160 x 600 AD PLACEMENT
160 x 600 AD PLACEMENT

Mengungkap Praktik Nelayan Sultra Jarah Teripang di Laut Australia

Nelayan asal Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara sedang membersihkan teripang hasil tangkapan mereka di wilayah perairan Darwin Australia. (Foto: Nelayan Torokeku)

MATALOKAL.COM – Teripang Australia (Holothuroidea) menjadi barang mewah bagi puluhan nelayan di Desa Torokeku dan Bungin Permai, Kecamatan Tinanggea, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara.

Para nelayan pun nekat menjarah teripang secara melawan hukum hingga ke wilayah perairan Darwin Australia, meski harus kucing-kucingan dengan otoritas keamanan dan di bawah ancaman penjara hingga dimangsa buaya.

***

Siang terik, awal Maret 2025, kaki Nasar (36) menjejak saling mendahului dengan tongkat medis di lantai papan rumahnya yang berukuran 5×7 meter persegi.

Kaki kanan Nasar lumpuh sejak Oktober 2023 lalu, akibat diterkam buaya kala mencari teripang di lepas pantai bagian utara, Darwin, Australia. Kakinya diamputasi hingga menyisakan betis sekira 10 sentimeter di bawah lutut. Untuk bisa berjalan, Nasar dibantu tongkat medis.

Sejak saat itu, tak ada aktivitas yang bisa dilakukan Nasar. Ia hanya terbaring di kamar. Sesekali ia menyambut kerabat di ruang tengah rumahnya di Desa Bungin Permai, Kecamatan Tinanggea, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara.

Bungin Permai merupakan salah satu desa di Kecamatan Tinanggea, Konawe Selatan, yang juga kampung Bajo, berjarak 8 kilometer dari daratan Konawe Selatan.

Pemukiman ini berdiri di atas permukaan laut. Untuk mencapai desa ini, kami harus menyewa perahu bermesin atau ketinting selama 2 menit dengan tarif Rp 25 ribu untuk 2 penumpang.

Dengan modal bujukan sang ipar, Nasar dan 8 nelayan asal Konawe Selatan berangkat mengarungi lautan melewati batas negara ke Negeri Kangguru sejauh lebih dari 3 ribu kilometer.

Pria dua anak ini mengaku baru pertama kali mencari teripang sampai ke Australia, sehingga tak tahu kondisi serta ancaman bahaya di sana.

Setelah melalui perjalanan laut sejauh 3 ribu kilometer lebih, Nasar memasuki wilayah perairan Australia. “Hari pertama mencari teripang, hasilnya sedikit, kira-kira hampir 60 ekor,” kata Nasar.

Mereka lantas balik ke Pulau Papela, Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk menjual teripang senilai Rp 19 juta.

Hasil penjualan itu untuk membeli bahan bakar dan makanan mereka yang telah habis. Mereka membekali diri, sebab akan kembali masuk ke wilayah perairan Australia untuk mencari teripang.

Setelah kembali dari NTT, mereka awalnya bersembunyi di dalam hutan bakau. Kapal ditambatkan di sela-sela pohon. Agar tak terlihat, pohon bakau ditebang untuk menutupi badan kapal.

Pada hari ketiga di Australia, Nasar mengalami nasib nahas. Ia diterkam buaya hingga kaki kanannya putus dan mengalami luka-luka di sekujur tubuh.

Nasar (36), nelayan Desa Bungin Permai, Kecamatan Tinanggea, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara menjadi korban keganasan buaya di Australia. (Foto: Fadli Aksar)

Kala itu air laut miti (surut). Ia dan rekan-rekannya berjalan kaki keluar dari bakau membawa ember masuk ke tengah laut.

Nasar yang baru pertama kali ikut mencari teripang, tak mengetahui tanda-tanda keberadaan buaya. Sebab, buaya bersembunyi di gumpalan lumpur.

Buaya tersebut, pertama kali menyerang tangannya. Namun, Nasar melakukan perlawanan dan berhasil melepas gigitan predator itu.

“Saya melawan dan berhasil melepaskan gigitan buaya di tangan. Saya balik lari, tapi dia ambil kaki kanan dari belakang,” beber Nasar. Buaya itu melumat kaki kanan Nasar hingga nyaris putus. Sang Ipar yang melihat peristiwa itu bergegas menolong.

Nasar tak langsung dibawa pergi menjauh ke wilayah itu. Sebab, air laut dalam kondisi surut. Beberapa jam kemudian, setelah air laut pasang, Nasar dilarikan ke rumah sakit di wilayah Kupang NTT.

“Kaki saya diamputasi, sudah tidak bisa disambung, karena sudah hancur,” keluh Nasar. Tiga hari menjalani perawatan di rumah sakit, Nasar akhirnya dipulangkan ke kediamannya Desa Bungin Permai.

Meski begitu, Nasar masih harus berobat jalan. Sesekali mengecek kondisi luka operasi di rumah sakit di Kota Kendari, ibukota Sulawesi Tenggara, 95 kilometer dari Desa Bungin Permai.

Desa Bungin Permai, Kecamatan Tinanggea, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. (Foto: google maps)

Dari hasil “memburu” teripang itu, Nasar tak diberi tahu rekan-rekannya mengenai nominal penjualan teripang dan upah bagi hasil untuknya. Nasar juga tak diberi biaya pengobatan dari pemilik kapal, pihak yang mengatur pembagian hasil penjualan teripang.

Bahkan, biaya pengobatan Rp 2 juta dari pengepul dipotong oleh “bos”, panggilan juragan kapal. Istri Nasar, Ramlah (31) hanya menerima Rp 1,5 juta. Ramlah menyesalkan perlakuan sang juragan kapal yang dinilai tidak bertanggung jawab atas kecelakaan yang dialami suaminya.

Menurut Ramlah, lebih baik juragan kapal tak memberikan uang itu. Sebab, kaki Nasar tak bisa digantikan oleh apapun. “Kakinya yang putus tidak bisa dibandingkan dengan uang, dengan rumah sekalipun. Biar juga kaki palsu, beda juga dengan asli,” katanya.

Sejak saat itu, Nasar tak bisa melakoni rutinitas sebagai nelayan lokal, karena menghabiskan seluruh waktunya di rumah. Jangankan untuk membiayai perawatan luka, untuk makan pun Nasar sudah tak mampu. Demi bertahan hidup, Nasar terpaksa menjual pukat dan mesin kapal miliknya.

“Seandainya kami tahu begini, jangan mi pergi,” ujar Ramlah bercampur kecewa. Peran Nasar sebagai tulang punggung pun dilakoni sang istri. Sejak 2 tahun terakhir, Ramlah bekerja sebagai karyawan rumah membuat agar-agar dari rumput laut. Ia diupah Rp 30 ribu – 50 ribu per hari.

Upah itu tak mampu membiayai kehidupan Nasar dan dua anaknya yang sudah bersekolah di bangku sekolah dasar. Nasar berharap belas kasih dermawan, ataupun kerabat agar bisa melanjutkan hidup.

Nasib berbeda dialami Kadir (50), juragan kapal asal Desa Torokeku, Kecamatan Tinanggea, juga kerap kali melakukan penangkapan teripang secara ilegal di Australia.

Selasa siang, awal Maret 2025, Kadir menambatkan kapal berwarna silver berkapasitas 3 GT, tepat di belakang rumah iparnya, Haris (56). Mereka berencana mencari teripang secara ilegal ke Australia, keesokan harinya.

Siang itu, mereka tengah menyiapkan bahan bakar solar. Kadir mula-mula menurunkan drum biru kosong ke dalam palka kapal. Haris membantu menyangga drum berukuran 200 liter.

Sejurus dengan itu, 4 anak buah kapal (ABK) menjinjing jeriken ukuran 30 liter berisi solar. Solar dari jeriken dituang satu per satu ke dalam drum. Total sekitar 5 drum yang diisi.

Nelayan Desa Torokeku, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, memindahkan BBM jenis solar ke sejumlah drum sebagai bahan bakar kapal menuju Australia untuk mencari teripang. (Foto: Fadli Aksar)

“Tidak sampai 4 drum saja, sampai mi di Saumlaki (Desa di Kepulauan Tanimbar, Maluku). Tidak jauh dari situ, dekat mi tempat pencurian,” ujar Haris berseloroh sambil tertawa. Untuk sampai ke Australia, kapal berkapasitas 3 gros ton yang akan dikemudikan Kadir, membutuhkan 4 sampai 5 ton solar.

Tak hanya itu, Kadir membawa beras dan mie instan sebagai bahan makanan untuk bertahan sela 2 pekan di Australia. Tak lupa beberapa setel pakaian. Tak lupa membawa peralatan masak, kompor dan belanga untuk mengolah teripang agar awet.

“Butuh Rp 60 juta setiap kali berangkat. Kita bawa banyak garam, bahan bakar dan makanan, termasuk rokok untuk ABK,” ujar Kadir. Setelah perbekalan dan bahan bakar dipersiapkan selama 10 hari, Kadir dan 6 ABK mulai melakukan perjalanan.

Usai santap sahur, hari kelima puasa, Kadir memulai perjalanan laut dari Desa Torokeku pukul 04.00 WITA. Selama perjalanan, mereka melalui rute perairan Ereke Buton Utara dengan mengitari Pulau Buton.

Rombongan ini menyempatkan diri untuk beristirahat sembari mendinginkan mesin kapal selama satu jam di Pulau Binongko Wakatobi. Selanjutnya, mereka melanjutkan perjalanan ke Pulau Wetar sampai ke Saumlaki Maluku.

Pelabuhan Saumlaki, Kepulauan Tanimbar, Maluku. (Foto: Maverick Offline Maps)

Mereka menghabiskan waktu 12 jam untuk menempuh perjalanan sekitar 500 mil laut sampai di Desa Saumlaki, Kepulauan Tanimbar. Mereka menunggu waktu malam untuk masuk ke wilayah Darwin Australia.

Sejumlah nelayan Sultra masuk ke wilayah Australia pada saat waktu magrib. Pemilihan waktu malam hari ini agar tidak terdeteksi petugas keamanan perbatasan Australia yang kerap melakukan patroli. Tujuan akhir mereka adalah hutan bakau di wilayah pesisir.

“Masuknya sembunyi-sembunyi, setelah magrib. Karena kalau siang, khawatir kami terdeteksi petugas patroli perbatasan Australia,” kata Kadir.

Di samping itu, situasi yang gelap malam hari, memudahkan nelayan untuk mendeteksi cahaya kapal petugas keamanan demi menghindari penangkapan. “Dari kejauhan sudah terlihat, sehingga kita bisa menjauhi kapal patroli, berputar, ubah rute,” ujar pria paruh baya ini.

Dalam setahun, Kadir bisa sampai 5 kali masuk ke Australia untuk mencari teripang. Biasanya, Kadir membawa pulang 1.700 hingga 4 ribu ekor teripang. Satu ekor teripang berukuran 5 ons dihargai Rp 410 ribu hingga 420 ribu.

Teripang dengan ukuran jumbo ini dianggap sebagai teripang nomor 1 dengan kualitas terbaik. Sementara, untuk teripang dengan ukuran 3 hingga 4 ons dihargai Rp 300 hingga 350 ribu per ekor. Sedangkan untuk teripang ukuran 2 ons dibeli Rp 150 ribu per ekor.

Kadir sendiri pernah menjual 3.500 ekor teripang ke pengepul. Namun, ia enggan menyebut nominalnya. Sementara, Haris menjual 700 ekor teripang senilai Rp 215 juta.

Para nelayan asal Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, tengah mencuci teripang sebelum dimasak di wilayah bakau kawasan pesisir Darwin Australia. (Foto: nelayan Torokeku)

Hasil penjualan teripang ini kemudian dibagi sesuai kesepakatan awal. Setiap ABK mendapat satu bagian. Lain halnya dengan juragan atau pemilik kapal seperti Kadir. Ia mendapatkan dua bagian.

Selain bertugas sebagai juru kemudi, Kadir juga bertanggung jawab atas keselamatan ABK beserta muatan kapal. ABK yang bertugas menjaga mesin kapal, pun mendapat kelebihan setengah bagian.

Jika ada kerabat meminjamkan mesin kapal, ia akan dihitung mendapat jatah satu bagian. Dalam bisnis terlarang ini, tak sedikit dari para nelayan melakukan perjudian dengan menyumbang uang 10 hingga 20 juta.

Untuk setiap orang yang menyetorkan uang Rp 10 juta, mereka akan mendapatkan satu bagian. Sementara, untuk Rp 20 juta, akan mendapatkan 2 bagian dari hasil penjualan teripang. “Tapi kalau kita ditangkap, uang itu akan hangus. Itu sudah kesepakatan awal,” jelas Kadir.

Keberangkatan Maret 2025, Kadir membawa serta 6 ABK, menggunakan kapal 3GT dengan 4 mesin. Mereka juga mendapatkan sokongan dana Rp 20 juta.

Sehingga rencananya, jika misi ini berhasil, maka keuntungan bersih penjualan teripang akan dibagi 15. “Misalnya kita dapat Rp 300 juta. Dikurangi dulu pengeluaran, Rp 300 juta itu dibagi 15,” katanya.

Membaca Cuaca

Awal Maret 2025 merupakan waktu yang tepat untuk melakukan perjalan laut ribuan kilometer. Sebab, di bulan ini kondisi air laut sedang teduh.

Untuk mengetahui itu, Kadir kerap membaca cuaca lewat aplikasi prakiraan cuaca Windy dan pelacak jalur Maverick Offline Maps di gawainya. Aplikasi ini diunduh terlebih dahulu sepekan sebelum keberangkatan.

Hasil bacaan cuaca Kadir, memprediksi pada 4-7 Maret 2025 kondisi laut teduh. Angin tak berhembus kencang. “Tanggal 8, 11, 12, 13 (Maret 2025) baru (kencang) tapi tidak lama. Hanya 1-2 jam saja,” kata Kadir.

Situasi cuaca akan landai mulai 15 Maret hingga April. Meski demikian, angin masih akan berhembus kencang dengan kecepatan 13 hingga 14 knot.

Dengan data itu, Kadir pun bisa menentukan kecepatan kapal dan mengukur estimasi waktu tempuh di pulau tujuan untuk mampu menghindari angin kencang serta gelombang tinggi.

Misalnya, dari Desa Torokeku ke Pulau Wakatobi membutuhkan waktu 4 jam. Ketika berangkat pukul 4 dini hari, maka tiba pukul 8 pagi.

Sementara, diperkirakan angin kencang akan melintas pada pukul 7 dan pukul 8. Kadir memutuskan untuk menunda keberangkatan. Ia memilih berangkat setelah angin kencang berlalu. “Jadi kita kasih lolos dulu angin supaya kita tidak berpapasan,” katanya.

Kadir mengaku pernah mengemudikan kapal dari perbatasan Indonesia di NTT menuju Australia dengan kecepatan 17 knot sejauh 160 mil laut dalam waktu 12 jam.

Hendar (22) menyebut, apikasi Windy dan Maverick Offline Maps sangat membantu nelayan terhindar dari kecelakaan kapal. Kelebihan aplikasi itu bisa digunakan walaupun tanpa jaringan internet.

Mereka membawa handphone selama perjalanan, selain untuk mendokumentasikan teripang hasil tangkapan, gawai juga digunakan untuk membaca cuaca dan posisi mereka.

Khawatir terdeteksi radar aparat perbatasan, mereka lebih sering mematikan handphone atau mengaktifkan mode pesawat.

“Walaupun mode pesawat, aplikasi itu bisa terbuka. Terkadang aktifkan GPS hanya 5 menit untuk lihat posisi, kemudian kita matikan lagi,” katanya.

Alhasil, selama ini, Hendar belum pernah mendapat laporan terkait nelayan asal Sultra yang hilang. Hendar mengklaim, laporan kehilangan hanya terjadi kepada nelayan NTT, karena mereka tak menggunakan aplikasi itu.

Mengelabui Petugas

Untuk mengelabui petugas patroli perbatasan Australia, nelayan Sultra acap kali melancarkan aksinya pada malam hari. Mereka kerap berangkat dari Saumlaki Maluku ataupun Papela NTT pukul 18.00 Wita.

Waktu ini dipilih untuk menghindari patroli keamanan perbatasan ketika memasuki perairan Australia. Mereka akan menempuh perjalanan selama satu malam dengan estimasi tiba pukul 6 pagi di hutan bakau wilayah pesisir Darwin.

Haris mengaku dirinya juga sering menjarah teripang di Australia, namun dirinya belum pernah ditangkap, karena acap kali berhasil mengelabui petugas.

Saking lihai mengelabui petugas, jadwal patroli otoritas keamanan Australia tertancap kuat dalam ingatan pria paruh baya ini. “Dua kali ji patroli, jam 9 pagi dan jam 3 sore,” katanya.

Menurut Haris, petugas penjaga perbatasan Australia melakukan patroli laut menggunakan kapal lebih mudah dihadapi dibanding menggunakan pesawat nirawak.

Sebab, kapal sulit melakukan pemantauan dan penyisiran kapal asing ketika air sedang surut. Sebaliknya, drone menjadi ketakutan tersendiri bagi nelayan, karena memiliki daya jangkau yang luas.

“Kalau sudah lewat pesawat (drone), tidak lama muncul kapal. Itu tandanya mereka lihat kita. Itu bahayanya pesawat ini. Tapi kalau tidak dilihat kita, berputar-putar saja di situ,” ucap Haris.

Jika mereka terlihat oleh drone, para nelayan ini tak kehabisan akal, mereka langsung berkamuflase dengan bersembunyi di balik batu ataupun pohon bakau yang direbahkan.

Wilayah pesisir di kawasan bakau menjadi lokasi persembunyian nelayan asal Konawe Selatan untuk menghindari patroli dari petugas perbatasan ataupun Imigrasi Australia. (Foto: Nelayan Torokeku)

“Makanya perahunya itu ada yang di-cat kayak (menyerupai) batu dan pohon. Dua warna saja, hijau daun dan kayak warna batu, pasir,” jelasnya.

Para nelayan mengakui tak ada pengawasan atau patroli di wilayah perairan Indonesia. Hal ini membuat nelayan nyaman dan tanpa khawatir melewati garis perbatasan.

Mereka mulai khawatir ditangkap ketika sudah melewati perbatasan Indonesia dan memasuki wilayah perairan Australia. “Itulah kami heran kenapa tidak pernah melihat petugas melakukan patroli,” kata Haris.

Ada aturan khusus yang wajib dijalankan oleh para ABK selama mengarungi laut di wilayah Australia agar tidak terdeteksi petugas perbatasan. Mereka harus merokok di dalam kapal dan dalam posisi merunduk.

Selain itu penggunaan senter dilarang. ABK hanya bisa menyalakan cahaya senter di korek gas untuk penerangan.

Hendar mengungkap, penangkapan teripang tak hanya secara manual menggunakan tangan kosong, melainkan penggunaan alat cantrang, trawl.

Penggunaan pukat harimau dilakukan ketika air laut pasang. “Kalau surut cari manual, tapi kalau pasang dikasih turunmi katonda,” katanya.

Cerita Penangkapan

Beda nasib dengan Kadir dan Haris, Hendar (22) dua kali ditangkap dan ditahan di Australia setelah kedapatan menjarah teripang medio 2024 lalu.

Kala itu, pemuda Desa Torokeku ini ditangkap saat bergerak pulang ke Indonesia setelah 10 hari mendulang sekitar 700 ekor teripang di wilayah Darwin, Australia.

Hendar dan 6 rekannya ditangkap oleh patroli gabungan saat kapal yang mereka tumpangi telah mendekati perbatasan Indonesia di wilayah NTT pukul 1 dini hari.

Mereka sempat kejar-kejaran dengan aparat imigrasi Australia yang menggunakan speedboat. Namun karena angin kencang serta gelombang tinggi sehingga tak bisa meloloskan diri.

Hendar dan 6 rekannya tak menyadari keberadaan kapal patroli perbatasan Australia yang mengejar mereka. Sebab, petugas mematikan lampu kapal dan ditambatkan di tempat yang jauh.

Petugas keamanan perbatasan Australia juga mengerahkan speed boat untuk melakukan pengejaran. Nelayan Konawe Selatan ini baru sadar saat speed boat berada tepat di belakang kapal mereka.

“Disuruh matikan mesin tapi kami tidak mau, lari terus. Tapi akhirnya kami disetop.Teripang dibuang, dibuang semua, 700 (ekor) lebih,” ungkap Hendar.

Hendar dan rekan-rekannya kemudian didata dan difoto oleh petugas. Mereka kemudian dibawa ke kapal patroli. Mereka tak langsung dibawa ke daratan, melainkan tinggal beberapa pekan di kapal patroli.

Mereka juga turut menyaksikan 2 kapal nelayan asal Kabupaten Muna Barat ditangkap dan diangkut bersama-sama di kapal patroli. Total nelayan yang ditangkap sebanyak 29 orang dari tiga kapal asing yang menjarah teripang di Australia.

Para nelayan ini dibawa ke pelabuhan lalu diterbangkan ke wilayah Perth, ibukota negara bagian Australia Barat. Hendar mengaku, ditahan selama 2 bulan di Imigrasi Australia.

Selama menjalani masa penjara, Hendar tidak kesulitan makanan. Bahkan, Kendari menyebut, sampai bosan menikmati makanan sambil menonton televisi di ruang berpendingin udara. “Enak di sana (penjara), bebas merokok,” ucap Hendar sambil tertawa.

Sebelumnya ditahan, Hendar menjalani sidang terlebih dahulu oleh otoritas Australia. Ia diwanti-wanti, jika melanggar sebanyak tiga kali, maka otoritas Australia akan menahan Hendar selama 1 tahun.

Data Ditjen PSDKP Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyebut, 216 nelayan ditangkap otoritas Australia karena melakukan penanganan teripang secara ilegal. Sebanyak 48 persen atau 103 di antaranya merupakan nelayan asal Sulawesi Tenggara.

Sebanyak 103 nelayan itu berada dari Kabupaten Konawe Selatan, Muna Barat dan Kota Baubau.

Dua bulan ditahan Imigrasi Australia, Hendar akhirnya dipulangkan ke Indonesia menggunakan pesawat dari Perth tujuan Bali. Tak lupa, Imigrasi memberikan uang sebesar 50 dolar Australia kepada Hendar.

Namun, setiba di Bali, Hendar kebingungan. Sebab, uang saku diberikan imigrasi kelas jika dirupiahkan, hanya Rp 475 ribu. Tak cukup untuk pulang ke Konawe Selatan. Harga tiket untuk pulang ke Konawe Selatan, lewat penerbangan dengan rute Bali – Kendari senilai Rp 1,6 juta.

Hendar pun menghubungi keluarganya di Desa Torokeku agar mengirim uang untuk membeli tiket pesawat. Hendar akhirnya bisa menjejakkan kakinya kembali ke kampung halamannya.

Tak jera, Hendar justru kembali berangkat ke untuk menangkap teripang di Australia. Kali ini Hendar ditangkap kedua kalinya. Saat itu, kapal berjumlah 11 orang nelayan asal Konawe Selatan.

Nelayan Konawe Selatan itu ditangkap saat bersembunyi di dalam bakau, setelah mengumpulkan teripang. Petugas perbatasan yang menyisir sungai menggunakan speedboat, mendapati nelayan ini tengah bermain kartu remi.

Saat itu ada 4 kapal yang ditemukan. Mereka dibawa ke kapal induk. Ternyata sudah ada tiga kapal nelayan asal Muna Barat yang ditangkap lebih dulu. Dua dari empat kapal dipulangkan. Sisanya dibakar, termasuk kapal yang ditumpangi Hendar.

Dua kapal yang dilepaskan itu mengaku dari Rote Ndao, NTT saat diinterogasi. Sementara 2 kapal yang dibakar mengaku dari Kendari. “Kalau dari Kendari pasti ditahan. Itu salahnya kami mengaku dari Kendari,” ujar Hendar.

Berbeda saat ditangkap pertama kali, Hendar mengaku mereka ditahan di hotel di wilayah Darwin Australia. Mereka mendapat perlakuan manusiawi, sebab tanpa mendapatkan penyiksaan.

Dalam sekamar ditempati 3 tahanan dan diberi 1 unit tablet. Mereka juga menjalani pemeriksaan kesehatan secara berkala. Bagi nelayan yang pertama kali masuk akan di-rontgen.

Selain itu, para tahanan ini juga dibolehkan menikmati fasilitas hotel seperti billiard, gim play station, serta berkomunikasi dengan keluarga di Indonesia.

Para tahanan juga diberi kesempatan untuk merokok satu batang per orang dengan jadwal yang diatur 4 kali dalam sehari. Mereka dibawa ke depan hotel ketika masuk jadwal merokok. “Digilir 5 orang setiap turun merokok di bawah hotel,” katanya.

Hendar menjalani masa penjara selama 1 bulan di Darwin Australia sebelum akhirnya dipulangkan ke Indonesia lewat Bandara I Gusti Ngurah Rai, Bali.

Hendar sempat tinggal selama 10 hari di Tanjung Benoa, karena tak memiliki uang untuk melanjutkan perjalanan pulang ke Konawe Selatan.

Hendar menyadari, iming-iming hasil penjualan teripang membuat dirinya kerap tergoda untuk melakukan ilegal fishing di Australia. Namun, risiko keselamatan dari keganasan buaya hingga penangkapan membuat dirinya berpikir tak akan kembali.

Humas Ditjen PSDKP KKP Sahono Budianto mengakui, pihaknya minim melakukan pengawasan. Hal itu diduga menjadi faktor mudahnya nelayan Indonesia melakukan ilegal fishing di Australia.

Meski begitu, Sahono mengklaim, tanggung jawab pengawasan tak hanya dipikul sendiri oleh kepada KKP, melainkan tanggung jawab Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP), Ditpolair, TNI AL, hingga Bakamla.

PSDKP sendiri memiliki pangkalan Satuan Pengawasan SDKP Kendari, Tual dan Ambon. Namun, pihaknya mengakui, minimnya pengawasan karena beberapa faktor, seperti cuaca, ombak, dan dukungan dari nelayan.

Ditjen PSDKP KKP dan otoritas Australia telah bekerjasama untuk melakukan patroli, namun terjadwal sekali setahun.

“Jadi tidak setiap hari kita bisa lakukan. Tidak mungkin lah nongkrong terus di tengah laut. Jadi operasinya diatur sedemikian rupa,” ujar Sahono.

Sahono bilang, PSDKP dan berbagai otoritas kelautan hanya berwenang melakukan pengawasan di wilayah perairan Indonesia. Sehingga, ketika terjadi penangkapan nelayan di wilayah Australia, maka menjadi kewenangan negara bersangkutan.

Ditjen PSDKP pun menghormati aturan hukum yang berlaku di wilayah Australia yang menangkap ratusan nelayan Indonesia, termasuk 103 orang dari Sultra.

Pihaknya berkomunikasi secara intensif dengan Kementerian Luar Negeri dan KBRI serta konsulat jenderal di Darwin ketika ada nelayan Indonesia yang ditangkap di Australia.

“(kami memantau) sejauh mana proses (hukumnya) di sana, apakah memang bisa dilakukan bantuan, itu kami melalui Kemlu,” kata Sahono Budianto.

Ditjen PSDKP mengklaim berupaya melakukan pemulangan nelayan Indonesia yang ditangkap lewat kerja sama pengawasan perikanan Indonesia-Australia. Kerjasama itu bernama Indonesia-Australia Fisheries Surveillance Forum (IAFSF).

Pertemuan bilateral antara Ditjen PSDKP Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dengan Pemerintah Australia sebagai bentuk kerjasama Indonesia-Australia Fisheries Surveillance Forum (IAFSF). (Foto: Instagram Kedutaan Besar Australia)

Forum ini menyepakati pertukaran data hingga proses pemulangan nelayan yang tertangkap mencuri ikan di luar negeri, baik dari Indonesia maupun Australia. Meski begitu, PSDKP belum bisa memastikan jumlah nelayan yang masih ditahan di Australia.

“Untuk data detilnya saya tidak hapal satu per satu, karena bukan hanya dari Sultra, tapi juga dari NTT. Saya harus menanyakan kepada instansi yang menangani itu, mohon waktu ya,” ujar Sahono.

Untuk meminimalisir ilegal fishing di luar negeri, termasuk pencurian teripang, KKP juga telah bekerjasama melakukan pencegahan dengan menggelar kampanye publik. Tahun 2024, telah dilakukan di 3 wilayah di Sultra, daerah asal nelayan yang tangkap di Australia, seperti Baubau, Konawe Selatan, dan Muna Barat.

Tahun 2025 ini, PSDKP bersama Australia Management Fisheries Authority (AMFA) kembali turun melakukan kampung publik. Rencananya kampanye pencegahan akan digelar di Sultra di antara di Konawe Selatan atau Kota Baubau.

“Bersama dengan AMFA kami survei dulu di mana lokasi yang paling tepat, dengan dipertimbangkan nelayannya yang pernah melakukan kegiatan penangkapan teripang,” jelasnya.

Ditjen PSDKP akan menelusuri jaringan perdagangan teripang Australia hingga diekspor keluar negeri. Pihaknya saat ini masih melakukan penyelidikan dan pengumpulan bahan keterangan untuk mengungkap hal itu.

“Untuk mengatasi ini semua informasi perlu kita perdalam, digali untuk merumuskan bagaimana menanganinya, supaya penanganannya tidak sepotong-sepotong, karena kita ingin tuntaskan jejaringnya sampai ke akar-akarnya,” tandasnya.

Sementara itu, Nugroho Aji mewakili Direktur Penanganan Pelanggaran Ditjen PSDKP menjelaskan, penangkapan ikan secara ilegal yang dilakukan oleh nelayan Indonesia di perairan Australia akan menimbulkan resiko tidak hanya kepada para nelayan itu sendiri.

Namun juga bagi reputasi negara Indonesia yang citranya akan turun dan mengganggu hubungan baik yang telah terjalin di antara dua negara.

“Selain besarnya risiko yang dihadapi dari kondisi cuaca dan lautan yang menantang, apabila tertangkap, kapal beserta hasil tangkapan akan disita dan dimusnahkan, selanjutnya nelayan akan mendapat hukuman denda yang tinggi dan akan dipenjara apabila tidak dapat membayar denda tersebut,” jelas Nugroho Aji.

Nugroho Aji menambahkan, mulai tahun 2025 pemerintah Australia telah menyampaikan kepada Perwakilan Indonesia di KBRI Canberra bahwa mereka tidak lagi menyediakan jasa lawyer atau penasehat hukum bagi para nelayan Indonesia yang diproses hukum.

“Itu artinya nelayan indonesia kemungkinan akan mendapatkan hukuman yang lebih berat dari sebelumnya,” tegasnya.

Lidya Woodhouse, perwakilan dari AFMA mengungkapkan, pemerintah Australia sangat prihatin karena para nelayan Indonesia yang menangkap ikan tanpa izin di perairan mereka tidak hanya masuk ke wilayah perbatasan, namun telah jauh menjelajah hingga ke wilayah teritorial di Western Australia.

Lidya Woodhouse dari perwakilan Australia Management Fisheries Authority (AMFA). (Foto: PSDKP)

“Australia memiliki peraturan perikanan dan lingkungan hidup yang sangat ketat untuk melindungi lingkungan dan biota laut yang dimiliki,” kata Lidya.

Traditional fishing right yang diberikan kepada nelayan tradisional Indonesia di kawasan MoU Box hanya diberikan kepada nelayan menggunakan kapal layar tanpa mesin untuk menangkap ikan yang hidup di kolong air saja.

“Sedangkan teripang dan hewan lainnya yang hidup di dasar laut tidak boleh diambil karena sesuai dengan perjanjian wilayah yang telah disepakati oleh kedua negara, dasar laut di perairan perbatasan Indonesia-Australia (landas kontinen) merupakan milik Negara Australia,” tutur Lidya.

Pemerintah Australia tengah menggagas kemungkinan untuk memberikan visa kerja di kapal-kapal perikanan Australia bagi nelayan Indonesia.

“Namun dengan syarat mereka tidak boleh tersangkut tindak pidana dan tidak mempunyai catatan kriminal pernah ditangkap oleh pemerintah Australia,” tegas Lidya.

_Liputan ini didukung penuh Enviromental Justice Foundation (EJF) dan Project Multatuli_

Penulis: Fadli Aksar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like