MATALOKAL.COM, KENDARI – Proses hukum tiga anggota Polsek Poasia diduga melakukan penyiksaan terhadap warga saat melakukan penangkapan berinisial AC (26) berjalan lambat. Kasus itu ditangani Ditreskrimum Polda Sultra dan Propam Polresta Kendari.
Ketiga anggota Polsek Poasia terduga pelaku penyiksaan terhadap AC, yakni Panit 1 Intel, Aiptu Darwis Larema serta dua Banit Binmas Aipda Kaharuddin, dan Bripka La Ode Musra.
Ketiga personel ini belum ditetapkan sebagai tersangka apalagi ditahan oleh penyidik Subdit I Ditreskrimum Polda Sultra, sejak dilaporkan pada 29 Juli 2025 lalu, atau hampir 3 bulan kasus ini berjalan.
Penyidik telah menemukan dugaan tindak pidana penganiayaan secara bersama-sama dan telah menaikkan status perkara ke penyidikan berdasarkan surat perintah penyidikan nomor: SP.Sidik/2224/X/RES.1.6/2025 Ditreskrimum Polda Sultra 13 Oktober 2025.
Begitu pula proses pelanggaran kode etik profesi yang ditangani Propam Polresta Kendari setelah dilimpahkan dari Propam Polda Sultra. Laporan pelanggaran etik sendiri dilayangkan pads 25 Juli 2025 lalu, namun ketiga terperiksa belum disidang.
Ibu korban, WOH mengaku kecewa dengan kinerja kepolisian. Bahkan, lambatnya kasus yang dilaporkannya itu melukai rasa keadilan, bahkan polisi dinilai diskriminatif.
“Kalau pelakunya rakyat biasa cepat ditangkap dan ditahan, bahkan dipukul dan disiksa. Sementara kalau pelakunya polisi lambat. Ada apa ini, para pelaku saya liat masih bebas berkeliaran,” ungkap WOH.
Kuasa hukum korban, Joshua Gabriel menyebut, kasus ini lambat naik ke tahap penyidikan karena penyidik yang kerap beralasan surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) dan SP2HP belum ditandatangani.
“Alasannya kemarin lambat naik sidik, karena pimpinan mereka masih di Jakarta. Untuk saat ini juga belum ditetapkan tersangka karena masih periksa saksi-saksi,” beber Joshua, Senin (27/10/2025).
Sementara untuk kasus pelanggaran kode etik, menurut Joshua, Propam Polresta Kendari masih pembuktian motif termasuk apa saja yang dilakukan anggota ini untuk bisa diproses hukum.
“Kami juga menanyakan itu, tapi penyidik selalu minta kami sabar. Padahal kasus ini sudah 3 bulan,” katanya.
Kasi Propam Polresta Kendari, AKP Supratman enggan menjawab terkait lambannya proses hukum dugaan pelanggaran kode etik profesi 3 anggota Polsek Poasia. Ia hanya meminta jurnalis matalokal.com menghubungi akreditor di Propam Polresta Kendari.
Kasubdit I Ditreskrimum Polda Sultra, Kompol Dedi Hartoyo tak merespon pesan whatsapp jurnalis matalokal.com saat dihubungi pada Senin (27/10/2025) malam.
Intimidasi Di Tengah Proses
Sebelumnya, AC dianiaya anggota Polsek Poasia saat ditangkap saat laporan kasus pencurian sembako di Pasar Anduonohu. Penganiayaan oleh 3 polisi ini terjadi di Lr Aklamasi, Jl Kedondong, Kelurahan Anduonohu, Poasia Kota Kendari, (23/7/2025).
Atas penganiayaan itu, ibu AC, WOH melaporkan sejumlah polisi di Bidang Propam terkait dugaan pelanggaran kode etik profesi dan di Ditreskrimum Polda untuk masalah tindak pidana penganiayaan.
Kurang lebih sebulan laporan itu bergulir, WOH didatangi oleh sejumlah polisi mengemis hingga melakukan intimidasi memaksa untuk mencabut laporan penganiayaan tersebut.
Namun, WOH menolak keras permintaan itu. Sebab, WOH tak terima anaknya dianiaya secara brutal oleh sejumlah polisi. Ia bahkan memilih proses hukum tetap dilanjutkan meski anaknya juga ikut dipenjara.
“Tidak. Saya tidak mau cabut laporan (Propam dan Ditreskrimum). Enaknya mereka habis memukul baru kayak tidak ada apa-apa. Polisi-polisi itu harus dipenjara juga, kalau bisa dipecat. Anakku juga lanjutkan, silahkan proses,” tegas WOH.
Ia bercerita, permintaan mencabut laporan dibarter membebaskan anaknya dari kasus pencurian itu datang silih berganti, baik dari penyidik Polsek Poasia, keluarga polisi terduga penganiaya, Ketua RT hingga orang tak dikenal (OTK).
Mulanya, WOH didatangi pria berinisial I, yang mengaku sebagai keluarga anggota Polsek Poasia bernama Darwis, pada (30/8/2025). I meminta agar WOH mencabut laporan di Propam dan selanjutnya AC akan bebas.
Selanjutnya, WOH didatangi oleh Ketua RT bernama Amran, pada Rabu (3/9/2025). Amran tiba-tiba mengajak WOH pergi bersama-sama ke Polda Sultra untuk mencabut laporan di Propam.
Di Polda Sultra, kata WOH, pedagang Pasar Anduonohu yang menjadi korban pencurian berinisial J juga akan menyusul. Amran menjanjikan, setelah WOH mencabut laporan di Propam, maka AC akan bebas.
“Katanya Bang Jali juga akan cabut laporan. Tapi tidak ada hubungannya antara laporan di Propam dan di Polsek Poasia. Kalau bang Jali mau cabut laporannya itu urusannya dia, tidak otomatis saya cabut laporan di Propam,” tegas WOH.
Ia bahkan menyoroti sikap tak konsisten Ketua RT yang awalnya memimpin pedagang Pasar Anduonohu melakukan aksi unjuk rasa di Polda Sultra mendukung kinerja Polsek Poasia menindak tegas pelaku pencurian.
“Sekarang sebaliknya, dia bantu polisi bebaskan pelaku pencurian. Ada apa, sudah capek mereka demo, sekarang lain gerakannya,” imbuh WOH.
Tak sampai di situ, pada Kamis (4/9/2025), WOH kembali didatangi sejumlah orang. Kali ini WOH ditemui penyidik Polsek Poasia dan Aiptu La Samidin dan IPTU Dahlan Tujuannya sama, meminta WOH untuk mencabut laporan.
Aiptu La Samidin memohon-mohon, memelas, bahkan seperti mengemis, merapatkan kedua lututnya ke lutut WOH agar keinginannya diamini. WOH keukeuh menolak, meski diiringi tawaran anaknya ikut dibebaskan jika berhasil mencabut laporan di Propam Polda Sultra.
“Tawarannya sama, kalau saya cabut laporan di Propam, bang Jali juga cabut laporan di Polsek Poasia, maka AC akan dibebaskan. Tapi saya bilang tidak, lanjut saja,” tegasnya lagi.
Bahkan, Aiptu La Samidin memberikan tenggat waktu dua hari sebelum libur kepada WOH untuk mencabut laporan. Jika laporan itu tak dicabut, Aiptu La Samidin khawatir, perkara penganiayaan itu akan dilimpahkan ke kejaksaan.
“Katanya akan dikirim ke kejaksaan, jadi dia minta sebelum hari Minggu, sudah harus dicabut. Dia mau datang lagi sampai saya cabut laporan itu. Saya tidak bisa, saya mau pergi dulu,” bebernya.
Selanjutnya, pada Sabtu (6/9/2025), WOH didatangi dua orang tak dikenal (OTK) meskipun ia mencurigai keduanya adalah polisi karena bertubuh gempal, tinggi dan rapi.
Kedua OTK ini tak memperkenalkan diri dan tidak memperlihatkan identitasnya. Mereka hanya meminta WOH untuk mencabut laporan penganiayaan di Propam Polda Sultra.
“Saya bilang tidak bisa. Bukan urusannya mereka itu. Saya juga tidak kenal. Jadi sekitar 10 menit, langsung pulang,” tandasnya.
Editor: Fadli Aksar