
Oleh: Fadly A Safaa
Jaksa Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara
ibarat aspirasi yang mendapat apresiasi, legal policy presiden atas abolísi yang diberikan kepada tom lembong dalam kasus tindak pidana korupsi importasi gula di Kementerian Perdagangan tahun 2015-2016 dan amnesti yang diberikan kepada hasta kristiyanto dalam kasus tindak pidana korupsi dalam kasus suap penetapan anggota legislatif periode 2019-2024 mekanisme pergantian antar waktu sebagaimana tertuang dalam Surat Presiden Nomor 42 Pres 072725 tanggal 30 Juli 2025, hal tersebut juga menegasikan hukum bersifat heteronom yang dapat dipengaruhi oleh fungsi-fungsi sosial dan politis.
Terlebih secara historís pemberian abolísi dan amnesti dominan diberikan terhadap tawanan politik (tapol) yang melakukan tindakan subversif sebagaimana dahulu diatur dalam undang-undang nomor 11/PNPS/Tahun 1963 tentang pemberantasan kegiatan subversif yang bertujuan untuk mengatur tindakan yang dianggap dapat menggoyahkan kestabilan politik negara.
Kebijakan hukum dalam rumpun eksekutif yang bersifat judisial tersebut dapat menimbulkan paradigma dan stigma yang berbeda-beda terhadap pemerintah dalam konteks penyelesaian suatu kasus perkära.
Menurut Pasal 1 UU 11/1954 tentang amnesti dan abolisi, menyebutkan,
“Presiden, atas kepentingan Negara, dapat memberi amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang telah melakukan sesuatu tindakan pidana. Presiden memberi amnesti dan abolisi ini setelah mendapat nasihat tertulis dari Mahkamah Agung yang menyampaikan nasihat itu atas permintaan Menteri Kehakiman”.
Secara eksplisit perbedaan abolísi dan amnesti terdapat dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 11/1954 tentang amnesti dan abolisi, menyebutkan :
Dengan pemberian amnesti maka semua akibat terhadap orang-orang yang dimaksud dihapuskan;
Dengan pemberian abolisi maka penuntutan terhadap orang-orang itu ditiadakan
secara proses pemberian abolisi dan amnesti mengacu Pasal 14 ayat (2) UUD 1945, “Presiden memberi abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR yang menegaskan bahwa keputusan ini tidak dapat diambil secara sepihak tanpa mekanisme check and balance dari lembaga legislatif”
Diketahui Tom Lembong mengajukan banding atas vonis 4,5 tahun penjara , Sementara KPK mengajukan banding dalam kasus Hasto Kristiyanto, idealnya pemberian abolisi dan amnesti dilakukan saat proses berada pada wilayah eksekutif dan belum berada pada limpahan wilayah yudikatif sehingga kemandirian dan kekuasaan kehakiman tetap terjaga sebagaimana amanah Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Apapun itu, keterlibatan cabang-cabang kekuasaan baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif dalam proses penegakan hukum dapat memberikan rasa keadilan sebagaimana cita-cita hüküm itu sendiri.(***)