160 x 600 AD PLACEMENT
160 x 600 AD PLACEMENT

OPINI: Catatan Kritis RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Oleh:  Fadly A Safaa SH., MH

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berusia kurang lebih 44 tahun layaknya usang dan sudah tidak mengikuti perkembangan zaman sehingga diperlukan pembaharuan guna mengakomodir putusan mahkamah konstitusi serta penyesuaian terhadap kitab undang-undang hukum pidana yang telah disahkan pada tanggal 2 Januari 2023 dan akan berlaku pada tanggal 2 Januari 2026.

Layaknya dan lazimnya pemberlakuan suatu undang-undang yang mengandung komponen hak, kewajiban termasuk kewenangan di dalamnya tentunya akan menjadi perdebatan guna mempertahankan atau menguatkan fungsi masing-masing kelembagaan dengan harapan untuk mencapai tujuan atau cita-cita hukum itu sendiri

Kewenangan kelembagaan secara teoritik terdapat pada asas diferensiasi fungsional maupun asas dominus litis yang secara harfiah atau gramatikal istilah diferensiasi fungsional mengandung makna penegasan pembagian tugas dan kewenangan antara jajaran aparat penegak hukum secara instansional. Sedangkan dominus litis pihak yang memiliki kewenangan utama dalam menentukan apakah suatu perkara dapat dilanjutkan ke pengadilan atau tidak yang dimiliki oleh jaksa penuntut umum

Secara institusional diferensiasi fungsional diatur dalam KUHAP No. 8 Tahun 1981 mengenai kewenangan fungsional masing-masing-masing lembaga sebagai sub sistem peradilan pidana yang terdiri dari kepolisian yang melakukan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 butir 2 KUHAP, kejaksaan yang melakukan penuntutan perkara ke persidangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 butir 7 KUHAP serta hakim yang memeriksa dan memutus perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 butir 9 dan 11 KUHAP.

Sedangkan dominus litis sebagai asas universal yang berlaku di semua negara mengandung makna jaksa sebagai pengendali perkara / pemegang perkara sebagaimana ketentuan pasal 110 ayat (2) kuhap yang menyebutkan :

Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut ternyata masih kurang lengkap, penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi

penerapan asas dominus litis adalah asas universal sehingga mutlak pemberlakuan atau penerapannya namun yang menjadi pertanyaan konsepsi manakah yang efektif dan relevan dalam kerangka penerapan dalam pembaharuan hukum acara pidana yang telah masuk program legislatif nasional (prolegnas) antara pemerintah pusat dengan dewan perwakilan rakyat (DPR)

Guna pembaharuan hukum acara pidana yang aktual, hal tersebut bukan hanya dapat dipandang dari sudut pandang teoritik dan akademis saja baik oleh pakar maupun akademisi tetapi mesti masuk pada persoalan praktek yang menjadi daftar inventaris masalah (dim) dalam penerapannya khususnya aparat penegak hukum dalam mencapai prinsip-prinsip keadilan yang berpihak dan berpijak pada keadilan tersangka dan korban.

Dalam konteks peristiwa tertentu terutama yang menyangkut klasifikasi tindak pidana harta benda seperti pencurian, penipuan dan penggelapan, dalam praktek banyaknya pencari keadilan (justiciabelen) dalam hal ini pelapor / korban yang tidak mendapatkan kembali hak atas kerugian yang di alami akibat perbuatan pelaku baik dalam proses penyidikan, penuntutan dan pengadilan sehingga pelaku hanya dapat diberikan hukuman yang bersifat pemenjaraan saja (last resort) meskipun masih terdapat upaya” paksa yang dapat dilakukan baik penelusuran maupun penyitaan aset pelaku pada tahap penyidikan yang dapat memungkinkan pengembalian kerugian pelapor / korban.

Sehingga dalam hal atau perkara tertentu sebaiknya penuntut umum dapat melakukan penyelidikan atau tindakan tertentu atas hasil penyidikan yang dilakukan oleh penyidik untuk memaksimalkan pengembalian atau pemulihan hak-hak korban seperti kerugian yang di alami oleh pelapor / korban, tentu hal ini tidak melanggar asas diferensiasi fungsional tapi disisi lain memaksimalkan fungsi dominus litis oleh jaksa penuntut umum selaku pengendali perkara dan yang bertanggung jawab atas perkara yang akan di bawa dan di sidangkan ke pengadilan.

Disisi lain dalam praktek acara pidana, sering ditemukan pelapor / korban ataupun saksi tidak dapat hadir di persidangan sehingga keterangan pelapor / korban ataupun saksi yang telah di sumpah pada tahap penyidikan dalam.

Bentuk acara sumpah, keterangannya di bacakan di persidangan sehingga secara substansi tujuan hukum acara pidana untuk menegakkan hukum materiil tidak dapat dilaksanakan secara maksimal karena adanya sekat antara pihak-pihak seperti pelapor / korban dengan jaksa penuntut umum yang dapat berinteraksi hanya pada saat proses persidangan tetapi tidak pada ruang lingkup penyidikan

Sebagai perbandingan hukum, Jepang sebagai negara teraman 10 menurut genuine progress indicator (gpi), jaksa penuntut umum yang disebut Kenji bertugas menyelidiki, mendakwa, dan mengawasi kasus pidana.

Tugas Jaksa Penuntut Umum di Jepang

* Menyelidiki kejahatan apa pun

* Memerintahkan polisi untuk melakukan penyelidikan khusus

* Mendakwa kasus pidana

* Membuktikan perkara yang diajukan ke pengadilan

* Meminta putusan yang tepat kepada pengadilan

* Mengawasi pelaksanaan putusan

Diharapkan RKUHAP yang disahkan nantinya dapat menjadi karya yang monumental yang tidak memberikan sekat antara tugas penyidik dan jaksa penuntut umum yang berorientasi pada tujuan hukum itu sendiri yakni kebenaran, keadilan, kemanfaatan dan kesejahteraan masyarakat (welfare state)(***)

Penulis: Jaksa Kejati Sultra dan Dosen LB Fakultas Hukum Universitas Sulawesi Tenggara (Unsultra)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like