
MATALOKAL.COM, KENDARI – Aktivitas dua perusahaan tambang nikel di pulau-pulau kecil Sulawesi Tenggara dihentikan lebih dulu, sebelum ramai kasus PT GAG Nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya.
Dua perusahaan yang dihentikan itu yakni PT Gema Kreasi Perdana (GKP) di Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan, dan PT Tonia Mitra Sejahtera (TMS) di Kabupaten Bombana.
Aktivitas tambang nikel PT GKP terhenti sejak awal Mei 2025. Tepatnya, pada 12 Mei 2025, PT GKP menarik mundur ratusan alat berat excavator dan dump truk dari wilayah konsesi Kecamatan Wawonii Tenggara ke wilayah terminal khusus atau jety.
Tiga hari setelahnya, sejumlah Satpol PP Pemda Konkep melakukan penutupan jalan hauling yang menghubungkan jety dengan areal pengerukan ore nikel, pada 15 Mei 2025.
Namun, beberapa saat setelah aparat Satpol PP meninggalkan jalan tambang, sejumlah karyawan PT GKP membuka blokade tersebut.
“(Jalan tambang) yang dipalang (ditutup), setelah Satpol PP balik langsung dibuka. Ini bentuk perlawanan PT GKP terhadap pemerintah,” kata Hasraman, warga Pulau Wawonii.
Dihari yang sama, terpantau tak ada aktivitas penambangan nikel di wilayah konsesi anak perusahaan Harita Group itu. Sekitar 50 mobil dump truk berjejer rapi terparkir di pos 5 PT GKP, Desa Roko-roko.
Puluhan alat berat lainnya juga ditumpuk rapi di mes PT GKP. Selain itu, aktivitas jety PT GKP juga terpantau sepi, tak ada kapal tongkang bersandar, yang biasanya masuk dua kali seminggu.
Menurut Hasraman, sejak penutupan jalan hauling itu, tak ada lagi aktivitas PT GKP. Ia dan warga penolak tambang lainnya pun mengaku girang melihat situasi itu.
“Warga pendukung tambang akan terpukul. Tapi warga yang kontra akan bahagia,” tegasnya.
Wakil Ketua DPRD Konawe Kepulauan, Sahidin bilang, penutupan aktivitas PT GKP itu lantaran adanya surat perintah pemerintah pusat kepada pemerintah daerah Sultra dan Konkep.
Namun, Sahidin enggan menyebutkan lembaga yang mengirimkan surat penutupan dan penghentian aktivitas tambang nikel PT GKP. Ia menyebut, penutupan itu, karena adanya operasi penegakan hukum.
“Saya menerima informasi itu. Informasinya ada operasi penegakan hukum oleh aparat salah satu lembaga APH (aparat penegakan hukum). Saat ini masih berlangsung,” katanya.
Hendry Drajat, Manager Strategic Communication PT GKP membantah penghentian aktivitas tambang, karena adanya penegakan hukum. Namun, ia membenarkan ada APH yang turut dalam penutupan jalan tambang itu.
“Iya betul, sempat ke sana (ada) APH,” katanya tanpa menyebut secara spesifik instansi penegakan hukum dimaksud. Hendry juga bilang, penutupan itu hanya kesalahpahaman.
Meski begitu, Hendry mengakui, alat berat ditarik mundur, namun karena pertimbangan cuaca.
“Dikarenakan adanya pertimbangan operasional tambang menjelang memasuki musim penghujan,” katanya.
Hendry bilang, pihaknya secara rutin melakukan supervisi dan pengecekan seluruh alat berat, agar pelaksanaan produksi ke depan jauh lebih maksimal.
Langkah kebijakan sementara ini merupakan bagian dari strategi manajemen risiko dan perencanaan jangka panjang PT GKP.
Sebab, memasuki musim hujan, kondisi operasional di lapangan menjadi lebih menantang, sehingga memprioritaskan keselamatan kerja dan keandalan alat.
Katanya, dengan melakukan perbaikan dan peningkatan kualitas sejak dini, menghindari potensi kerugian yang lebih besar akibat gangguan operasional atau bahkan kecelakaan kerja di kemudian hari.
“Jadi, kami melihatnya bukan sebagai kerugian, melainkan sebagai langkah proaktif demi keberlangsungan dan keselamatan operasi tambang kami,” jelasnya.
Bagi warga, berhentinya aktivitas tambang nikel PT GKP merupakan keinginan mereka yang sejak lama disuarakan hingga ke pengadilan konstitusi.
Sebab, munculnya bencana ekologis terus menghantui warga sejak anak perusahaan Harita Group menambang di Pulau Wawonii pada 2019 silam.
Meski begitu, warga Pulau Wawonii ini enggan jemawa. Lantaran, keinginan utama mereka agar PT GKP ditindak secara hukum karena diduga melakukan aktivitas tambang secara ilegal dan merugikan negara.
Pasalnya, anak perusahaan Harita Group milik Lim Haryanto ini tak lagi punya legitimasi melakukan aktivitas tambang nikel di Pulau Wawonii.
Hal itu berdasarkan putusan Mahkamah Agung yang membatalkan persetujuan penggunaan kawasan hutan (dulu: IPPKH) PT GKP.
Hakim Agung juga memerintahkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk mencabut PPKH PT GKP seluas 707,10 hektare.
Tak hanya itu, dua putusan MA lainnya membatalkan Perda RTRW Konkep terkait pasal-pasal ruang tambang di Pulau Wawonii.
Selain MA, Mahkamah Kontitusi juga menegaskan larangan aktivitas tambang di pulau-pulau kecil dengan luas di bawah 2 ribu kilometer persegi.
Hal itu menguatkan regulasi larangan aktivitas pertambangan yang diatur dalam beleid UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang perubahan UU 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
“Kami meminta aparat penegak hukum menindak PT GKP. Terutama para pejabat perusahaan hingga kroni-kroninya masuk penjara,” pinta Hasraman.
Sementara itu, Wakil Ketua DPRD Konkep, Sahidin meminta aparat penegak hukum, baik kepolisian, kejaksaan, Gakkum KLH, maupun KPK segera memproses pidana PT GKP.
Selain tidak punya legitimasi berdasarkan 4 putusan MA dan MK, PT GKP juga tak mengantongi izin lingkungan yang sah. Lantaran, telah terjadi penciutan luas wilayah IUP dan perombakan komposisi perusahaan.
“Putusan TUN Kendari, perusahaan tambang PT GKP ini dinyatakan tidak memiliki izin lingkungan yang sah dan dokumen AMDAL yang lengkap,” ujar Sahidin.
Tanpa adanya dokumen AMDAL dan izin lingkungan yang sah, menurut Sahidin, aktivitas tambang nikel dapat menimbulkan masalah serius bagi lingkungan sekitar. Kerusakan lingkungan dapat berdampak pada masyarakat sekitar dan ekosistem lokal.
Terbukti, meski sudah tak beroperasi, aktivitas PT GKP meninggalkan jejak kerusakan lingkungan. Terbaru, Sungai Desa Sukarela dan Roko-roko tercemar sedimen lumpur, pada Rabu, 11 Juni 2025.
Warna sungai yang biasanya jernih dan bersih, kini berubah merah kecoklatan setelah hujan mengguyur Pulau Wawonii selama 1 jam. Situasi ini tak pernah terjadi sebelum masuknya perusahaan tambang.
Menurut Sahidin, penyebab air sungai keruh karena kebocoran sedimen pond di areal tambang nikel PT GKP. Sehingga, air hujan membawa lumpur ke sungai.
“Kerusakan lingkungan dapat berdampak pada kehidupan masyarakat sekitar. Pemerintah dan penegak hukum harus bertindak tegas terhadap perusahaan tambang perusak lingkungan,” tegasnya.
PT TMS di Pulau Kabaena
PT TMS yang beroperasi di Pulau Kabaena, Kabupaten Bombana juga mendadak menghentikan aktivitasnya, sejak 15 Mei 2025. Ratusan karyawan juga terpaksa dirumahkan.
Tampak sejumlah alat berat terparkir rapi di site Lengora Induk, Kecamatan Kabaena Timur. Sejumlah mess karyawan juga sepi, pintu tertutup. Beberapa karyawan mengenakan tas ransel.
Salah seorang karyawan, Bambang (nama samaran), seluruh karyawan dirumahkan sampai waktu tidak ditentukan sejak 15 Mei 2025. Sejak saat itu, tak ada lagi aktivitas perusahaan.
Meski begitu, surat resmi pemberitahuan penghentian aktivitas perusahaan dan pemulangan karyawan baru dikeluarkan HRD PT TMS Gita Deviany, P.H pada 30 Mei 2025.
“Kegiatan operasional dihentikan sampai waktu yang belum dapat ditentukan,” tulis poin 1 internal memo yang bocor keluar.
Dalam internal memo itu, karyawan juga diminta untuk mengambil barang pribadi yang masih tertinggal di site PT TMS. Mereka juga diminta untuk mengembalikan aset perusahaan berupa laptop, handy Talky, kamera, drone dan alat topografi.
Bambang tak tahu penyebab seluruh karyawan diliburkan. Mereka hanya diminta mengambil barang-barang pribadi mulai 31 Mei sampai 3 Juni.
“Kami hanya diberi waktu satu jam untuk mengambil barang-barang pribadi. Karyawan dilarang membawa handphone, apalagi mengambil dokumentasi. Kami juga dikawal 3 sampai 4 orang TNI,” ujarnya.
Kata Bambang, karyawan masih bertanya-tanya, alasan mereka dirumahkan. Hingga saat ini belum mereka mendapatkan jawaban.
Namun, ia mendapatkan informasi berseliweran, bahwa penghentian aktivitas ini karena adanya penindakan Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) bentukan Presiden Prabowo. Sebab, PT TMS diduga menggarap hutan lindung di Kabaena.
“Informasinya seperti itu. Tapi secara resmi tidak disampaikan, karena tidak ada alat berat yang disegel, ataupun disita. Yang pasti kami dirumahkan, gaji tetap jalan,” katanya.
Jurnalis matalokal.com berupaya melakukan konfirmasi kepada PT TMS melalui email perusahaan, namun belum mendapatkan jawaban. Hingga berita ini ditayangkan, belum mendapatkan tanggapan resmi perusahaan.
PT TMS disebut-sebut perusahaan tambang milik Gubernur Sultra, Andi Sumangerukka. 25 persen saham PT TMS dimiliki PT Bintang Delapan Tujuh Abadi.
Sebanyak 990 lembar saham PT Bintang Delapan Tujuh Abadi, dimiliki Alaniah Nisrina, putri Andi Sumangerukka yang menduduki jabatan sebagai komisaris.
Sementara, 10 lembar saham sisanya, dikuasai Arinta Nila Hapsari, istri Gubernur Sultra, menduduki jabatan sebagai Direktur Utama.
Andi Sumangerukka sempat mengakui kepemilikan tambang di Pulau Kabaena, saat debat kandidat Calon Gubernur Sultra 2024 lalu.
Editor: Fadli Aksar