160 x 600 AD PLACEMENT
160 x 600 AD PLACEMENT

Hukum, Barakuda, dan Nalar Publik yang Terluka di Tapak Kuda

Muhammad Hakim Rianta, SH. Masyarakat Pemerhati Hukum dan Publik Sultra

Oleh: Muhammad Hakim Rianta, S.H. Masyarakat Pemerhati Hukum dan Kebijakan Publik Sultra

Ada pemandangan yang luar biasa ironis di Kendari pada Kamis, 30 Oktober 2025. Di satu sisi, aparat negara dalam hal ini Pengadilan Negeri (PN) Kendari berupaya menjalankan sebuah ritus hukum bernama konstatering (pencocokan objek sengketa). Di sisi lain, ritus itu disambut dengan blokade massa, penolakan total, dan berujung pada evakuasi Ketua PN menggunakan kendaraan taktis Barakuda. Panser itu, sebuah simbol kekuatan fisik negara, menjadi benteng terakhir untuk melindungi simbol otoritas yudisial dari amuk nalar publik yang merasa dikhianati.

Peristiwa Tapak Kuda hari ini bukan lagi sekadar sengketa agraria. Melainkan sebuah panggung terbuka yang mempertontonkan secara telanjang patologi akut dalam cara negara kita memahami dan menjalankan hukum.

Menggambarkan bagaimana teks hukum yang beku dari masa lalu, ketika dipaksakan secara buta pada realitas sosial yang dinamis, akan selalu berakhir dengan benturan. Dan ketika nalar hukum negara tak lagi mampu berdialog dengan nalar keadilan publik, maka yang tersisa hanyalah unjuk kekuatan, yang menurut saya adalah sebuah pengakuan implisit atas kegagalan.

Menghidupkan “Zombie Yuridis”

Mari kita bedah sumber masalahnya. Berdasarkan beberapa sumber media terpercaya yang saya baca. Negara, melalui PN Kendari, bersikukuh hendak mengeksekusi Putusan No. 48/Pdt.G/1993/PN.KDI.

Di atas kertas, putusan itu final dan mengikat (inkracht van gewijsde). Dalam logika positivisme hukum yang sempit, tugas pengadilan hanyalah menjadi eksekutor mekanis dari putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Titik.

Namun, logika itu mengabaikan satu pertanyaan fundamental: apakah putusan yang lahir 32 tahun lalu itu masih hidup secara substantif, atau ia hanyalah sesosok “zombie yuridis” yakni jasad hukum yang terus berjalan meski jiwanya telah tiada?

Sebuah putusan pengadilan dalam status quo mestinya hidup dari tiga elemen: subjek yang jelas, objek yang eksis, dan legitimasi prosedural yang tak cacat. Ketiga elemen itu, dalam kasus Tapak Kuda, patut dipertanyakan secara serius.

Pertama, soal subjek. Siapakah Koperasi Perikanan Perempangan Soananto (KOPPERSON) hari ini? Apakah entitas yang mengajukan permohonan eksekusi pada 2025 ini adalah badan hukum yang sama, dengan mandat organisatoris yang sah dari para anggotanya, seperti KOPPERSON pada 1993?

Setelah tertidur selama puluhan tahun, pengadilan memiliki kewajiban yudisial untuk tidak sekadar membaca nama di atas kertas putusan, tetapi memverifikasi locus standi aktual dari pemohon. Tanpa itu, pengadilan berisiko menjadi alat bagi segelintir individu yang mungkin membajak nama besar sebuah koperasi yang secara de facto telah non-aktif.

Kedua, dan ini yang paling krusial, adalah soal objek. Putusan 1993 memberikan hak kepada KOPPERSON atas tanah yang kala itu diduga kuat berstatus Hak Guna Usaha (HGU). HGU, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan peraturan turunannya, adalah hak yang terikat oleh waktu.

Ketika waktunya berakhir, tanah itu secara otomatis kembali menjadi Tanah Negara. Dalam kasus a quo, jika HGU KOPPERSON telah berakhir (sebuah kemungkinan yang sangat besar) maka mutatis mutandis objek hukum dari putusan 1993 itu ikut lenyap.

Memaksakan eksekusi dalam kondisi itu justru adalah sebuah anomali. Di mana pengadilan memerintahkan negara untuk menyerahkan asetnya sendiri (Tanah Negara) kepada pihak swasta berdasarkan hak yang sudah kedaluwarsa.

Padahal, teori hukum dan yurisprudensi kontemporer pun telah mulai mengakui bahwa perubahan fundamental status hukum objek sengketa seperti ini melahirkan sebuah “keadaan hukum baru” (novum) yang membuat putusan lama tidak lagi dapat dieksekusi (non-executable). Mengabaikannya adalah bentuk keteledoran intelektual yang sangat berbahaya.

Perlawanan Publik sebagai Koreksi Prosedural

Ketiga, soal legitimasi prosedural. Perlawanan warga di lapangan hari ini bukanlah tindakan anarkis tanpa sebab. Kita justru perlu melihatnya sebagai sebuah koreksi paksa terhadap cacat asal dari gugatan tahun 1993, di mana ratusan warga yang telah menghuni lahan tidak pernah dilibatkan sebagai pihak dalam gugatan. Hal ini jelas-jelas mengabaikan asas hukum acara fundamental audi et alteram partem yakni suatu prinsip yang mewajibkan pengadilan untuk mendengarkan pembelaan para pihak terkait.

Karenanya ketika jalur hukum formal di masa lalu telah membuntu dan mengabaikan eksistensi mereka, maka jalanan menjadi satu-satunya ruang sidang yang tersisa bagi publik untuk menuntut haknya untuk didengar. Penolakan terhadap konstatering adalah bentuk perlawanan terhadap proses hukum yang mereka anggap tidak adil sejak dalam kandungan.

Negara di Simpang Jalan

Panser Barakuda yang membawa Ketua PN Kendari menjauh dari Tapak Kuda adalah sebuah metafora yang kuat. Membawa negara ke sebuah persimpangan jalan.

Pilihan pertama adalah terus menempuh jalan kekerasan legalistik dengan mengabaikan semua anomali substantif, mengerahkan aparat dalam jumlah lebih besar, dan memaksakan eksekusi demi tegaknya “kepastian hukum” yang semu. J

alan yang mungkin memenangkan pertempuran di atas secarik tanah, tetapi akan kalah dalam perang merebut kepercayaan publik terhadap hukum.

Pilihan kedua adalah jalan yang lebih arif. Mengakui bahwa insiden hari ini adalah sinyal kegagalan yang tidak bisa ditawar.

Menarik rem darurat, menunda seluruh proses eksekusi, dan memerintahkan peninjauan ulang yang komprehensif atas ketiga pilar persoalan tadi. Negara tak perlu gengsi, karena itu bukan tanda kelemahan, melainkan tanda kedewasaan sebuah negara hukum yang mampu melakukan otokritik.

Jalan kedua ini tentu menuntut keberanian dari PN Kendari untuk tidak hanya menjadi “corong undang-undang”, tetapi menjadi penggali keadilan sebagaimana fitrahnya.

Menuntut peran proaktif dari Pemerintah Daerah dan BPN untuk mengklarifikasi status tanah. Dan yang terpenting, menuntut negara untuk berhenti melihat warganya sebagai objek eksekusi, dan mulai mendengarkan mereka sebagai subjek hukum yang nalar keadilannya sedang terluka parah. Pilihan ada di tangan negara, dan publik berharap negara tak salah memilih jalan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like