
MATALOKAL.COM, – Mahkamah Konstitusi (MK) resmi menghapus syarat ambang batas 20 persen Calon Presiden dan Wakil Presiden atau presidential treshold. Putusan itu dibacakan dalam sidang di gedung MK, Kamis, 2 Januari 2025.
Selama ini, pencalonan pasangan presiden dan wakil presiden mensyaratkan diusung lewat partai politik yang memiliki 20 persen jumlah kursi di parlemen atau 25 persen suara sah nasional.
Namun, aturan itu kini tak berlaku lagi usai putusan MK. Bahkan, MK memastikan seluruh partai politik peserta pemilu berhak mengusung pasangan calon presiden sendiri meski tak memiliki kursi di parlemen.
Putusan ini mengabulkan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dengan nomor perkara: 62/PUU-XXII/2024 yang diajukan Enika Maya Oktavia.
“Mengadili, satu, mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya. Dua, Menyatakan norma pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” ucap Ketua MK Suhartoyo.
Dalam pertimbangan majelis hakim MK yang dibacakan Saldi Isra, aturan presidential threshold lebih menguntungkan partai politik besar, apalagi yang memiliki kursi di DPR.
Sehingga, partai politik yang merumuskan ambang batas presidential threshold sulit tidak dinilai memiliki benturan kepentingan.
Di samping itu, syarat presidential threshold juga mengabaikan spirit konstitusional enjiniring yang tertuang dalam 6A ayat 3 UUD 1945 yang secara implisit membuka ruang agar lebih 2 pasangan calon presiden dan wakil presiden.
“Secara penalaran yang wajar, semangat Pasal 6A ayat 3 UUD 1945 adalah untuk mendapatkan Presiden dan Wakil Presiden yang mencerminkan sekaligus merepresentasikan fakta kebhinekaan Indonesia,” tegas Saldi.
Tidak hanya itu, lanjut Saldi, syarat ambang batas presidential threshold menghilangkan hak politik dan kedaulatan rakyat. Karena hak memilih presiden dan wakil presiden dibatasi dengan tidak tersedianya cukup banyak alternatif yang ditawarkan pada pemilih.
Menurut Saldi, belakangan ini, arah pergerakan politik Indonesia selalu mengarahkan agar setiap Pilpres hanya terdapat 2 pasangan calon.
Ketika dengan hanya 2 pasangan calon presiden, masyarakat terjebak dalam polarisasi yang tidak diantisipasi akan mengancam keutuhan kebhinekaan Indonesia.
“Jika pengaturan itu terus dibiarkan (presidential threshold), maka tidak menutup kemungkinan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden akan terjebak dengan calon tunggal,” jelasnya.
Kecenderungan calon tunggal, sebut Saldi, bisa dilihat dalam Pilkada yang mengarah ke calon tunggal melawan kotak kosong.
“Sehingga, membiarkan ambang batas presidential threshold berpotensi menghalangi Pilpres secara langsung oleh rakyat, dengan banyak pilihan pasangan calon presiden dan wakil presiden,” ungkapnya.
Di samping itu, menggunakan ambang batas persentase pengusulan calon presiden dan wakil presiden berdasarkan perolehan kursi di DPR, sejatinya memaksakan logika parlementer dalam praktik sistem presidensial Indonesia.
“Apabila diletakkan dalam salah satu gagasan besar perubahan besar UUD 1945, yaitu dalam rangka memurnikan semangat presidensial, cara pandang tersebut tidak sejalan dengan semangat awal dilakukan perubahan undang-undang dasar 1945,” jelas Saldi Isra.
Selain itu, menurut Saldi, berdasarkan studi perbandingan (comparative approach), negara-negara yang menerapkan sistem presidensial dengan multipartai seperti Indonesia, sama sekali tidak menggunakan ambang batas presidential threshold.
Hal tersebut kata Saldi, diperkuat dari hasil studi misalnya di negara-negara Amerika Latin yang kebanyakan menganut sistem presidensial dengan model kepartaian majemuk tidak mengenal ambang batas presidential threshold.
“Amerika Serikat sebagai negara yang kerap menjadi rujukan dan dinilai paling mapan dalam praktik presidensial, tidak mengenal ambang batas persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold),” tegas Saldi Isra.
Selanjutnya, Saldi Isra mengatakan, presidential threshold sebagaimana ditentukan dalam pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, tidak hanya bertentangan dengan hak politik kedaulatan rakyat, namun juga melanggar moralitas, rasionalitas dan keadilan.
Hal itu, secara nyata melanggar Undang-Undang NRI tahun 1945. Sehingga terdapat alasan yang kuat dan mendasar bagi MK untuk mengubah putusan syarat ambang batas Presidential Threshold sebelumnya.
Saldi Isra menegaskan, perubahan pergeseran keputusan itu tidak hanya menyangkut besaran atau angka persentase ambang batas, tetapi juga bertentangan dengan pasal 6A ayat 2 UUD 1945.
“Dengan demikian, dalil para pemohon menyatakan, ambang batas persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam pasal 222 dalam UU/7/2017 bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat adalah beralasan menurut hukum,” jelasnya.
Meski syarat ambang batas presidential threshold telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, tetap harus diperhitungkan potensi jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden sama dengan jumlah partai politik peserta pemilu.
“Dalam hal ini misalnya, jika jumlah partai politik peserta pemilu adalah 30, maka terbuka pula potensi terdapat 30 pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan oleh partai politik peserta pemilu,” tandasnya.
Editor: Fadli Aksar