MATALOKAL.COM, KONAWE – Proyek strategis nasional industri hilirisasi nikel PT Virtue Dragon Nikcel Industri (VDNI) dan PT Obsidian Stainless Steel (OSS) di Konawe Sulawesi Tenggara, alih-alih mensejahterakan, sebaliknya justru merusak lingkungan dengan menyumbang polusi emisi dari pengolahan nikel dan PLTU captive. Industri ini juga memperburuk kesehatan hingga diduga menyebabkan kematian.
Sore itu, awal Oktober 2024 Dias (9) dan tiga anak laki-laki berlarian saling mendahului menjauhi tambak. Saban hari mereka melihat debu hitam tebal terangkat di Desa Lambuluo, Kecamatan Motui, Kabupaten Konawe.
“Debu berbahaya,” ucap Dias tergopoh-gopoh sambil berlari di atas jalan berkerikil. Tangan kanannya menjinjing jaring berisi botol plastik bekas diambil dari tambak.
Debu hitam tebal beterbangan tersapu angin kencang bergerak dari penyimpanan batubara PLTU captive PT OSS, melintasi perbatasan Kabupaten Konawe dan Konawe Utara.
Debu batubara itu berasal dari pelabuhan depan PLTU captive milik PT OSS Desa Tani Indah, Kecamatan Kapoiala, Kabupaten Konawe, menuju Desa Lambuluo, Kecamatan Motui, Konawe Utara.
Kepulan debu hitam bagai badai terangkat sekira berpuluh meter di atas laut, bergerak melewati tambak hingga menyusup ke pemukiman warga.
Debu hitam tebal menyelimuti wilayah berpenduduk 4 ribuan jiwa ini hingga melintasi Kecamatan Sawa. Tampak seketika suasana berkabut.
Sahir (50) warga Desa Motui, Kecamatan Motui, Konawe Utara panik menyuruh anak-anaknya memakai masker ketika melihat debu hitam itu mendekati kediamannya.
“Karena debu ini hitam, beda dengan debu di jalan,” kata Sahir yang duduk di bawah tenda depan rumahnya, tempat kami berjumpa.
Selama sepuluh menit debu hitam mengepung Motui, mata Sahir perih, tenggorokan panas, bahkan sakit saat menelan liur ataupun makanan.
Inilah yang dirasakan Sahir, saban hari. Udara tak sehat ini setiap waktu dia hirup. Terlebih jika angin kencang, debu hitam ini tampak jelas, beterbangan ke segala arah.
Sahir kerap alami batuk yang tak kunjung redah. Dia harus periksakan diri ke Puskesmas Motui. Menurut Sahir, anak-anak dan orangtua paruh baya paling rentan terkena ISPA hingga sakit paru-paru.
Seperti yang dialami Samsuddin (65) seorang petambak di Desa Tani Indah, Kecamatan Kapoiala, Kabupaten Konawe. Dari cerobong asap PLTU captive milik PT OSS, rumahnya hanya berjarak seratusan meter.
Ayah 3 anak ini menatap lirih hasil foto rontgen paru-parunya yang keluar 3 bulan lalu, dari Rumah Sakit Umum Daerah Kota Kendari. Ia masih tak percaya di paru-parunya terpapar debu hitam.
Dua tahun belakangan, Samsuddin kerap alami sesak napas. Saat sesak menyerang, perutnya perih dan penglihatan kabur. Ia telah berulang kali ke Puskesmas Kapoiala untuk berobat tetapi tak kunjung sembuh.
“Sudah sering saya berobat ke puskesmas tapi tidak ada perubahan (sembuh), akhirnya saya minta dirujuk ke rumah sakit,” kata Samsuddin.
Pria tiga cucu ini harus berobat ke RSUD Kota Kendari, ibukota provinsi 22 kilometer dari rumahnya untuk mendapatkan pengobatan yang lebih serius.
Samsuddin menemui dr Wa Ode Zerbarani, penanggung jawab Radiologi, RSUD Kota Kendari. Sang dokter menyarankan agar Samsuddin menjalani pemeriksaan organ dada menggunakan sinar-x atau rontgen thorax.
“Kata dokter, ini (sesak napas) gara-gara debu. Dokter tanya, tinggal di mana, adakah itu batubara di situ. Saya bilang, sudah di situ batubara keliling (beterbangan), (PLTU captive) samping rumah,” terang Samsuddin.
Berdasarkan hasil pemeriksaan radiologi pada 25 Juli 2024, paru-paru Samsuddin didiagnosa mengalami kerusakan paru-paru (Emphysema Pulnolum) dan gangguan pernapasan kronis (Fibrosis Pulmo Bilateral).
Kepada Samsuddin, dokter bilang pria berambut gelombang sebahu itu di paru-parunya terdapat debu hitam bercampur putih.
Dokter menyarankan agar Samsuddin selalu menggunakan masker, meski dalam kondisi tidur. “Karena katanya dokter, biar di dalam kelambu, debu halusnya (batubara) masuk,” katanya.
Debu hitam batubara juga merepotkan pekerjaan rumah Surni (35), seorang ibu rumah tangga yang tinggal di Desa Lambuluo, Kecamatan Motui, Konawe Utara.
Ibu 3 anak ini baru saja selesai membersihkan debu batubara yang menempel di rumahnya. Sekitar sejam membersihkan, debu batubara kembali menempel.
Surni mengaku nyaris semaput, sebab dia hanya sanggup seorang diri membersihkan dapur dan teras rumah. Meski tergolong muda, Surni tak sanggup membagi waktu untuk membersihkan rumah.
“Setiap saat kita bersihkan tapi masih tetap saja hitam. Sehari 5 sampai 6 kali menyapu teras. Kursi dan meja harus kita tutup. Kalau tidak dibersihkan, debu itu bisa sampai lutut,” keluh Surni.
Surni juga mengeluhkan aneka perabot dan peralatan makan yang masih ditempeli debu batubara. Hampir seluruh bangunan rumahnya ditempeli batubara.
Surni mengingat masa awal-awal berdiri dan beroperasinya PLTU captive tersebut, debu batu bara masuk sampai ke dalam ruang tertutup seperti lemari penyimpanan peralatan makan.
“Kalau kami di sini, sebelum dan setelah makan semuanya (peralatan makan) wajib dicuci”, kata Surni.
Surni tidak sendirian, dia bersama warga lainnya merasakan penderitaan yang sama.aban hari hanya berurusan dengan debu batubara sejak berdiri dan beroperasinya PLTU captive OSS pada tahun 2018.
Zulkarnain (27) eks karyawan perusahaan raksasa pabrik peleburan nikel PT VDNI, bekerja di bagian tungku. Selama setahun bekerja, asap hitam memenuhi paru-parunya. Dokter Yusuf Hamra Poli Umum RSUD Bahteramas mendiagnosa Zulkarnain mengalami gejala TB.
Dokter Poli Dalam, Yusuf Hamra, dalam hasil rontgen paru-paru Zulkarnain, menuliskan diagnosa pneumonia dalam hasil tes molekuler cepat (TCM) menggunakan geneXpert atau uji penyakit TB di Labkesda Provinsi Sultra, pada 1 Februari 2024.
Zulkarnain, memeriksakan diri ke RSU Bahteramas Kota Kendari. Dia demam dan nyeri pinggul. Dokter pun menyarankan untuk menjalani rontgen.
“Dokter bilang, kurang-kurangi merokok. Itu hasil rontgen mu, paru-parunya tidak kelihatan. Asap katanya. Padahal saya tidak merokok,” kata Zulkarnain.
Selama setahun, dirinya bekerja di tungku, menghirup asap saat peleburan nikel. Terlebih ketika cairan larva hasil peleburan bijih nikel masuk ke cetakan yang dilapisi aspal.
Hidung hingga tenggorokan terasa perih ketika dia menghirup asap itu. Masker medis yang digunakan Zulkarnain pun bisa tembus. Selama satu tahun, Zulkarnain merasakan itu. “Jadi selama satu tahun saya menghirup asap ini sampai sakit,” ujarnya.
Selama 10 tahun terakhir, menurut data puskesmas Morosi, Motui, Bondoala, Kapoiala dan Matandahi, banyak warga yang menderita ISPA, diduga akibat menghirup debu batubara dari PLTU captive dan asap bekas pengolahan nikel dari smelter. Beberapa di antaranya meninggal dunia.
Temuan Kasus Meninggal Dunia
Siti Roslina (54) meninggal dunia pada November 2023. Idrus Moita (60) sebulan setelahnya. Ayah dan ibu Surni ini meninggal dunia setelah kondisi kesehatan mereka memburuk. Penyebabnya menurut Surni, diduga karena polusi udara PLTU captive.
Ibu satu anak ini tiba-tiba sesak napas ketika anaknya, Surni membereskan rumah terlebih saat membersihkan sarang laba-laba di sudut-sudut ruangan.
Siti Roslina memiliki riwayat penyakit asma yang diidap sejak lama. Debu batubara yang menempel di tembok, meja, lantai, hingga sarang laba-laba diduga memperburuk asmanya.
“Setiap kita bersihkan sarang laba-laba langsung dia terkontak (terkontaminasi) sesak napas, dibawa ke puskesmas langsung dirujuk di rumah sakit Kota Kendari,” kata Surni.
Siti Roslina harus menjalani perawatan serius di ruang ICU RSUD Kota Kendari. Karena tak kunjung membaik, nenek tiga cucu ini harus dirujuk ke Rumah Sakit Wahidin Makassar, Sulawesi Selatan.
Roslina kerap kali keluar masuk rumah sakit baik di Kota Kendari maupun Makassar, Sulawesi Selatan. Sepanjang 2023, tercatat Roslina sudah 4 kali masuk rumah sakit.
Sempat membaik, setelah dirawat, namun kembali mengalami sesak napas ketika pulang ke rumahnya di Desa Lambung, 100 meter dari PLTU captive PT OSS. Roslina menghembuskan napas terakhirnya di RSUD Kota Kendari, pada Oktober 2023.
Sebulan setelahnya, suami Siti Roslina, Idrus Moita juga ikut mangkat. Pria paruh baya ini meninggal dunia setelah dirawat karena mengidap sakit tuberculosis (TB).
Sebelum meninggal dunia, Idrus dirujuk di Rumah Sakit Wahidin Makassar. Sepekan di rumah sakit, kondisi Idrus mulai membaik. Ia harus menjalani rawat jalan selama 6 bulan dan diminta berhenti merokok.
“Pulang di rumah, hanya nonton, tidur saja. Tidak ada aktivitas di luar rumah. Jadi sudah tidak batuk-batuk. Tapi pakai masker setiap hari,” kata Surni.
Beberapa waktu sepulangnya di rumah, sakit Idrus kembali kambuh, mengalami batuk tak kunjung henti hingga harus dilarikan ke RSUD Kota Kendari.
Keluarga berinisiatif memeriksa cairan dahak Idrus di klinik Kota Kendari. Hasilnya, pria yang memiliki 3 cucu ini didiagnosa mengidap TB. Hasil itu diserahkan ke dokter RSUD Kota Kendari.
Petugas medis mengambil tindakan untuk menyedot cairan yang menumpuk dari paru-paru Idrus, disebut sebagai thoracentesis atau torakosintesis.
“Dua minggu di rumah bapak meninggal dunia. Padahal selama di Makassar dokter tidak bilang kalau itu TBC. Waktu itu mungkin karena batuk kering, tidak ada dahak, apalagi darah,” jelas Surni.
Berdasarkan laporan kunjungan bulanan pasien di Puskesmas Kapoiala, warga yang berobat dengan kondisi batuk, pilek, demam bahkan sesak napas didominasi usia dewasa.
Kepala Tata Usaha (KTU) Puskesmas Kapoiala Hasnining mengatakan, warga dengan usia 5 tahun ke atas ini mengalami ISPA karena beraktivitas di luar rumah.
Mereka datang ke puskesmas ketika batuk, pilek, hidung meler dan demam dialami selama 2 atau tiga hari dan tak kunjung sembuh.
Hal itu merupakan gejala umum ketika terkena ISPA. Paling parah itu ketika mengalami sakit kepala dan demam tulang.
Selain menyebabkan ISPA, debu batubara kata Hasnining juga bisa menjadi pencetus bahkan memperparah penyakit bawaan yang diderita sejak lahir seperti asma.
Pasien yang mengalami asma memiliki kerentanan ekstra atau alergi terhadap debu, angin dan hewan. Warga yang memiliki asma ini harus dijauhkan dari lingkungan udara yang tidak sehat.
“(Cerobong asap PLTU captive) jadi pencetusnya, yang tadinya dia tidak apa-apa, karena ada pencetusnya, jadi sudah ada memang (asma) ditambah lagi cerobong asap yang langsung berhadapan ya sudah,” kata Hasnining.
Sementara itu, Puskesmas Morosi kerap melaporkan kasus ISPA setiap bulan langsung ke Kementerian Kesehatan untuk mengantisipasi terjadinya kejadian luar biasa (KLB).
Dalam sehari, tercatat 20-40 pasien yang memeriksakan diri di Puskesmas Morosi. 7 sampai 15 orang di antaranya adalah pasien yang mengeluhkan ISPA.
Setiap kali terjadi peningkatan kasus ISPA yang signifikan, pihaknya langsung melakukan intervensi dengan penyuluhan langsung kepada masyarakat, salah satunya terkait penggunaan masker.
Kepala Puskesmas Morosi Hendry Febriana Hende meyakini, industri nikel menjadi salah satu penyebab tingginya kasus ISPA di Morosi. Pasalnya, pasien yang kerap datang berobat adalah karyawan dan warga di lingkar industri nikel.
“Apalagi di sini wilayah tambang, jadi kita minta warga untuk memakai masker, menanam pohon pelindung di depan rumah. Selain faktor industri, kasus ISPA di Morosi juga disebabkan cuaca panas, sampah bertebaran dan imunitas daya tahan tubuh,” jelasnya.
Penyebab Kematian Tertinggi
Centre for Research on Energy and Clean Air atau CREA (Pusat Penelitian Energi dan Udara Bersih) melakukan studi pada Februari 2024, dan menemukan bahwa dampak aktivitas pemurnian nikel menjadi pemicu kematian tertinggi.
Riset berjudul ‘Membantah Mitos Nilai Tambah Menilik Ulang Industri Hilirisasi Nikel’ melakukan studi di klaster industri nikel berbahan bakar utama batubara di Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah dan Maluku Utara.
Dalam studi CREA, tiga provinsi ini menjadi titik utama sumber emisi dari smelter nikel, hampir 80 persennya dievaluasi untuk studi. Sisanya berasal dari PLTU captive yang dioperasikan untuk memenuhi kebutuhan listrik ke unit-unit pabrik peleburan nikel.
PT OSS dengan kapasitas produksi tahunan sebesar 2,2 juta ton feronikel dan 3 juta ton baja tahan karat, diperkirakan oleh CREA menyebabkan lebih dari seribu kematian setiap tahunnya dan menempati posisi teratas.
Perusahaan lain yang masuk dalam daftar lima besar adalah PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel, PT Alchemist Metal Industry, PT Virtue Dragon Nickel Industry, dan PT Gunbuster Nickel Industry diperkirakan menyebabkan antara 300 dan 500 kematian setiap tahunnya.
Tanpa pemasangan dan pengoperasian teknologi pengendalian pencemaran udara (APC) yang tepat, sebanyak 1,2 juta penduduk akan terpapar nitrogen dioksida (NO2) dan sulfur dioksida (SO2) dengan konsentrasi yang melebihi ambang batas harian.
Diperkirakan 7 juta orang akan terpapar konsentrasi partikel udara yang berukuran lebih kecil atau sama dengan 2,5 mikrometer (PM2.5) yang melebihi ambang batas harian. Ketiganya diketahui sebagai polutan udara utama yang membahayakan kesehatan.
“Pertumbuhan industri nikel yang pesat, jika tidak diatur, akan menyebabkan lebih dari 3.800 kematian pada tahun 2025 dan hampir 5 ribu kasus pada tahun 2030,” tulis CREA dalam hasil risetnya.
Peneliti CREA, Katherine Hasan mengatakan, di wilayah industri Smelter PT OSS-VDNI di Kabupaten Konawe, terdapat emisi polutan udara berbahaya seperti PM2.5, SO2, dan NO2.
Ketiga polutan udara ini membahayakan kesehatan. Selain itu, terdapat emisi lain dari proses smelter nikel dan pembangkit batubara captive tapi tidak dimodelkan di studi CREA.
Sementara, untuk polusi udara dari penyimpanan batubara, CREA belum melakukan kajian secara khusus terkait kandungan polutan udara. Namun, CREA menemukan banyak pekerja tambang batubara yang terpapar.
Terkait debu batubara dari stockpile, dampak bahaya dari risiko tergantung dari jumlah atau konsentrasi yang dilepaskan. Sehingga sulit untuk menetapkan mana yang lebih berbahaya.
“Untuk debu batubara dan emisi PLTU captive serta smelter, yang paling beresiko, tentu semua warga yang tinggal dekat dari sumbernya, karena paparan konsentrasinya tinggi dan terus menerus,” jelas Katherine.
Katherine Hasan menyarankan PT VDNI-OSS melakukan kewajiban kontrol dan monitor kualitas udara ambien. “Kalau dari kasat mata, pasti sudah melebihi,” tegasnya.
Novita Indri, Juru Kampanye Trend Asia mengatakan, biaya yang murah acap kali menjadi alasan perusahaan industri nikel menggunakan batubara untuk pembangkit listrik. Namun, mereka mengabaikan dampak berbahaya dari penggunaan batubara.
Bahaya penggunaan batubara biasanya berkelindan dengan pengolahan dan manajemen kontrol yang seringkali diabaikan industri nikel.
Dalam beberapa kasus, penyimpanan batubara menjadi sumber polutan udara, apalagi saat musim kemarau dan angin kencang. Debu batubara naik ke udara karena tidak diberi penutup yang aman.
“Ini sangat rentan bagi perempuan, anak-anak, lansia, dan kelompok yang rentan terhadap debu batubara,” ujar Novita.
Hal yang paling berbahaya ketika pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor Nomor 22 Tahun 2021 yang mengeluarkan batubara dari kategori limbah bahan berbahaya beracun (B3).
Akibatnya, limbah Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) batubara yang dikeluarkan lewat proses pembakaran tidak perlu lagi mendapatkan perlakuan khusus dan boleh dibuang di mana saja.
Meski begitu, setiap perusahaan wajib memiliki dokumen analisis masalah dampak lingkungan (AMDAL), yang harus dilaporkan tiap 3 atau 6 bulan sekali.
Pelaporan upaya pengelolaan lingkungan hidup (UKL/UPL) ini, menurut Novita harus dilakukan kepada Dinas Lingkungan Hidup setempat dan harus diketahui publik untuk dipantau dan diawasi. Hal ini untuk mengantisipasi dampak yang ditimbulkan, seperti lingkungan, kesehatan dan sosial.
“Namun masalahnya, dokumen ini hanya sekadar dokumen yang gampang sekali dimainkan. Implementasinya di lapangan, kadang memang tidak sesuai, bertolak belakang. Sayangnya dokumen itu juga tidak bisa diakses publik,” jelas Novita.
Salah satu alat ukur yang bisa digunakan sebagai indikator pengawasan publik adalah pemasangan alat indeks pengukuran udara (IPU) disertai papan informasi di setiap kecamatan ataupun jalan di sekitar lingkar industri nikel.
Sehingga menurut Novita, publik bisa mengetahui kadar karbon, nitrogen, dan kandungan lain dari batubara yang dihasilkan. Di sisi lain, pemantauan kualitas udara ini juga bisa digunakan pemerintah mengintervensi perusahaan untuk melakukan pengelolaan lingkungan
“Warga di sana (Konawe) berhak tahu kualitas udara, apalagi ada industri di dalamnya. Jadi pemerintah tidak bisa lepas tangan begitu saja,” jelasnya.
Ketika pengelolaan batubara ini tidak dipantau, diawasi dan dievaluasi, akibatnya akan berkorelasi dengan peningkatan penyakit ISPA dan beberapa penyakit lain.
Parahnya, masyarakat, khususnya korban tidak pernah mendapatkan kompensasi dari perusahaan, karena dianggap sebagai penyakit biasa, dan bukan disebabkan dari polutan udara batubara.
Trend Asia menyatakan, pemerintah sudah sepatutnya menjatuhkan sanksi kepada perusahaan smelter nikel apalagi terbukti melanggar karena tidak memenuhi standar baku lingkungan hidup.
Sanksinya berupa pemberhentian operasi sementara, memperbaiki cerobong, pengelolaan emisi. Tetapi sanksi ini, alih-alih diterapkan, pengawasan juga enggan dilakukan pemerintah.
“Seharusnya DLH ini memiliki catatan, kalau tidak punya, pertanyaannya kenapa mereka tidak mengawasi. Apalagi terbukti ISPA di sana meningkat, ditambah lagi ada kasus meninggal dunia awal mulanya dari debu stockpile, cerobong,” ujarnya.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Sulawesi Tenggara, Andi Rahman menyebut, polutan udara debu batubara terjadi mulai dari proses bongkar-muat di pelabuhan, pengangkutan, hingga di tempat penyimpanan.
Tempat penyimpanan batubara tanpa penutup yang aman membuat debu beterbangan di udara. Imbasnya, angka penyakit ISPA naik, bahkan di paru-paru anak usia 6 tahun, ditemukan debu hitam diduga batubara.
Anak ini mengalami batuk selama 3 bulan berturut-turut dan disertai demam. Walhi Sultra melihat kasus ini sebagai bukti kuat bahwa kualitas lingkungan di dekat industri hilirisasi nikel sangat buruk.
“Secara medis, ini tidak logis anak kecil mengalami sakit paru-paru. Ini membuktikan, kualitas lingkungan di Morosi dan sekitarnya sudah sangat buruk,” ucap Andi Rahman.
Tidak hanya merusak kesehatan masyarakat, melainkan juga mencemari, tumbuhan, fasilitas umum, sumber mata pencarian warga dan daerah aliran sungai yang juga dimanfaatkan untuk tambak serta air minum.
Upaya protes kerap dilakukan warga tak terhitung jumlahnya, namun perusahaan smelter nikel ini menutup mata dan telinga. Bahkan, upaya perlawanan itu dihalangi tindakan represi kepolisian, tak sedikit warga yang menjadi korban.
Walhi Sultra mengadvokasi warga terdampak itu mengubah upaya perlawanan lewat jalur litigasi. Walhi Sultra pun berencana menggugat perusahaan atas pencemaran lingkungan di pengadilan.
“Tantangannya kita membutuhkan pembuktian secara saintifik, mendapatkan hasil uji kualitas udara dengan harga yang cukup mahal,” kata Andi Rahman.
Upaya litigasi menjadi tantangan tersendiri bagi lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang pelestarian lingkungan, karena ruang-ruang peradilan menurut Andi Rahman kerap tak tahan godaan transaksional, sehingga hukum yang terapkan masih tumpul ke atas tajam ke bawah.
Di samping itu, tidak sedikit kasus seperti ini masyarakat menjadi korban. Selain kriminalisasi, juga intimidasi preman. Belum lagi pada tingkat eksekusi putusan, ketika masyarakat memenangkan gugatan tersebut.
“Itu yang membuat kami pesimis. Tapi perlawanan tetap harus kita lakukan untuk menyelamatkan lingkungan hidup dan masa depan masyarakat di lingkar industri nikel Kabupaten Konawe – Konawe Utara,” tandasnya.
Akademisi Fakultas Kehutanan dan Ilmu Lingkungan Universitas Halu Oleo (UHO) Dr Nur Arafah menduga, PT OSS tidak menjalankan rekomendasi AMDAL dalam pengelolaan dan pengendalian lingkungan hidup yang baik.
Kendati misalnya telah menjalankan rekomendasi, namun masyarakat tetap mengeluh, maka kata Arafah diindikasikan tindakan perusahaan tidak sesuai indikator keberhasilan dalam mengelola lingkungan hidup.
Terlebih, menurutnya jika terdapat keluhan masyarakat di sekitar kawasan industri, apalagi ada peningkatan kasus penyakit seperti ISPA, Nur Arafah memastikan perusahaan diduga telah melakukan pelanggaran pengelolaan lingkungan hidup. “Itu pelanggaran,” ujarnya.
Dalam dokumen AMDAL, perusahaan industri wajib melaporkan rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup setiap 6 bulan kepada Dinas Lingkungan Hidup (DLH) setempat. Salah satunya, mengenai dampak hingga pencemaran.
Namun kata Arafah, acap kali laporan perusahaan tidak sesuai dengan kondisi yang terjadi secara faktual, baik berdasarkan hasil pengukuran kualitas lingkungan berdasarkan uji laboratorium maupun secara kasat mata.
“Indikator sederhana secara kasat mata. Apa yang kita lihat sehari-hari. Ketika berbeda (kondisi lingkungan) sebelum adanya perusahaan, itu menunjukkan dampak sudah terjadi,” kata Dr Nur Arafah.
Di samping itu, perusahaan juga kerap kali enggan membuka dokumen AMDAL, termasuk rencana pemantauan dan pengelolaan lingkungan (RKL-RPL) kepada masyarakat. Padahal, laporan itu merupakan dokumen publik. “Menyembunyikan AMDAL itu juga pelanggaran,” kata Nur Arafah.
Jika terjadi keresahan di tengah masyarakat karena terdampak aktivitas perusahaan, pemerintah lewat Dinas Lingkungan Hidup baik kabupaten maupun provinsi, kata Arafah harus menurunkan tim untuk melakukan investigasi.
Nur Arafah menyebut, protes yang lahir dari keresahan masyarakat menunjukkan dampak itu sudah serius dan dibiarkan berlarut-larut. Apalagi, sampai terjadi demonstrasi terus menerus.
“Resah saja tidak boleh. (Apalagi) kalau masyarakat sudah demo, itu konflik terbuka, itu tidak tidak diperbolehkan, harus diselesaikan, harus disikapi perusahaan. Ketika itu terus terjadi, maka bisa dikatakan pengelolaannya tidak berhasil,” tegasnya.
Nur Arafah meminta pemerintah berani menindak tegas dengan menjatuhkan sanksi pencabutan izin kepada perusahaan smelter nikel PT OSS ketika ditemukan pencemaran lingkungan apalagi sampai mengakibatkan warga meninggal dunia.
Ketentuan sanksi itu kata Arafah telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Nur Arafah menjelaskan, penempatan proyek strategis nasional di kawasan Kecamatan Kapoiala, Morosi dan Bondoala Kabupaten Konawe hingga Motui Konawe Utara salah sejak awal perencanaan, karena melanggar rencana tata ruang wilayah (RTRW).
Wakil Rektor III UHO ini menyebutkan, di kawasan itu merupakan wilayah pertanian dan hidrologi atau areal tangkapan air. Sehingga, tidak boleh ada kawasan industri.
Namun, pemerintah dan DPRD justru mengubah RTRW. Nur Arafah menyayangkan perubahan bentang alam itu. Bagi dia, perubahan RTRW berarti melegitimasi perusakan lingkungan.
“Mengubah tata ruang artinya cara legal merusak lingkungan. Karena tata ruang sejak dulu ditetapkan sesuai dengan ekologi wilayah. Kegiatan tambang dengan pertanian dan pelestarian lingkungan itu sangat bertentangan,” jelas Nur Arafah.
Ia menegaskan, alih-alih mensejahterakan, hilirisasi nikel di Kabupaten Konawe justru membahayakan kehidupan masyarakat. Bahkan, bencana sosial dan ekologis pun tak bisa terhindarkan.
Nur Arafah juga mengaku heran dengan aparat penegak hukum seperti Gakkum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), serta polisi. Seharusnya, kedua institusi penegak hukum itu bisa menindak perusahaan perusak lingkungan.
“Tapi kenapa KLHK dan kepolisian tidak ada yang ribut? (Bertindak). Ada pepatah menyatakan, kalau mulut sudah penuh maka tidak bisa lagi bicara,” katanya.
General Affair PT OSS, Bahar mengklaim, polusi udara yang beterbangan berasal dari kapal tongkang yang mengangkut batubara, bukan disebabkan dari PLTU captive.
“Tapi kalau di dalam, kita sudah buatkan terowongan penampungan, jadi biar keras angin tidak bisa keluar,” ujar Bahar saat ditemui di Desa Tani Indah, Kecamatan Kapoiala, pada 8 Oktober 2024.
Meski begitu, ia tak menafikan keluhan masyarakat terkait debu batubara tersebut. Pasalnya, perusahaan sangat membutuhkan batubara untuk pembangkit listrik untuk menyalakan unit-unit smelter. “Biar bukan batubara kita berdebu ji,” katanya.
Pihak perusahaan juga mengklaim telah memberikan kompensasi kepada warga berupa akses lapangan kerja. Tak hanya itu, pihak perusahaan juga telah menyalurkan bantuan yang dikelola Badan Usaha Milik Desa (Bumdes).
Kepala DLH Sultra, Andi Makkawaru enggan memberikan komentar. Bahkan, eks Pj Bupati Kolaka ini selalu beralasan saat hendak ditemui di kantornya.
Sementara itu, di Desa Motui, Sahir yang hidup berdampingan dengan hilirisasi nikel berharap, industri ini dihentikan, sebab kian lama membahayakan warga. “Karena kami tidak mungkin mengalah, tidak akan pindah. Kami hidup dan besar di sini, sampai mati pun tetap di sini,” tegas Sahir.
Penulis: Fadli Aksar