MATALOKAL.COM, KENDARI – Wahana Lingkungan Hidup Sulawesi Tenggara (Walhi Sultra) mengkritik KPU terkait penunjukan panelis debat kandidat calon gubernur dan wakil gubernur yang dihelat pada Sabtu, 23 November 2024.
Walhi Sultra menyebut, tujuh panelis debat ketiga tak punya rekam jejak pernah melakukan penelitian atau berkutat dalam isu lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam di Sulawesi Tenggara.
Pasalnya, ketujuh panelis ini dari kalangan akademisi. Tak satupun dari organisasi masyarakat sipil yang fokus melakukan kampanye pelestarian lingkungan hidup dan mengadvokasi warga.
Direktur Eksekutif Walhi Sultra Andi Rahman pun meragukan data yang diperoleh para panelis debat dengan tema sumber daya alam, pelestarian lingkungan dan penegakan hukum bermartabat.
Selain itu, Walhi Sultra juga mempermasalahkan relevansi keilmuan panelis dengan tema debat. Sebab, seluruh panelis adalah akademisi setiap hari berkutat dengan konsep dan teori yang jauh dari persoalan lingkungan dan tambang.
“Kami nilai KPU tidak profesional, karena tidak mempertimbangkan keahlian dan kapasitas para panelis. Dari tujuh panelis ini kami lihat tidak ada dari kalangan profesional, misalnya NGO yang fokus pada isu lingkungan,” ujar Andi Rahman.
Secara aturan, Walhi juga memandang KPU Sultra telah melanggar regulasi teknis yang dibuat sendiri terkait unsur kalangan panelis debat. Dalam juknis KPU, tiga unsur panelis yakni dari kalangan akademisi, profesional dan masyarakat sipil.
Imbasnya, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan panelis dalam debat nantinya diyakini tak menjawab banyak persoalan kerusakan lingkungan, buntut masifnya penambangan ilegal.
“Catatan kami, hampir di setiap daerah mengalami kerusakan lingkungan yang begitu parah akibat transisi energi. Kami pastikan, tidak satupun dari panelis memiliki data itu, karena mereka tidak pernah melakukan penelitian tentang itu,” tegasnya.
Walhi Sultra pun khawatir, para panelis ini hanya mencomot data dan informasi yang tersedia di internet. Bahkan, cenderung mengambil data yang tidak akurat, sebab dilansir dari sumber yang tidak kredibel.
Menurut Walhi Sultra, terjadi kerusakan lingkungan yang sangat parah di Bumi Anoa akibat kebijakan transisi energi. Beberapa di antaranya, yakni deforestasi hutan di Konawe Utara, Konawe Selatan, Kolaka, Bombana dan Konawe Kepulauan.
Selanjutnya, masifnya tambang ilegal dengan menabrak UU Tata Ruang dan Pulau-pulau kecil seperti di Pulau Kabaena dan Wawonii, namun tak kunjung ditindak aparat penegak hukum.
Pencemaran air dan udara akibat hilirisasi nikel, penggunaan bahan bakar fosil batubara di PT OSS di Kabupaten Konawe, menyebabkan tingginya kasus ISPA dan menghilangkan ribuan hektare tambak sebagai sentra budidaya perikanan darat di Sultra.
“Kita ingin kasus seperti ini menjadi bahan perdebatan yang muncul. Para calon kepala daerah ini harus memikirkan solusi jangka panjang, misalnya PT OSS tak boleh lagi menggunakan batubara, karena sangat membahayakan kesehatan masyarakat,” tegasnya.
Selain itu, penerbitan IUP secara masif di Sultra namun tak memberi keuntungan langsung kepada masyarakat juga menjadi catatan Walhi Sultra. Sebab, tambang nikel hanya dinikmati oleh segelintir orang.
Walhi Sultra mencatat, kasus korupsi tambang Rp 5,7 triliun di blok Mandiodo Konawe Utara menjadi contoh betapa buruknya pengelolaan SDA di Sultra. Sebab, uangnya hanya dinikmati para koruptor.
“Masyarakat hanya menerima kerusakan, bencananya saja, debu, banjirnya, tanah longsor, pencemaran lingkungan, dan bencana sosial yang ditimbulkan,” ungkap Andi Rahman.
Andi menegaskan, rusaknya lingkungan akibat penambangan ilegal yang masif karena lemahnya pengawasan para kepala daerah serta aparat penegak hukum yang tidak bertindak bahkan cenderung bermain.
Untuk itu, lewat momentum debat kandidat Cagub-Cawagub Sultra ini, masyarakat bisa menilai komitmen para calon kepala daerah terkait pengawasan pengelolaan SDA dan lingkungan hidup.
Namun, Walhi Sultra pesimis terhadap 4 kandidat Cagub-cawagub Sultra ini, pantaran tidak punya komitmen perbaikan lingkungan hidup dan menghentikan tambang ilegal.
“Dari empat calon ini tidak satupun yang berkomitmen ingin menjalankan pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam sesuai dengan harapan masyarakat,” tandasnya.
KPU Tutup Mata
Tak hanya Walhi, sebelumnya kritik juga datang dari Direktur Pusat Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (Puspa HAM) Sulawesi Tenggara, Kisran Makati. Kisran mempersoalkan keputusan KPU Sultra tersebut.
“Langkah ini tidak hanya problematik, tapi juga kurang bijak, karena jelas mengabaikan persoalan nyata yang dihadapi masyarakat setiap hari. KPU tolong ingat, ini debat politik, bukan kuliah umum di ruang kelas,” tegas Kisran.
Menurut eks Direktur Walhi Sultra ini, debat politik adalah momen penting untuk menguji para calon pemimpin dalam menghadapi realitas kehidupan rakyat, bukan soal teori atau retorika ilmiah yang kompleks.
Kisran menyebut, panelis debat yang didominasi kalangan akademisi ini membuat debat terasa lebih seperti seminar kampus dan kurang relevan masalah di masyarakat.
“Apakah relevan dengan kehidupan kita yang setiap hari berhadapan dengan masalah-masalah seperti kerusakan lingkungan, konflik agraria, korupsi, narkoba, banjir musiman, serta lonjakan harga kebutuhan pokok?,” tanya Kisran.
Kisran bilang, masalah hak asasi manusia, keadilan lingkungan, kesehatan publik, hingga kesetaraan gender sering kali kurang mendapat perhatian dalam ranah akademik yang penuh angka dan statistik.
Namun faktanya, isu-isu ini dihadapi langsung masyarakat. Sehingga, ketika KPU Sultra hanya mengundang akademisi sebagai panelis, suara petani, nelayan, buruh, dan masyarakat akar rumput tidak didengar.
Padahal, mantan panelis Pilgub Sultra 2018 ini, debat politik seharusnya mencerminkan beragam perspektif dari berbagai kalangan termasuk mereka yang terjun langsung mengadvokasi hak-hak rakyat.
Dengan langkah ini, lanjut Kisran, KPU Sultra justru mempersempit ruang partisipasi masyarakat dalam debat yang seharusnya inklusif.
“KPU Sultra seolah menutup telinga terhadap persoalan riil yang dialami rakyat. Keputusan ini mengirimkan pesan bahwa hanya pandangan akademisi yang layak didengar,” ujar Kisran.
Di samping itu, Kisran meragukan netralitas para akademisi, termasuk panelis debat. Menurutnya, banyak akademisi memiliki kepentingan, bias, dan preferensi politik.
Kisran lantas mempertanyakan objektivitas para akademisi dalam merumuskan materi debat kandidat Cagub-Cawagub Sultra yang digelar perdana di Kota Baubau, pada Sabtu, 19 Oktober 2024.
“Jika hanya mereka yang diizinkan bertanya, bagaimana kita bisa menjamin objektivitas? Alih-alih memperkaya diskusi, debat malah bisa dipenuhi jargon ilmiah yang tidak semua orang pahami,” katanya.
Bagi Kisran, Pemilu adalah tentang masa depan rakyat, bukan sekadar adu teori atau pamer data yang rumit.
Jika KPU Sultra benar-benar peduli pada demokrasi yang inklusif dan relevan, mereka harus melibatkan panelis dari berbagai lapisan masyarakat yang merepresentasikan keragaman Indonesia.
“Suara rakyatlah yang harus didengar, bukan hanya suara dari menara gading akademisi. Untuk debat-debat selanjutnya, pertimbangkan evaluasi panelis, agar benar-benar mewakili kepentingan rakyat dan menggali isu-isu yang nyata di lapangan, bukan sekadar teori,” tandasnya.
Ketua KPU Sultra, Asril belum menanggapi pertanyaan jurnalis yang diajukan melalui pesan singkat di aplikasi WhatsApp, pada Sabtu, 23 November 2024.
Sebelumnya, KPU Sultra menetapkan 7 panelis debat publik Cagub-Cawagub Sultra. Ketujuh panelis itu yakni Rektor Universitas Halu Oleo (UHO) Prof Muhammad Zamrun, pakar Filologi UHO Prof La Niampe, Prof Buyung Sarita pakar Institusi Keuangan UHO.
Selanjutnya, Pakar Gender dan Kesehatan Reproduksi Perlindungan Perempuan dan Anak UHO Prof Sartian. Pakar Manajemen Pendidikan IAIN Kendari Abdul Kadir, Hukum SDA Sahrina Saifudin, serta Pakar Sosiologi Pembangunan Desa IPB Sofyan Sjaf.
Debat Publik Ketiga Cagub-Cawagub Sultra akan ditayangkan secara langsung di televisi swasta, lokal, dan nasional serta lewat ruang dengar radio RRI, pada Sabtu, 23 November 2024 malam.