
MATALOKAL.COM, KENDARI – Gubernur Sulawesi Tenggara, Andi Sumangerukka, melalui istrinya Arinta Nila Hapsari diduga memiliki keterlibatan dalam jaringan elit tambang nikel di Pulau Kabaena Kabupaten Bombana, Sultra.
Aktivitas yang sudah dilakukan beberapa perusahaan sejak 2010 di Kabaena Timur dan Kabaena Tengah, Pulau Kabaena berdampak pada kerusakan lingkungan di wilayah hidup warga pesisir dan lokal.
Hal itu diungkap Walhi Sulawesi Tenggara dan Satya Bumi saat merilis hasil temuan dan investigasi lapangan. Kedua organisasi Pemerhati Lingkungan ini, membongkar dugaan keterlibatan aparat keamanan, pejabat politik, dan kelompok usaha besar dalam bisnis tambang nikel disana. Selain itu, Satya Bumi juga merilis keterlibatan istri Gubernur Sultra, Andi Sumangerukka dalam jaringan pengusaha.
Dalam laporan terbaru bertajuk “Kabaena Jilid II: Menelusuri Pintu Awal Kerusakan dan Jejaring Politically Exposed Person,” Walhi Sultra dan Satya Bumi mengungkap dugaan keterlibatan aktor-aktor elit nasional.
Diantaranya adalah Purnawirawan Jenderal Polisi, Gubernur Sultra, serta pengusaha besar seperti Haji Isam dan Wilmar Group.
“Pola penguasaan sumber daya di Pulau Kabaena sangat mencerminkan praktik kolonialisme gaya baru. Modal besar dan aktor kekuasaan menyatu untuk menghisap habis ruang hidup masyarakat pulau kecil yang semestinya dilindungi,” tegas Direktur Eksekutif Walhi Sultra Andi Rahman.
Temuan ini menunjukkan bahwa dua perusahaan besar di Pulau Kabaena, yakni PT Arga Morini Indah (AMI) dan PT Arga Morini Indotama (AMINDO), dipimpin oleh mantan Direktur Samapta Polri Achmad Fachruz Zaman.
PT AMI dan PT AMINDO juga memiliki hubungan dengan Arif Kurniawan, Direktur Utama PT Rowan Sukses Investama, pemegang saham kedua perusahaan tersebut. Arif Kurniawan memiliki kedekatan dengan Arinta Nila Hapsari, Istri Gubernur Sulawesi Tenggara.
Arif juga pemilik manfaat dari PT Dua Delapan Resources yang berkaitan dengan pembelian saham PT Tonia Mitra Sejahtera (TMS) perusahaan tambang nikel yang telah melakukan deforestasi pada hutan lindung di Kabaena.
PT TMS merupakan milik Gubernur Sultra lewat anak dan istrinya sebesar 25 persen di bawah bendera PT Bintang Delapan Tujuh Abadi.
Sebanyak 990 lembar saham PT Bintang Delapan Tujuh Abadi, dimiliki Alaniah Nisrina, putri Andi Sumangerukka yang menduduki jabatan sebagai komisaris.
Sementara, 10 lembar saham sisanya, dikuasai Arinta Nila Hapsari, istri Gubernur Sultra, yang menduduki jabatan sebagai Direktur Utama.
Andi Sumangerukka sempat mengakui kepemilikan tambang di Pulau Kabaena, saat debat kandidat Calon Gubernur Sultra 2024 lalu.
Satu perusahaan lain yang berada di Kawasan Buton Tengah, Pulau Kabaena adalah PT Anugerah Harisma Barakah (AHB) dengan luas IUP mencapai 2.528,11 hektare, dan 19,59 hektare diantaranya berada di kawasan hutan lindung.
Salah satu direktur PT AHB adalah Widdi Aswindi yang juga menjabat sebagai Ketua Dewan Pengurus Pusat Partai Amanat Nasional (PAN) dan konsultan pemenangan mantan Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam.
Nama pengusaha besar seperti Jhonlin Group dan Wilmar juga terkait dengan aktivitas pertambangan nikel di Kabaena. Kepemilikan saham PT AHB didominasi oleh PT Billy International dan PT Arjuna Cakra Bintang (ACB).
Adapun kepemilikan saham dominan PT ACB dipegang oleh H Samsudin Andi Arsyad (Haji Isam) pemilik Jhonlin Group. Selain Haji Isam, 20 persen saham PT ACB dimiliki oleh Drs. Sutanto yang merupakan Presiden Komisaris di PT Wilmar Nabati Indonesia.
“Keterlibatan pejabat publik hingga elit aparat keamanan mendiami posisi strategis dalam tentakel bisnis tambang nikel di Kabaena,” ujar Andi Rahman.
Dia menyebut, hal ini semakin memperjelas bagaimana praktik kegiatan usaha pertambangan nikel di pulau kecil Kabaena tetap berlangsung.
Meskipun segelintir permasalahan lingkungan dan dampak terhadap kesehatan warga sangat memprihatinkan, Walhi dan Satya Bumi menyebut pemerintah tidak mengupayakan penegakan hukum secara maksimal.
Tim Kampanye Satya Bumi, Salma Inaz menyebutkan, meskipun mereka sudah tidak lagi menjabat sebagai aparat keamanan (purna), namun mereka masih memiliki pengaruh.
Salma menjelaskan, dalam banyak kasus, publik sudah banyak melihat bagaimana kultur institusi ini memiliki catatan merah dalam pengerahan prajurit keamanan untuk melindungi properti perusahaannya.
Data Satya Bumi mencatat sedikitnya 16 Izin Usaha Pertambangan (IUP) telah mencaplok total 37.894 hektare wilayah daratan Kabaena. Ironisnya, 10 di antaranya tumpang tindih dengan kawasan hutan lindung, memperkuat dugaan pelanggaran sistematis terhadap tata kelola lingkungan hidup.
Melalui data deforestasi Hansen, Satya Bumi mendeteksi adanya peringatan deforestasi sejak 2001 – 2024 pada area konsesi PT Arga Morini Indah (AMI) seluas 506,55 hektare. Hal yang serupa terjadi pada PT Arga Morini Indotama (AMINDO), di mana peringatan deforestasi sejak 2002 – 2024 seluas 194,51 hektare.
Padahal, Pulau Kabaena merupakan pulau kecil yang secara hukum dilindungi dari kegiatan ekstraktif berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-XXI/2023.
“Tambang Nikel di Kabaena tidak hanya ilegal secara hukum, tetapi mengorbankan ruang hidup masyarakat lokal, merusak ekosistem dan biodiversitas, dan menghancurkan masa depan pulau kabaena,” tambah Rahman.
Tanggapan Pemerintah Daerah
Menanggapi temuan tersebut, Kepala Bidang Minerba Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Sulawesi Tenggara Muhammad Hasbullah Idris menekankan bahwa sejak 2020 kewenangan pengawasan perusahaan tambang saat ini tak lagi berada di bawah kendali pemerintah daerah melainkan di Kementerian ESDM.
“Sehingga tak banyak yang bisa kami lakukan saat ini. Namun perkembangan terkini, saat ini terdapat dua perusahaan yang disebut dalam riset tadi yakni AMI dan AHB yang sudah memiliki jaminan reklamasi. Perlu ditegaskan ini masih jaminan,” ujar Hasbullah dalam diskusi tersebut.
Sementara itu Dinas Lingkungan Hidup Sulawesi Tenggara menyebut akan berkoordinasi dengan pemerintah kabupaten untuk melakukan asesmen awal terkait kerusakan lingkungan yang terjadi di Kabaena.
Atas temuan riset tersebut, WALHI Sulawesi Tenggara dan Satya Bumi mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk:
Mencabut seluruh IUP dan IPPKH yang berada di wilayah Pulau Kabaena, khususnya yang berada di kawasan hutan lindung dan pulau kecil.
Mengusut tuntas keterlibatan aparat, pejabat publik, dan korporasi dalam skema perizinan dan operasional tambang ilegal.
Melakukan pemulihan ekologis secara menyeluruh di wilayah terdampak dan menjamin perlindungan hak masyarakat lokal atas tanah dan lingkungan hidup.
Menghentikan praktik eksploitasi sumber daya di pulau-pulau kecil di seluruh wilayah Indonesia yang bertentangan dengan prinsip keadilan ekologis.
Saat jurnalis matalokal.com berupaya menghubungi Gubernur Sulawesi Tenggara Andi Sumangerukka, dia tidak membalas dan tidak mengaktifkan nomor telepon. Saat berupaya dikonfirmasi secara langsung, Andi Sumangerukka dalam salah satu kegiatan Pemprov berpesan tidak ingin diwawancarai diluar agenda acara.
Editor: Fadli Aksar