saat kekuasaan membatu, dan suara rakyat dibekukan oleh represi atau disesatkan oleh ilusi pembangunan, mahasiswa berdiri sebagai saksi dan sekaligus pelaku.

Mereka bukan hanya menuliskan sejarah—mereka adalah sejarah itu sendiri. Dari kampus yang sunyi, suara mereka menggema ke jalanan, menyulut gelombang rakyat, dan menjebol dinding ketakutan. Di titik inilah, mahasiswa tampil bukan sebagai anak didik biasa, melainkan sebagai “agent of change,” “moral force,” dan “guardian of truth”.

Tahun 1966 menjadi titik awal mahakarya politik mahasiswa Indonesia. Dalam suasana penuh ketidakpastian pasca-G30S, mereka bukan sekadar bergerak—mereka mengguncang fondasi kekuasaan. Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) menjadi wajah gerakan yang menuntut turunnya Soekarno dan pembubaran PKI.

Mereka menuntut kebenaran di tengah kabut propaganda dan represi, dengan nyawa dan integritas sebagai taruhannya (Aspinall, 2005). Kemudian datang gelombang 1978–1979, saat Orde Baru mulai menancapkan kuku besi pembangunanisme yang antikritik.

Mahasiswa kembali bangkit, kini dengan wajah lebih reflektif dan terdidik. “NKK/BKK” (Normalisasi Kehidupan Kampus) diterapkan untuk melumpuhkan gerakan kampus, namun semangat tak pernah mati. Di banyak kota, mimbar bebas tetap hidup, dan kajian filsafat perlawanan menjelma menjadi rumah bagi pemikiran kritis.

Lalu tibalah Reformasi 1998. Tembakan dan gas air mata tak menghalangi mahasiswa yang menggelar long march dari kampus ke gedung parlemen. Mereka tidak sekadar menumbangkan Soeharto, mereka merobohkan tembok otoritarianisme. Inilah babak saat suara kampus menjadi suara rakyat. Di saat partai politik kompromistis, mahasiswa menjadi oposisi terakhir yang murni.

Mahasiswa tidak punya senjata, tapi mereka punya kebenaran. Dan kebenaran itu cukup untuk menggerakkan sejarah.”—Tan Malaka (Madilog, 1943).

Namun kini, setelah dua dekade reformasi, pertanyaan besar menggantung di udara: Di mana mahasiswa hari ini? Terutama di Sulawesi Tenggara, ketika tambang-tambang rakus mencabik-cabik bumi leluhur, mengusir petani, menenggelamkan dusun, dan meracuni laut.

Apakah mahasiswa sekadar sibuk dengan proposal program kampus dan konten media sosial? Atau terjebak dalam rutinitas organisasi yang kehilangan makna perjuangan? Filsuf Amerika Herbert Marcuse menyebut kondisi ini sebagai bentuk “repression of consciousness”—kesadaran sosial ditekan oleh budaya konsumtif, teknokratis, dan pencitraan massal (Marcuse, 1964).

Mahasiswa bukan lagi pemberontak, melainkan pengelola status quo. Dalam teori Gramsci, inilah dominasi hegemonik: rakyat (termasuk mahasiswa) tidak lagi sadar sedang ditindas, karena penindasan dibungkus dengan legitimasi moral dan bahasa pembangunan (Gramsci, 1971).

Kini, tantangan mahasiswa bukan lagi menumbangkan rezim diktator, tetapi menghadapi rezim pasar: oligarki tambang yang mengendalikan legislasi, media, bahkan kampus. Kekuasaan tidak lagi memukul, tetapi memeluk—dan dari pelukan itu lahir generasi yang diam dan nyaman, lupa bahwa diam juga adalah bentuk pengkhianatan.

Namun harapan belum musnah. Dari kampus-kampus kecil di pelosok Konawe, Kolaka, Bombana, dan Buton, semestinya dapat muncul kembali bara itu. Bara yang menyulut gerakan intelektual yang membumi, berpihak pada rakyat, bukan sekadar elitisme akademik.

Gerakan mahasiswa yang tidak hanya marah, tapi juga tahu mengapa mereka marah, dan kepada siapa mereka berpihak. Sudah saatnya mahasiswa Sulawesi Tenggara membaca kembali sejarahnya bukan sebagai nostalgia, tetapi sebagai cermin dan kompas.

Mereka mesti kembali kepada akar: berpikir, merasa, dan bergerak bersama rakyat. Mereka harus menjadi penjaga bumi, bukan sekadar penonton seminar. Karena tambang tidak akan berhenti merusak, sampai ada generasi yang cukup berani untuk berkata: “Kami tidak akan diam.”

Krisis Tambang, Krisis Rakyat: Luka yang Menjelma Menjadi Neraka Diam-diam.

Ketika tambang mulai menggali tanah Sulawesi Tenggara, yang keluar bukan sekadar nikel atau batu bara—tetapi juga tangisan, kehilangan, dan pengkhianatan. Di balik klaim kemajuan dan investasi, tersembunyi jejak panjang pelanggaran hak asasi manusia, kehancuran ekologis, dan perampasan masa depan. Inilah wajah sejati dari apa yang disebut oleh banyak pemikir pascakolonial sebagai “kolonialisme baru”—bukan dengan senjata, tapi dengan kontrak tambang dan izin usaha. “Penjajahan gaya baru tidak selalu memakai baju militer. Ia kini memakai jas direksi, pasal-pasal hukum, dan spanduk CSR.”

Data tidak bisa berbohong, meskipun sering dibungkam. Di Sulawesi Tenggara, tumpang tindih Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan kawasan hutan lindung dan tanah adat telah menjadi skandal yang nyaris sistemik.

Komnas HAM (2023) mencatat bahwa banyak perusahaan tambang tidak menghormati hak-hak komunitas adat seperti Tolaki, Mekongga, dan Moronene, yang telah hidup berabad-abad menjaga hutan, sungai, dan nilai budaya mereka. Kini, mereka terusir tanpa musyawarah, tanpa kompensasi, tanpa martabat.

Alih fungsi lahan sering terjadi tanpa prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC), melanggar semangat keadilan ekologis dan sosial. Dalam filsafat Islam, tindakan semacam ini adalah bentuk fasād fīl-ardh—kerusakan yang disengaja terhadap tatanan kehidupan, sebagaimana dikecam dalam QS. Al-Baqarah: 205.

Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berusaha membuat kerusakan di muka bumi dan membinasakan tanaman-tanaman serta keturunan; dan Allah tidak menyukai kerusakan” (QS. Al-Baqarah: 205).

Di lapangan, ekspansi pertambangan nikel telah menghancurkan Daerah Aliran Sungai (DAS), mencemari sumber air, dan menyebar partikel logam berat di udara yang dihirup setiap hari oleh warga desa. Laporan KLHK (2024) mengungkapkan bahwa lebih dari 40% DAS di sekitar tambang mengalami degradasi berat, mengganggu pertanian, perikanan, bahkan air minum masyarakat.

Ironisnya, semua ini terjadi ketika Sultra menyumbang lebih dari 30% produksi nikel nasional. Namun kemiskinan tetap mencengkeram kuat desa-desa di lingkar tambang. Data BPS (2024) menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan di Kecamatan Pomalaa, Routa, dan Wawonii masih di atas 15%, jauh dari narasi kemajuan yang dijanjikan para pemangku kebijakan.

Ini bukan lagi paradoks pembangunan—ini adalah pengkhianatan struktural. Perusahaan tambang menjanjikan lapangan kerja, namun justru membawa masuk ribuan tenaga kerja asing (TKA), terutama dari Tiongkok, untuk posisi teknis dan manajerial. Sementara itu, anak-anak lokal hanya menjadi buruh kasar, digaji murah, dan terpapar risiko kesehatan tinggi.

Ini adalah bentuk alienasi modern: manusia dipisahkan dari tanahnya, dari kebanggaannya, dan dari makna kerja yang sejati. Lebih jauh lagi, tata kelola pertambangan di Sultra masih keruh dan penuh jebakan korupsi. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat peningkatan drastis kasus suap dan gratifikasi pertambangan antara 2020–2024, termasuk dugaan kasus yang sedang ditangani oleh KPK dan Kejati.

Suatu realitas yang membenarkan teori Hannah Arendt tentang “banalitas kejahatan”—bahwa kejahatan terbesar sering terjadi bukan karena kebencian, tapi karena rutinitas birokrasi yang tanpa empati dan nurani (Arendt, 1963).

Pascapengesahan UU No. 3 Tahun 2020 tentang Minerba, kewenangan pemerintah daerah dalam mengelola izin tambang dicabut, dan semua dikendalikan pusat.

Akibatnya, masyarakat adat kehilangan akses dan ruang advokasi formal. Mereka kini berhadapan dengan negara yang jauh dan perusahaan yang kuat—tanpa mediator, tanpa perlindungan hukum yang nyata.

Maka inilah krisis kita hari ini dan sekaligus agenda aksi bagi gerakan mahasiswa:

• Krisis hukum, karena negara berubah menjadi fasilitator modal, bukan pelindung warga.

• Krisis ekologis, karena alam dijadikan objek eksploitasi, bukan bagian dari sistem kehidupan.

• Krisis moral, karena pemimpin lokal dan nasional lebih sibuk menjual izin daripada mendengarkan jeritan rakyat.

• Krisis politik, karena suara rakyat diabaikan, dan suara mahasiswa diredam oleh kebisingan platform dan karier organisasi.

Jika mahasiswa tidak melihat tambang sebagai persoalan eksistensial, maka mereka telah buta. Tambang bukan hanya soal ekonomi—ia adalah soal kemerdekaan manusia atas tanah, air, udara, dan masa depannya sendiri. Dan setiap hari kita menunda perlawanan, adalah satu hari lagi bumi kita digali, dan harapan kita dikubur bersama nikel yang mereka ekspor ke luar negeri.

Disorientasi Mahasiswa dan Fragmentasi Gerakan: Gagap Intelektual di Tengah Badai Sejarah

Bangsa ini pernah diselamatkan oleh suara kampus. Ketika jalan-jalan macet oleh demonstrasi, ketika buku-buku menjadi senjata dan poster menjadi peluru kebenaran—mahasiswa tampil sebagai wajah moral bangsa. Namun kini, di era pasca-reformasi, wajah itu nyaris tak terlihat—yang tersisa hanyalah siluet semu: akun Facebook/Instagram organisasi, seminar tanpa nyali, dan kompetisi debat tanpa gagasan.

Kampus yang dulu menjadi benteng perlawanan, kini berubah menjadi korporasi akademik. Mahasiswa diperlakukan sebagai klien, bukan pemikir. Ruang-ruang diskusi diubah menjadi pusat karier atau pelatihan kerja. Visi kolektif tergantikan oleh ambisi individual. Gerakan berubah menjadi program, dan perlawanan digantikan oleh pencitraan.

Dulu kita membaca untuk membebaskan. Kini kita membaca hanya untuk lulus.” —Sebuah grafiti sunyi di dinding fakultas yang mulai mengelupas.Dalam istilah Paulo Freire, inilah wajah baru dari “pendidikan membungkam”—banking education—di mana mahasiswa hanya dijejali informasi tanpa kesadaran kritis (Freire, 1970).

Mereka lulus dengan indeks prestasi tinggi, tetapi tak bisa menjawab pertanyaan dasar: Untuk siapa ilmu ini? Untuk apa gelar ini? Di saat rakyat Sultra dirampas tanahnya oleh tambang, banyak mahasiswa bahkan tak mengenal nama-nama suku adat di kampung seberang, apalagi sejarah perlawanan mereka.

Kondisi ini diperparah oleh infiltrasi elite politik ke dalam organisasi mahasiswa. Orientasi kaderisasi bukan lagi membentuk pemikir pejuang, tapi menyiapkan politisi muda korporatif. Banyak organisasi kemahasiswaan kehilangan arah ideologis.

Mereka hanya menjadi tangga kekuasaan, bukan ruang perjuangan. Inilah yang disebut oleh Antonio Gramsci sebagai “crisis of hegemony”—di mana kelas terdidik gagal menawarkan gagasan baru, sehingga masyarakat terjebak dalam stagnasi politik dan kultural (Gramsci, 1971).

Sungguh mengkhawatirkan: banyak mahasiswa hari ini gagap total. Gagap dalam membaca realitas, gagap dalam mengartikulasikan gagasan, bahkan gagap dalam memaknai eksistensinya sendiri. Gagap dalam demokrasi, hukum, ekonomi, budaya, dan spiritualitas.

Mereka tak mampu membedakan antara hoax dan benar, antara viral dan visioner. Dalam istilah Ali Syariati, mereka menjadi “tubuh tanpa ruh”—jasad intelektual yang dikosongkan dari semangat pembebasan (Syariati, 1981).

Jika kondisi ini terus berlangsung, maka Indonesia sedang menuju krisis regenerasi kepemimpinan. Sebab bangsa ini bukan hanya membutuhkan pemimpin yang pintar—tapi pemimpin yang punya hati, nurani, keberanian, dan ketajaman berpikir.

Mahasiswa yang kehilangan orientasi berarti bangsa yang kehilangan arah sejarah. Namun, masih ada jalan. Jalan itu dimulai dari otokritik yang jujur dan menyakitkan:

• Sudahkah mahasiswa mengenal desanya sendiri?

• Sudahkah mereka membaca ulang sejarah 1966, 1978, dan 1998?

• Sudahkah organisasi mereka menjadi ruang belajar yang membebaskan?

• Ataukah mereka hanya menjadi sekumpulan proposal dan grup WhatsApp yang menua tanpa makna?

Rekonstruksi gerakan mahasiswa bukan sekadar kembalinya aksi turun jalan, tetapi membangun etika intelektual dan keberpihakan yang otentik. Mahasiswa harus kembali menjadi makhluk sosial-politik yang sadar dan merdeka.

Mereka harus belajar dari fikih pembebasan, teologi transformatif, dan humanisme radikal. Mereka harus kembali membaca buku bukan demi nilai, tapi demi bangsa. Mereka harus berdiskusi bukan untuk mencari menang, tapi untuk mencari arah.

Karena di tengah krisis seperti sekarang, yang dibutuhkan bukan hanya kemarahan, tapi juga kejelasan. Bukan hanya keberanian, tapi juga kebijaksanaan. “Bangsa ini sedang menunggu mahasiswa untuk bangkit. Jika mereka tetap tidur, maka sejarah akan mencatat mereka bukan sebagai pahlawan, tetapi sebagai generasi yang abai di saat rakyatnya menangis.”— Rebach: penggalan renungan di sepertiga malam.

Dari Mahasiswa ke Patriot Mujahid Rakyat: Menyulam Cinta Tanah Air Menjadi Gerakan Pembebasan

Sejarah bangsa Indonesia tidak pernah dibangun oleh orang-orang biasa. Ia dibangun oleh mereka yang memikul beban sejarah dengan cinta dan kesadaran, oleh mereka yang menyatu antara akal dan nurani, iman dan ilmu, pemikiran dan pengorbanan. Dalam setiap momentum perubahan, mahasiswa selalu hadir—bukan sebagai pengikut, tetapi sebagai penggerak.

Kini, di tengah luka ekologis dan pengkhianatan terhadap hak-hak rakyat Sulawesi Tenggara, kita tidak hanya memanggil kembali mahasiswa sebagai aktivis, tapi sebagai patriot—mujahid rakyat.

Patriotisme Bukan Milik Militer, Tapi Milik Mereka yang Setia pada Rakyat

Dalam banyak narasi publik, Prabowo Subianto dikenal sebagai sosok Patriot Bangsa. Julukan ini bukan semata karena rekam jejak militernya, tetapi karena gugus kesadaran historis dan nasionalisme eksistensial yang ia bangun dalam buku Paradoks Indonesia (2017)—bahwa kemerdekaan belum benar-benar menjamin keadilan, dan bahwa cinta tanah air bukan sekadar retorika, tetapi perjuangan membebaskan rakyat dari kemiskinan, keterasingan, dan perampasan hak-hak hidup.

Dalam konteks ini, patriotisme sejati bukan sekadar loyalitas kepada negara, tapi keberpihakan kepada rakyat. Ia adalah mereka yang bersedia memikul beban penderitaan bangsanya dan mengubahnya menjadi energi pembebasan. Ia adalah mereka yang, seperti generasi 1928, menyatukan keberagaman dalam satu jiwa: kesadaran mistis kebangsaan—bahwa tanah air adalah bagian dari diri, dan mencintainya adalah tugas spiritual.

-Iman yang Membebaskan, Bukan yang Meninabobokan -Gerakan mahasiswa hari ini tidak cukup hanya politis—ia harus juga berakar pada iman yang membebaskan.

Seperti dikatakan Ali Syariati, tugas utama manusia adalah melawan bentuk-bentuk penindasan struktural dalam nama Tuhan. Hamka mengajarkan bahwa tauhid adalah revolusi: membebaskan manusia dari penyembahan terhadap kuasa duniawi yang zalim.

KH Ahmad Dahlan mewariskan satu pesan agung: jangan pisahkan pendidikan dari penderitaan umat. Iman bukan sekadar ritual, tapi energi spiritual untuk membela yang tertindas, menyuarakan yang dibungkam, dan merawat bumi dari kerakusan manusia.

Dekat dengan Rakyat, Belajar dari Akar

Mahasiswa sejati bukanlah elit intelektual yang menjauh dari tanah. Mereka adalah bagian dari rakyat. Mereka turun ke desa-desa tambang, membuka sekolah rakyat, menyusun peta konflik agraria, menyuarakan krisis ekologi di forum-forum nasional dan internasional.

Dalam diri mereka, ilmu pengetahuan menyatu dengan advokasi, dan buku-buku menyatu dengan lumpur perjuangan. Kedekatan dengan rakyat bukan sekadar strategi politik, tapi pilihan etis. Sebab mahasiswa hanya akan relevan selama mereka berdiri bersama yang kecil, yang tertindas, yang disingkirkan oleh logika pasar dan kekuasaan tambang.

Etika Intelektual: Dari Kajian ke Aksi

Gerakan mahasiswa tidak bisa kuat tanpa fondasi ilmu yang tajam. Diperlukan kajian sistematis atas hukum pertambangan, agraria, dan hak asasi manusia. Dibutuhkan riset-riset partisipatif yang mengungkap siapa yang diuntungkan, siapa yang dikorbankan, dan bagaimana praktik hukum dibajak oleh oligarki.

Dalam istilah Gramsci, mahasiswa harus menjadi organik intellectuals—intelektual yang bukan hanya berpikir untuk elite, tapi membela rakyat yang disingkirkan oleh proses-proses hegemonik. Dan dalam kearifan Islam, ini adalah bagian dari amar ma’ruf nahi munkar—perintah ilahi untuk menegakkan keadilan dan menolak kerusakan di muka bumi.

Menuju Mujahid Rakyat: Jiwa yang Menyatu dengan Zaman

Kini saatnya mahasiswa Sulawesi Tenggara melahirkan kembali diri mereka—bukan sekadar sebagai aktivis kampus, tapi sebagai patriot mujahid rakyat. Mereka yang mendengar suara bumi yang digali dan air yang tercemar. Mereka yang tidak silau oleh Seminar, lomba, atau jabatan, tetapi menanam langkahnya di jalan sunyi perjuangan. Karena bangsa ini tidak membutuhkan pemuda yang pandai berbicara, tapi takut

bertindak. Bangsa ini tidak membutuhkan gelar sarjana yang gagap sejarah. Ia membutuhkan pewaris perjuangan—mereka yang membaca sejarah sebagai pelita, dan rakyat sebagai amanat.

“Mahasiswa bukan alat negara. Mahasiswa adalah suara bagi yang tak bersuara.”—Tan Malaka (1943).

Saatnya Mahasiswa Menjadi Api Sejarah

Setiap zaman memiliki api yang menggerakkan roda sejarahnya. Di masa revolusi fisik, api itu dinyalakan oleh para pemuda 1928 dan para santri pejuang kemerdekaan. Di era kediktatoran, nyala itu dipikul oleh mahasiswa angkatan 1966, 1978/79, 1980an dan 1998.

Maka hari ini, di tengah reruntuhan ekologi, perampasan tanah adat, dan persekongkolan kekuasaan dengan modal tambang yang mabuk laba, api sejarah itu kini ada di tangan mahasiswa Sulawesi Tenggara.

Mereka bukan sekadar saksi atas kerusakan, melainkan penentu arah zaman: Apakah akan menjadi penonton dari kehancuran peradaban tanah mereka, atau menjadi penulis dari babak baru kebangkitan rakyat?

Bangkit hari ini bukan berarti turun ke jalan semata. Bangkit berarti membangun gerakan yang cerdas, membumi, dan berpihak. Gerakan yang menjahit kesadaran sejarah, iman yang membebaskan, kedekatan dengan rakyat, dan kajian kritis atas hukum dan ekonomi ekstraktif yang kini menjarah bumi Sultra.

Bangkit berarti menghubungkan filsafat dan perlawanan, mengubah rasa malu menjadi keberanian, dan menjadikan kampus bukan menara gading, tapi dapur peradaban.

Jika hari ini mereka diam—maka laut yang asin akan menjadi air mata suku-suku yang terusir, hutan yang gundul akan menjadi nisan dari adat yang punah, dan gunung yang terkoyak akan menjadi saksi bisu atas pengkhianatan intelektual terhadap negeri sendiri.

Karena kita sedang berhadapan bukan lagi dengan penjajah asing, tapi dengan bentuk baru dari kolonialisme:

• Oligarki tambang yang merampas tanah

• Oligarki algoritma yang mencuri kesadaran

• Oligarki birokrasi yang memalsukan demokrasi

• Oligarki desa, kabupaten, hingga pusat yang memperdagangkan kedaulatan rakyat seperti saham di meja kekuasaan. Inilah sebabnya kita harus kembali pada kesadaran mistik kemerdekaan: bahwa

Revolusi Indonesia Belum Selesai. Seperti pernah ditulis oleh Tan Malaka dalam Madilog, “Kebebasan itu bukan diberi, tapi diperjuangkan.” Dan hari ini, tanah Sulawesi Tenggara sedang memanggil anak-anaknya—bukan untuk mengeluh, tapi untuk menyalakan kembali api sejarah.

Jika mahasiswa tidak menjadi api, maka sejarah akan ditulis oleh para penindas, dan masa depan akan diwarisi dalam luka.”Rebach: refleksi kontemporer atas semangat agent of change.*****

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like