
MATALOKAL.COM, KENDARI – Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara (Kejati Sultra) menetapkan Kepala Syahbandar Unit Penyelenggara Pelabuhan (UUP) Kelas III Kolaka, Supriadi sebagai tersangka korupsi tambang nikel di Kolaka Utara.
Supriadi diduga berperan memuluskan penjualan nikel hasil tambang ilegal di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Pandu Citra Mulia (PCM) Desa Latowu, Kecamatan Batu Putih, Kolaka Utara.
“Menetapkan saudara SPI (Supriadi) selaku Kepala UPP Kelas III Kolaka sebagai tersangka,” kata Asisten Tindak Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Sultra, Iwan Catur Karyawan, pada Jum’at, (25/4/2025) malam.
Meksi telah ditetapkan sebagai tersangka, Supriadi belum ditahan. Sebab, Supriadi masih akan menjalani pemeriksaan sebagai tersangka. Jaksa pun sudah melayangkan surat pemanggilan.
Iwan menjelaskan, Supriyadi menyalahgunakan kewenangannya sebagai kepala syahbandar karena memberikan izin sandar dan berlayar kapal pengangkut nikel yang menggunakan dokumen penjualan PT Alam Mitra Indah Nugraha (AMIN).
Penjualan nikel lewat pelabuhan khusus (jety) milik PT Kurnia Mining Resources (KMR) dinilai ilegal. Sebab, PT AMIN tak terdaftar sebagai perusahaan yang bisa menggunakan jety PT KMR di Dirjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan (Dirjen Hubla Kemenhub).
Pada 7 Juli 2023, Supriadi berupaya mendaftarkan PT AMIN sebagai pengguna jasa terminal umum PT KMR di Dirjen Hubla Kemenhub. Namun, hingga saat ini, Dirjen Hubla Kemenhub tak pernah menyetujui usulan itu.
Meski begitu, Supriadi tetap mengizinkan PT AMIN melakukan penjualan dan pengangkutan nikel melalui jety PT KMR setelah diduga menerima suap.
“Akan tetapi tersangka SPI diduga telah menerima sejumlah uang dalam setiap pemberian surat persetujuan berlayar (SPB) kapal tongkang yang berasal dari IUP PT PCM menggunakan dokumen penjualan PT AM (AMIN),” jelas Iwan.
Dokumen Terbang
Selain Supriyadi, Kejati Sultra juga menetapkan tiga tersangka lain yakni Direktur Utama PT AMIN Moch Machrusy, Kuasa Direksi PT AMIN Mulyadi dan Direktur PT Bangun Praja Bersama (BPB) Erick Subagyo.
Ketiganya dijemput paksa di tempat berbeda. Moch Machrusy ditangkap di Kabupaten Gresik Jawa Timur. Sementara, Erick Subagyo diringkus di rumahnya di Jakarta. Sedangkan Mulyadi dibekuk di Kabupaten Kolaka.
Moch Machrusy dan Mulyadi dibawa ke kantor Kejati Sultra serta langsung ditahan di Rutan Kendari. Sementara Erick Subagyo ditahan di Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Agung Jakarta.
“Ketiga tersangka langsung kami tahan karena tidak kooperatif. Sudah dua kali kami melayangkan surat pemanggilan sebagai saksi tapi tanpa kabar berita. Sehingga kami menerbitkan surat panggilan ketiga dibekali surat perintah membawa, atau jemput paksa,” tegasnya.
Ketiga bos tambang ini ditetapkan sebagai tersangka lantaran turut serta dalam aktivitas tambang ilegal dan melakukan penjualan nikel menggunakan dokumen terbang (dokter).
Iwan Catur menuturkan, aktivitas penjualan nikel menggunakan dokumen PT AMIN tidak sah. Pasalnya, bijih nikel itu ditambang di IUP PT PCM.
Padahal, IUP PT PCM telah dicabut Bupati Kolaka Utara pada 2014 lalu, meskipun sempat dimenangkan kembali lewat putusan Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN) Kendari, pada 2022 lalu.
“Yang namanya putusan TUN hanya bersifat deklaratoir, ada putusan tapi tidak dilaksanakan (eksekusi) oleh orang yang menerbitkan putusan. Sampai saat ini kami sudah cek hanya ada di MOM, tapi tidak ada di MoDI. Berarti belum ada keputusan resmi dan belum memiliki RKAB,” jelas Iwan.
Sementara, PT AMIN memiliki IUP operasi produksi yang diterbitkan Bupati Kolaka Utara tahun 2014 dengan wilayah konsesi di Desa Patikala, Kecamatan Tolala, Kabupaten Kolut.
Pada 2023, PT AMIN mendapatkan kuota produksi rencana kerja dan anggaran sebesar (RKAB) 500.232 metrik ton dengan realisasi penjualan 500.004 metrik ton.
Pada Juni 2023, tersangka Erick Subagyo menemui Direktur PT KMR berinisial H membahas kerjasama penggunaan jety PT KMR.
Pertemuan itu dilanjutkan perjanjian kerjasama antara PT AMIN yang diwakili oleh Mulyadi selaku kuasa direksi dengan Direktur PT KMR inisial H.
Keduanya bersepakat mengangkut bijih nikel diduga berasal dari hasil penambangan di wilayah IUP PT PCM menggunakan dokumen PT AMIN.
Padahal jarak antara wilayah IUP PT AM dengan jety PT KMR lebih dari 40 km dan melewati dua kecamatan.
“Sehingga ore nikel tersebut seolah-olah berasal dari wilayah IUP PT AM. Inilah yang disebut dokumen terbang,” katanya.
Menurut iwan, Penjualan ore nikel merugikan negara diprediksi mencapai Rp 200 miliar. Namun, kepastian nilai kerugian negara masih dalam perhitungan oleh auditor.
“Sampai saat ini kita prediksikan negara dirugikan sebesar Rp 100 miliar lebih. Nilai pastinya masih dalam proses perhitungan oleh auditor. Prediksi kami akan di atas 200 miliar,” jelasnya.
Empat tersangka ini dijerat melanggar pasal 2 ayat 1, pasal 3, pasal 5 juncto pasal 12 huruf A, huruf B, pasal 13 juncto pasal Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dan pasal 56 KUHP serta pasal 64 KUHP.
Editor: Fadli Aksar