160 x 600 AD PLACEMENT
160 x 600 AD PLACEMENT

Ahli Administrasi Keuangan: Kwitansi Fiktif-LPJ Keuangan Palsu Bukan Tanggung Jawab Sekda

Mantan Penjabat (Pj) Gubernur Jawa Tengah (Jateng) sekaligus eks Dirjen Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri, Syarifuddin. (Foto: Fadli Aksar)

MATALOKAL.COM, KENDARI – Ahli administrasi keuangan, sekaligus mantan Dirjen Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri Syarifuddin, menyebut laporan keuangan palsu hingga kwitansi fiktif bukan tanggung jawab sekda.

Hal itu disampaikan Syarifuddin saat menjadi ahli dalam sidang lanjutan perkara dugaan korupsi anggaran Bagian Umum Setda Kota Kendari yang digelar di PN Kendari beberapa waktu lalu.

Mantan Penjabat (Pj) Gubernur Jawa Tengah (Jateng) ini dihadirkan kuasa hukum terdakwa Nahwa Umar, sebagai saksi meringankan.

Dalam perkara ini, tiga terdakwa diduga merugikan keuangan negara APBD Kota Kendari tahun 2024 senilai Rp444 juta. Mereka adalah mantan Sekda Kota Kendari, Nahwa Umar, Bandahara Pengeluaran Bagian Umum, Ariyuli Ningsih Lindoeno dan pembantu bendahara Muchlis.

Dalam pemeriksaan ahli yang berlangsung selama kurang lebih 2 jam ini, Syarifuddin menjelaskan terkait alur pencairan keuangan serta kewenangan dan tanggung jawab para pejabat dalam pengelolaan keuangan daerah.

Syarifuddin mengatakan, dalam pengelolaan keuangan daerah, ada beberapa pejabat terlibat hingga sampai pencairan anggaran atau terbitnya Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D).

Dalam proses pencarian dana, mulai dari PPTK atau bendahara. Bendahara menerbitkan SPP (surat perintah pencairan). Selanjutnya dikirim ke pejabat penatausahaan keuangan, biasa disebut PPK.

Di-PPK setelah melakukan penelitian dan verifikasi dianggap layak dibayar untuk dibayar, maka terbitlah yang namanya draft surat perintah membayar (SPM) untuk ditandatangani oleh pengguna anggaran.

Mantan pejabat Kemendagri berdarah Muna ini menegaskan, penyelewengan keuangan daerah bukan merupakan tanggung jawab pengguna anggaran (PA), dalam hal ini sekda.

Sebab, kewenangan dan tanggung jawab itu sudah dilimpahkan dari PA kepada pejabat pemerintahan yang lain, seperti bendahara, pejabat pelaksana teknis kegiatan (PPTK), dan pejabat pembuat komitmen (PPK), sebagai kewenangan delegasi.

Pelimpahan kewenangan dari PA ke pejabat penatausahaan keuangan tersebut telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.

“Karena pelimpahan ini sifatnya kewenangan delegasi. Kita kaitkan dengan pasal, 12, 13, dan 14 UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan,” ujar Syarifuddin.

Dalam pasal tersebut dijelaskan terkait kewenangan atribusi, delegasi dan mandat. Setiap pelimpahan kewenangan punya tanggung jawab dan konsekuensi hukum berbeda.

Menurut Syarifuddin, dalam pelimpahan kewenangan atribusi dan delegasi, yang bertanggung jawab adalah penerima kewenangan. Sebaliknya, kewenangan mandat, pihak yang bertanggung jawab adalah pemberi mandat.

“Jadi, ketika ada kesalahan administrasi, dokumen palsu, misalnya fiktif, yang sudah maju ke pengguna anggaran, dan pengguna anggaran menandatangani SPM (surat perintah membayar), apakah tanggung jawabnya pengguna anggaran, jawabannya bukan,” tegas Syarifuddin.

Sehingga, Syarifuddin bilang, pihak yang bertanggung jawab dalam penyelewengan keuangan itu adalah pejabat penerima delegasi, yakni bendahara PPTK, dan PPK.

Syarifuddin pun mempersilahkan aparat penegak hukum untuk mendalami pihak yang paling bertanggungjawab di antara ketiganya, sesuai dengan tingkat kewenangannya.

“Dalam proses pencairan dana, apalagi dalam pengadaan barang dan jasa kan pejabat-pejabat pelaksana di bawahnya, apakah kewenangan itu dilimpahkan kepada pengguna anggaran sepenuhnya, jawabannya tidak,” tandasnya.

Dakwaan Jaksa

Kasus dugaan korupsi anggaran Setda Kota Kendari tahun 2020 menyeret tiga terdakwa, yakni eks Sekda Nahwa Umar, Ariyuli Ningsih Lindoeno dan Muchlis. Ketiganya diduga melakukan korupsi anggaran Setda 2020 senilai Rp 444 juta.

Ariyuli Ningsih Lindoeno merupakan Bendahara Pengeluaran Bagian Umum Setda Kota Kendari pada 2020 lalu. Saat ini sebagai ASN di Dinas Kominfo Kota Kendari. Sementara Muchlis pembantu bendahara pengeluaran Bagian Umum Setda Kota Kendari.

Tersangka Ariyuli ditahan di Lapas Perempuan Kendari usai diperiksa sebagai tersangka. Muchlis dititip di Rutan Kelas II B Kendari. Sementara, Nahwa Umar ditahan dua pekan kemudian karena sempat mangkir dari panggilan penyidik karena alasan sakit.

Kasus ini telah memasuki tahap persidangan dengan agenda pembuktian di PN Tipikor Kendari. Total sudah 30 lebih saksi telah dihadirkan di persidangan, didominasi ASN Pemkot Kendari.

Eks Kasi Pidsus Kejari Kendari, Enjang Slamet mengatakan, ketiga terdakwa ini melakukan dugaan korupsi berupa penggelapan dalam jabatan dengan memanipulasi laporan pertanggungjawaban anggaran untuk 5 pos kegiatan pada 2020 lalu.

Kelima pos anggaran kegiatan itu yakni penyediaan jasa komunikasi, air dan listrik. Selanjutnya kegiatan percetakan dan penggandaan, makan dan minum, jasa pemeliharaan dan perizinan kendaraan dinas di Setda Pemkot Kendari.

“Pencairan anggaran telah direalisasikan, namun berdasarkan fakta penyidikan, terdapat beberapa kegiatan sama sekali tidak dilaksanakan tapi dibuat pertanggungjawaban secara fiktif,” ujar Enjang.

Di samping itu, para terdakwa ini bersekongkol membuat laporan pertanggungjawaban anggaran yang tidak sesuai dengan kegiatan.

Menurut Enjang, Nahwa Umar sebagai kuasa pengguna anggaran (KPA), diduga turut memerintahkan bendahara pengeluaran Ariyuli dibantu Muchlis untuk membuat laporan pertanggungjawaban anggaran fiktif.

“Berdasarkan fakta penyidikan dari alat bukti yang kami kumpulkan, (Nahwa Umar) diduga mengetahui kegiatan ini. Terkait dia turut menikmati (hasil korupsi), berdasarkan alat bukti permulaan yang cukup, yang bersangkutan pastinya menikmati,” tegasnya.

Kasus rasuah ini mulai diselidiki sejak 2024, menindaklanjuti laporan masyarakat. Sejauh ini, jaksa menyiapkan 37 saksi. Sementara perhitungan kerugian keuangan negara lewat audit BPKP.

Atas perbuatannya, ketiga terdakwa dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 juncto pasal 18 Undang-undang nomor 31 Tahun 1999  sebagaimana diubah dengan nomor 20 Tahun 2001 tentang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

“Ketiga terdakwa terancam pidana penjara maksimal 20 tahun dan paling singkat 4 tahun,” tandasnya.

Editor: Fadli Aksar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like