
MATALOKAL.COM, KONAWE – Kesejahteraan warga Kabupaten Konawe dan Konawe Utara, merosot drastis sejak perusahaan industri nikel beroperasi di daerah mereka. Alih-alih bisa membawa kesejahteraan, PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) dan PT Obsidian Stainless Steel (OSS) diduga mengabaikan dokumen Amdal. Nyawa warga juga terancam akibat paparan debu batu bara.
Siang terik di bulan Desember 2024, Amir (67) dan istrinya Suhoria (65) memarkirkan motornya di tengah jalan untuk mengadang truk pengangkut batu bara yang saban hari melintas dekat tambak mereka.
Beberapa warga turut melakukan hal yang sama. Mereka menutup akses jalan truk yang menuju dan pabrik PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) dan PT Obsidian Stainless Steel (OSS).
Jalan hauling ini melintasi Desa Kapoiala Baru, Lalimbue Jaya, Lalonggombuni, dan Muara Sampara sepanjang 5 kilometer. Sontak, para supir menghentikan laju truk. Antrean puluhan truk mengular.
Amir kesal lantaran udang yang belum cukup 10 hari di kolam pembibitan tidak berkembang bahkan tiba-tiba mati di areal tambak Desa Kapoiala Baru, Kecamatan Kapoiala, Kabupaten Konawe, awal Desember 2024.
“Empat ekor saja udang yang hidup. Ikan empat ekor juga. Mau bukti, ambil di kulkas saya,” ucap Amir kepada salah satu karyawan PT VDNI yang meminta bukti ikan mati.
Di pinggir tambak, Amir melihat debu hitam batu bara mengapung di atas air. Ia meyakini, debu batu bara itu jadi penyebab kegagalan budidaya ikan dan udang.
Debu hitam itu berasal dari ratusan truk pengangkut bahan bakar fosil yang setiap hari melintas di jalan hauling tak sampai 100 meter dari tambak milik Amir. Debu batu bara itu diterbangkan angin ke arah pematang.
Amir merupakan satu dari puluhan warga Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan yang bermigrasi di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, 31 tahun silam.
Tahun 1993, Amir pertama kali menjejakkan kaki di Desa Kapoiala Baru, Kecamatan Kapoiala, Kabupaten Konawe setelah melihat kerabatnya berhasil memanen ikan bandeng dan udang.
Kawasan itu merupakan wilayah hutan bakau dan rawa yang belum diolah. Untuk mengakses wilayah ini, warga menggunakan perahu. Amir melihat, lokasi ini sangat cocok untuk usaha budidaya tambak ikan dan udang. Ia memutuskan membuka lahan di sana.
Setahun setelah membuka lahan, Amir akhirnya mulai melakukan pembibitan ikan bandeng dan udang di areal sepetak tambak seluas satu hektare. Amir melepas 100 ribu ekor udang vaname areal kolam pembibitan. Dalam rentang dua sampai tiga bulan, biota air tawar ini bisa berkembang hingga 1 ton.
Dalam sekali panen, tambak Amir bisa menghasilkan dua sampai empat ton ikan dan udang siap jual. Biasanya, siklus panen setiap dua hingga tiga bulan sekali. Sekali panen, Amir bisa meraup Rp 200 juta hingga Rp 500 juta.
Sejak 2018, panen menjadi aktivitas langka di areal tambak itu. Sebab, panen semakin jarang, hanya digelar sekali setahun. Ukuran ikan dan udang juga menciut bahkan lebih banyak yang mati.
Sejak saat itu, usaha Amir terpuruk. Ia hampir tak bisa lagi memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebelum industri nikel beroperasi, Amir mampu membiayai keluarga dan menyekolahkan tiga anaknya hingga sarjana dari hasil tambak.
Berbeda dengan kondisi puluhan tahun belakangan, Amir kini tak bisa lagi menyambung hidup jika hanya berharap dari hasil tambak. Pria lanjut usia beranak tiga hanya bergantung dari hasil sawahnya yang juga terancam industri nikel.
“Kalau tidak ada sawahku, sudah lama saya mati. Apa yang mau diharapkan? Kehidupan di empang tidak ada penghasilannya,” keluh Amir.
Amir tak sendiri, petambak lain juga ikut jadi korban. Ratusan ikan bandeng di tambak milik Kamriadi juga tiba-tiba mati massal dan terapung. Bau busuk menyengat memenuhi areal tambak miliknya yang 100 meter dari PLTU captive milik PT OSS.
Kamriadi bercerita, Senin dinihari sebelum tidur, ia membuka pintu air yang terhubung dengan Sungai Motui untuk mengairi sepetak tambak. “Saya pikir akan aman, ternyata sudah banyak mati, sekitar ratusan. Dugaan saya penyebabnya karena limbah cair PLTU batu bara yang dibuang di sungai,” ujar Kamriadi.
Kamriadi mengatakan, kematian ikan secara mendadak ini baru pertama kali terjadi dalam lima tahun terakhir. Sejak PT OSS beroperasi, dia mengatakan, hasil produksi tambaknya terus merosot.
Biasanya, Kamriadi memanen ikan bandeng sebanyak dua ton dalam tiga bulan dengan menyemai 20 ribu bibit ikan. Namun, dia mengaku kini siklus panen berubah menjadi setahun sekali dan ukuran ikan mengecil. “Dari 20 ribu bibit, yang hidup hanya 2 ekor,” katanya.
Kamriadi bersama sejumlah warga pemilik tambak berusaha mencari bukti PLTU captive membuang limbah beracun ke Sungai Motui. Mereka menemukan sejumlah pipa besar yang terhubung dengan PLTU captive membuang limbah cair hitam ke Sungai Motui. “Ini yang membuat ikan kami di tambak mati,” katanya.
Warga sempat menemui kepala desa. Mereka menuntut ganti rugi ke PT OSS. Tapi tuntutan itu seperti angin lalu. Karena itu mereka pun melakukan protes dengan memblokir jalan.
“Karena kami sudah bosan demo, tapi tidak pernah ada hasil. Jadi kami berpikir, ketika cara ini juga mandek, mungkin ini sudah takdir, kami pasrah saja, mau pakai jalan apa lagi,” kata Anas Fadil, warga yang juga ikut aksi demonstrasi itu.
Anas Fadil, pemuda Desa Kapoiala Baru semula hidup serba kecukupan dari hasil tambak ayahnya, Tajudin (65). Dia bisa kuliah dari hasil tambak milik ayahnya. “Sekarang untuk menikah saja susah,” jelasnya.
Ibarat jatuh tertimpa tangga, beginilah nasib warga di sekitar industri nikel tersebut. Mereka juga harus menghirup udara yang terpapar debu batu bara. Sahir (50) warga Desa Motui, Kecamatan Motui, Konawe Utara, harus berulangkali ke Puskemas Motui karena batuk-batuk.
Saban hari, dia dan keluarga harus menghirup udara bercampur debu batu bara yang mirip kabut pada pagi hari. Debu hitam yang berasal dari tumpukan batu bara milik perusahaan nikel itu berterbangan sampai masuk ke rumahnya.
Sepuluh menit badai debu hitam batu bara mengepung Motui, mata Sahir perih, tenggorokan panas, bahkan sakit saat menelan liur ataupun makanan. Menurut Sahir, anak-anak dan orangtua paruh baya paling rentan terkena ISPA hingga sakit paru-paru.
Salah satu anggota Komisi Teknis Analisis Dampak Lingkungan Bidang Sosial dan Budaya Nur Arafah mengatakan, penempatan kawasan industri nikel di Kecamatan Morosi, Bondoala dan Kapoiala tidak tepat.
Menurutnya, pengembangan kawasan industri itu telah melanggar rencana tata ruang wilayah (RTRW) karena kawasan tersebut merupakan wilayah konservasi air untuk menyangga pertanian dan pengairan.
Wakil Rektor III Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari ini sempat menolak untuk memberikan kajian akademik selama dua tahun berturut-turut pada 2014-2015.
“Mengubah tata ruang artinya cara legal merusak lingkungan. Karena tata ruang sejak dulu ditetapkan sesuai dengan ekologi wilayah. Kegiatan tambang dengan pertanian dan pelestarian lingkungan itu sangat bertentangan,” kata Nur Arafah.
Perusahaan tambang itu bisa beroperasi setelah RTRW diubah secara paksa oleh pemerintah dan DPR. Nur Arafah menyayangkan hal tersebut karena baginya perubahan RTRW itu melegitimasi kerusakan lingkungan.
Jika kemudian perusahaan sudah mengantongi persetujuan Amdal, Nur Arafah mengatakan perusahaan harus menjamin segala aktivitasnya tidak memberikan perubahan lingkungan di bawah baku mutu.
Kepulan asap putih tebal keluar dari pabrik peleburan nikel PT Obsidian Stainless Steel di Kecamatan Morosi, Kabupaten Konawe. (Foto: Fadli Aksar)Sebab, menurutnya, indikator persetujuan dokumen Amdal diberikan karena perusahaan dinyatakan mampu mengelola dan mengatasi dampak lingkungan baik dari sisi kebijakan, teknologi dan sosial.
Nur Arafah menilai, aksi blokir jalan Amir dan kawan-kawan merupakan konflik yang lahir dari keresahan masyarakat akibat dampak lingkungan yang serius dan dibiarkan berlarut-larut.
Menurutnya, aksi itu merupakan bentuk konflik sosial terbuka sebagai bukti kongkrit meningkatnya eskalasi keresahan masyarakat yang tidak mendapatkan perhatian dari perusahaan.
“Resah saja tidak boleh. (Apalagi) kalau masyarakat sudah demonstrasi, itu konflik terbuka, itu tidak diperbolehkan, harus diselesaikan dan disikapi perusahaan.
Nur Arafah meminta pemerintah berani menindak tegas dengan menjatuhkan sanksi pencabutan izin kepada perusahaan smelter nikel PT VDNI-OSS ketika ditemukan pencemaran lingkungan apalagi sampai mengakibatkan warga meninggal dunia.
Ketentuan sanksi itu telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. “Kalau terjadi pencemaran terus-menerus, sudah bisa dituntut melalui gugatan class action di pengadilan. Cara pembuktian ambil saja sampel itu,” tegas Nur Arafah.
Selain menggunakan metode ilmiah, indikator sederhana untuk mengukur pelanggaran lingkungan hidup adalah dengan kasat mata.
Arafah mencontohkan, perusahaan yang menjanjikan ke warga sekitar soal lapangan kerja hingga pendapatan meningkat pada tahap awal beroperasi namun ternyata tidak terbukti.
“Tapi ketika sama atau di bawah itu pelanggaran, yang tidak pernah tercemar kemudian jadi tercemar itu pelanggaran. (Sebelum masuknya perusahaan) warga hidup tenang ketika melakukan demo itu bukti pelanggaran,” tegasnya.
Dugaan pelanggaran Amdal ini juga diperkuat oleh temuan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Tenggara. Lembaga yang peduli pada lingkungan hidup ini menilai VDNI-OSS telah mengabaikan ketentuan teknis Amdal mulai dari pengendalian polusi udara dan pencemaran air.
Menurut Direktur Walhi Sulawesi Tenggara Andi Rahman, perusahaan itu mengabaikan kewajiban alat pengendali emisi hasil pembakaran batu bara di PLTU captive seperti yang tertuang dalam dokumen Amdal.
“Itu tidak dijalankan bertahun-tahun, kami tahu baru 6 bulan terakhir. Tapi itu sudah terlambat, karena sudah banyak penyakit ISPA akibat polusi udara PLTU,” kata Andi Rahman.
Walhi juga menemukan, perusahaan tidak mengelola air lindi atau limbah cair secara layak dan bertanggung jawab. Menurut Andi, limbah ini seharusnya dikelola di dalam kawasan industri agar tidak berbau busuk dan berwarna hitam ketika dibuang ke sungai atau laut.
“Kami sudah melakukan uji kualitas di tambak yang dialiri Sungai Motui, hasilnya terjadi pencemaran kandungan beracun, seperti kadnium dan timbal,” jelas Andi.
Berdasarkan data hasil pengujian air Sungai Motui, bernomor 0441/LMIPAUHO/X/2024 dengan jenis uji sampel air terhadap parameter Cadnium (Cd) pada 21 Oktober 2024, menunjukkan melampaui ambang batas baku mutu air, yakni 0,0977.
Selanjutnya, uji laboratorium dengan parameter kimia Tembaga (Cu) terhadap air Sungai Motui, hasilnya 0,0485 atau melampaui ambang batas baku mutu.
Begitu pula uji laboratorium terhadap sedimen di tiga titik areal Sungai Motui, pada 18 Oktober 2024, ditemukan cemaran berbahaya dan beracun, yakni logam berat berupa parameter Cadmium (Cd), Tembaga (Cu), Timbal (Pb), Seng (Zn), dan Nikel (Ni).
Bukan hanya pencemaran air. Dugaan VDNI-OSS diduga mengabaikan kualitas udara akibat aktivitas pabrik pengolahan nikel. Dugaan ini diperkuat oleh kajian Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA). Lembaga ini melakukan studi pada Februari 2024 yang menyatakan, pabrik smelter menjadi pemicu kematian tertinggi.
Peneliti CREA Katherine Hasan menyatakan, wilayah industri smelter PT VDNI-OSS di Kabupaten Konawe terpapar emisi polutan udara berbahaya konsentrasi partikulat (PM2.5), Sulfur Dioksida (SO2) dan Nitrogen Dioksida (NO2).
Katherine Hasan menyarankan VDNI-OSS melakukan kewajiban kontrol dan monitor kualitas udara ambien. “Kalau dari kasat mata, pasti sudah melebihi,” tegasnya.
Tanpa pemasangan dan pengoperasian teknologi pengendalian pencemaran udara (APC) yang tepat, CREA mengatakan sebanyak 1,2 juta penduduk akan terpapar Sulfur Dioksida dan Nitrogen Dioksida dengan konsentrasi yang melebihi ambang batas harian.
Selain itu, CREA menyatakan 7 juta orang akan terpapar konsentrasi partikel senyawa kimia dengan ukuran kurang dari 2,5 mikrometer (PM 2,5) yang melebihi ambang batas harian.
“Pertumbuhan industri nikel yang pesat, jika tidak diatur, akan menyebabkan lebih dari 3.800 kematian pada tahun 2025 dan hampir 5.000 kasus pada tahun 2030,” tulis CREA dalam hasil risetnya.
Dalam dokumen Amdal VDNI dan OSS, perusahaan industri nikel wajib menyiapkan bak penampungan batu batu bara di areal kawasan sehingga debunya tidak beterbangan.
Namun, praktik di lapangan, penyimpanan batu bara tanpa penutup, mulai dari penampungan di pelabuhan dan di dalam areal PLTU captive.
Akibatnya, debu atau emisi fugitive masuk ke areal pemukiman. Emisi fugitive ini merupakan debu batu bara yang belum dibakar dan masih tersimpan dalam penampungan.
“Emisi fugitive ini gagal dikendalikan oleh perusahaan karena fakta di lapangan, debu ringan batu bara ini dapat dilihat di rumah-rumah warga,” ujar Andi.
Novita Indri, Juru Kampanye Trend Asia mengatakan, perusahaan industri nikel memilih menggunakan batu bara karena alasan berbiaya murah namun mengabaikan bahaya yang timbul.
Menurutnya, bahaya penggunaan PLTU berkelindan dengan pengolahan dan manajemen kontrol yang seringkali diabaikan oleh perusahaan industri nikel.
Meski setiap perusahaan wajib memiliki dokumen Amdal yang harus dilaporkan setiap enam bulan sekali, Novita pesimistis.
“Dokumen ini hanya sekadar dokumen yang gampang sekali dimainkan. Implementasinya di lapangan, kadang memang tidak sesuai, bertolak belakang. Sayangnya dokumen itu juga tidak bisa diakses publik,” kata Novita.
Menurutnya, dokumen Amdal seharusnya diketahui publik agar bisa dipantau dan diawasi untuk mengantisipasi dampak yang ditimbulkan.
Salah satu alat ukur yang bisa digunakan sebagai indikator pengawasan publik adalah pemasangan alat indeks pengukuran udara (IPU) disertai papan informasi di setiap kecamatan ataupun jalan di sekitar lingkar industri nikel. Sehingga publik bisa mengetahui kadar karbon, nitrogen, dan kandungan lain dari batu bara yang dihasilkan.
Di sisi lain, pemantauan kualitas udara ini juga bisa digunakan pemerintah mengintervensi perusahaan untuk melakukan pengelolaan lingkungan.
“Warga di sana (Konawe-Konawe Utara) berhak tahu kualitas udara, apalagi ada industri di dalamnya. Jadi pemerintah tidak bisa lepas tangan begitu saja,” jelasnya.
Menurut Novita, ketika pengelolaan batu bara ini tidak dipantau, diawasi dan dievaluasi, akan berkorelasi dengan peningkatan penyakit ISPA dan beberapa penyakit lain.
Lebih jauh Novita menyatakan, masyarakat yang menjadi korban tidak pernah mendapatkan kompensasi dari perusahaan karena dianggap sebagai penyakit biasa dan bukan disebabkan dari polutan udara batubara.
Trend Asia menyatakan, pemerintah sudah sepatutnya menjatuhkan sanksi kepada perusahaan smelter nikel apalagi terbukti melanggar karena tidak memenuhi standar baku lingkungan hidup.
Sanksinya berupa pemberhentian operasi sementara, memperbaiki cerobong pengelolaan emisi, hingga penutupan aktivitas operasi perusahaan.
Tetapi sanksi ini alih-alih diterapkan, pemerintah juga enggan melakukan pengawasan. “Seharusnya DLH ini memiliki catatan, kalau tidak punya, pertanyaannya kenapa mereka tidak mengawasi apalagi terbukti ISPA di sana meningkat,” ujarnya.
Penulis sudah mencoba menghubungi General Affair PT VDNI Bahar, namun yang bersangkutan tidak merespon pesan yang disampaikan melalui aplikasi Whatsapp.
Selain Bahar, penulis juga berusaha mengkonfirmasi ke Humas VDNI Ihsan Umar. Namun tidak mendapatkan jawaba. Penulis juga mengkonfirmasi ke Humas OSS bernama Edo. Lagi-lagi tidak ada respon untuk permintaan konfirmasi.
Kewajiban PT VDNI-OSS sesuai dokumen Amdal:
Membangun tempat penyimpanan batu bara PLTU dengan kebutuhan harian 22 ribu ton per hari.
Membangun pengendali kualitas udara yang dilengkapi pengendali debu, gas SO2 (sulfur dioksida), juga dilengkapi pemantau emisi pencemar udara.
Membangun unit pengelola air dan limbah cair.
Menerapkan alat Flue Gas Desulfurization (FGD) untuk menekan emisi gas SO2 (sulfur dioksida)
Membangun areal penimbunan abu sisa pembakaran batu bara (bottom ash)
Membangun TPS dan TPS limbah B3 untuk menampung slag, serta fly ash dan bottom ash secara terpisah.
Membangun kolam penampungan air lindi di sekeliling TPS-TPA. Ini berfungsi sebagai kolam pantau.
_Liputan ini didukung penuh AJI Indonesia dan Traction Energy Asia lewat program Akademi Jurnalis Ekonomi Lingkungan (AJEL) Batch 3 Tahun 2025_
Penulis: Fadli Aksar