160 x 600 AD PLACEMENT
160 x 600 AD PLACEMENT

Warga Wakatobi Diduga Jadi Korban Salah Tangkap Kasus Kekerasan Seksual

Aminu (53) warga Kecamatan Binongko, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara diduga jadi korban salah tangkap usai divonis melakukan kekerasan seksual terhadap anak tetangganya sendiri. (Foto: Istimewa)

MATALOKAL.COM, KENDARI – Aminu (53) warga Kecamatan Binongko, Wakatobi, Sulawesi Tenggara diduga menjadi korban salah tangkap aparat kepolisian hingga harus menjalani hukuman penjara selama 12,6 tahun.

Sebab, hingga kini Aminu mengaku tidak bersalah, karena tidak pernah melakukan tindak pidana persetubuhan anak di bawah umur yang terjadi di salah satu permandian dekat rumahnya pada Maret 2021 lalu.

Kini Aminu hendak melakukan upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali (PK) atas putusan Kasasi Mahkamah Agung yang membuat dirinya harus menjalani pidana penjara.

Namun, upaya PK itu terkendala ayah korban karena menolak pengambilan sampel darah. Darah ini akan digunakan untuk tes DNA terhadap korban dan anaknya yang kini berusia 3 tahun.

Kuasa hukum Aminu, Ahmad Azharil mengatakan, pihaknya akan mengajukan PK dengan bukti baru atau novum hasil tes DNA korban, anaknya dengan kliennya.

“Kami sudah meminta kesediaan dokter forensik Universitas Udayana, mereka sudah siap, tetapi ayah korban menolak, kita tanya apa alasannya, tidak kasih alasan, pokoknya menolak,” ujar Ahmad Azharil, pada Selasa, 10 Desember 2024 di Kendari.

Hingga kini, pihak keluarga terpidana masih kesulitan membujuk keluarga korban agar bersedia anaknya menjalani tes DNA. Padahal, pihak keluarga dibantu aparat pemerintah setempat telah melakukan upaya persuasif serta mediasi.

Azharil menjelaskan, kasus ini bermula ketika perut korban mulai membesar pada Agustus 2021 lalu. Namun tidak diketahui siapa yang menghamili remaja berusia 15 tahun ini.

Sang ayah lantas mengajak korban berkeliling kampung untuk mencari siapa pelaku yang menghamili anaknya. Karena tak kunjung menemukan pelaku, ayah korban kembali ke rumahnya.

“Tiba di rumahnya, anak ini menunjuk rumah terpidana yang berjarak 3 rumah dari rumahnya. Jadi dari hasil tunjukkan itu, mereka melapor ke polisi,” beber Ahmad Azharil.

Ia pun melihat kejanggalan kasus ini sejak bergulir di meja penyidik Polsek Binongko. Pasalnya, anak korban yang memiliki gangguan mental dan hanya bisa menggunakan bahasa daerah, bisa menceritakan detil kejadian di BAP penyidik.

Berdasarkan putusan PN Wangi-wangi Nomor: XX/Pid.Sus/2021/PN Wgw, Aminu terbukti melakukan kekerasan seksual terhadap anak yang melanggar Pasal 81 Ayat (1) jo. Pasal 76D Undang – undang RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.

Alat bukti yang digunakan majelis hakim yang diketuai Andy Bachrul Ghofur ini adalah saksi anak korban, kakak, ibu dan ayah korban serta alat bukti surat hasil visum.

Majelis hakim mengabaikan keterangan saksi meringankan dari rekan kerja, istri dan saudara terpidana di persidangan yang menerangkan Aminu tidak ada di tempat kejadian pada Maret 2021 lalu.

“Klien saya sejak Februari sampai April 2021 sedang bekerja memperbaiki mesin kapal Cahaya Alam di Desa Haka, 2 jam perjalanan dari kediamannya. Jadi saya yakin pak Aminu bukan pelakunya,” tegas Azharil.

Menurutnya, putusan majelis hakim PN Wangi-wangi kabur, karena tidak bisa menerangkan secara jelas waktu kejadian. Sebab, hakim hanya memperkirakan waktu kejadian sepanjang Maret 2021.

Pengacara muda asal Binongko ini menjelaskan, hukum pidana itu mencari kebenaran materiil, sehingga harus menunjukkan bukti seterang-terangnya, secara pasti tidak mengira-ngira.

“Hakim hanya menjelaskan waktunya terjadi pada bulan Maret, tapi tidak ditentukan tanggal berapa. Jadi dakwaannya itu kabur, cacat secara formil,” jelasnya.

Selain itu, Azharil juga menilai, putusan hakim PN Wangi-wangi lemah karena hanya mengandalkan keterangan saksi ataupun pengakuan yang tidak didukung dengan bukti saintifik, seperti hasil tes DNA.

Azharil melihat kejanggalan lain pada berita acara pemeriksaan (BAP) korban dan kakaknya seperti di-copy paste, lantaran identik seluruh jawaban.

Namun, dalam persidangan korban tak bisa memberikan keterangan karena terindikasi mengalami gangguan kejiwaan. Sehingga jaksa penuntut umum hanya membaca BAP kepolisian.

“Karena korban ketika akan diperiksa, dia lari-lari, jadi hakim juga bingung. Sehingga anak korban tidak dihadirkan di persidangan,” katanya.

Dalam KUHAP, kata Azharil, keterangan saksi yang diakui sebagai alat bukti adalah keterangan saksi yang disampaikan di bawah sumpah di persidangan.

“Jadi ketika ada keterangan saksi di tingkat penyidikan tapi tidak memberikan keterangan di persidangan, maka dianggap tidak sah, bukan keterangan saksi,” tegasnya.

Azharil pun melihat banyaknya kejanggalan dalam kasus ini karena penyidik, jaksa kurang profesional. Ditambah lagi hakim diduga keliru dalam memutuskan perkara.

Kejanggalan kasus ini lantas membuat pihak keluarga makin yakin bahwa Aminu bukan pelaku sebenarnya. Sehingga pihaknya berusaha untuk mengajukan PK.

Berdasarkan kekeliruan hakim dan penemuan novum yakni hasil tes DNA, menjadi alasan pihak kuasa hukum keluarga terpidana mengajukan PK.

“Kepada keluarga korban, tolong kasih kami kesempatan untuk membuktikan, jangan halangi kami untuk tes DNA, sehingga kita bisa melihat hasilnya,” tandasnya.

Editor: Fadli Aksar

2 thoughts on “Warga Wakatobi Diduga Jadi Korban Salah Tangkap Kasus Kekerasan Seksual

  • Tak heran hukum Indonesia ini perlu di tegaskan lagi. Kalau msih di dunia di tanya sesama manusia pun kita masih menjawab dengan tegas tapi bagaimana di akhirat yang dimana kita di mintai pertanggung jawaban di hadapan yg menciptakan Makhluk hidup.

    Semoga Allah menunjukkan jalan yg lurus bukan yg yg sesat.
    Dan semoga Allah memberikan jalan untuk menemukan buktinya.
    Semoga kita sehat selalu🙏🤲

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like