MATALOKAL.COM, – Hari kian beringsut menapaki siang seiring hujan mereda selepas luruh deras sejak matahari belum lama menyingsing. Menyisakan awan abu-abu menyesaki hamparan langit menghadang sejenak terik di medio Oktober 2024.
Kami lekas mengemasi barang-barang bergegas pulang ke Kota Kendari. Beberapa orang warga sudah menunggu dengan kendaraan roda duanya hendak mengantar ke tempat mobil yang akan membawa sebagian kami pulang.
Tempo itu kami bertolak meninggalkan kawasan permukiman warga transmigrasi di Desa Roda, Kecamatan Kolono, Kabupaten Konawe Selatan.
Dua hari lamanya menumpangi rumah warga di dusun 4; perkampungan rumpun trans Jawa, Bali dan lokal. Banyak kami bertujuh. Enam orang lain anggota Walhi Sulawesi Tenggara. Di antaranya Didi, transmigran kalangan muda di Desa Roda.
Mereka menyambangi wilayah dampingannya yang sekian tahun berselisih lahan menghadapi korporasi kapital PT Tiran Sulawesi milik Menteri Pertanian, Amran Sulaiman. Beberapa hari lalu perusahaan kembali menggusur lahan perkebunan warga.
Sepanjang melintasi jalan keluar perkampungan, seorang teman perempuan acapkali mendongak ke langit. Menyingkirkan matanya enggan menengok kondisi jalan.
“Pokoknya saya serahkan semuanya sama yang bawa motor,” pasrahnya panik.
Kami menempuh perjalanan sejauh kisaran 5 kilometer sebelum sampai di tujuan. Melewati separuh medan jalan tanjakan terjal sekaligus turunan menukik dengan lintasan lumpur dan bebatuan.
Rute jalan tanjakan dan turunan mengalami keropos membikin lubang memanjang terpisah-pisah. Menyisakan jalur setapak hanya bisa dilalui satu kendaraan motor. Pengendara silih berganti tatkala hendak melintasi areal sama.
Lebar jalan seukuran lebih sedikit satu mobil minibus. Menengahi semak belukar sepanjang 3 kilometer dari kawasan permukiman menuju persimpangan jalan aspal bergaris marga kuning-area pusat keramaian desa.
Jalanan beralas tanah itu akses penghubung semata wayang buat warga. Tak ada pilihan kecuali harus bertaruh keselamatan setidaknya demi menjamah hiruk pikuk keramaian desa. Mendatangi pusat layanan kesehatan. Berbelanja atau menjual hasil tani di pasar. Atau mengunjungi fasilitas lain yang belum tersedia di lingkungan pelosoknya.
Jalan dari ujung persimpangan mengarah masuk ke permukiman pernah dialasi aspal sepanjang beberapa ratus meter. Program pusat warsa 2022 ditangani Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) Konawe Selatan.
Proyek pengaspalan dikerjakan CV Darma Abadi. Perusahaan swasta pemenang lelang tender dengan kesepakatan anggaran penawaran sebesar Rp1,1 miliar bersumber dari kucuran saku APBN.
Lamun, hari berlalu barusan sekali berganti kalender pasca pengerjaan, material aspal sudah habis terkikis meninggalkan bermacam bentuk lubang menyesaki ruas jalan.
Bekas aspal di badan jalan menyisakan serakan batu kerikil dan lubang beragam kedalaman. Praktis ban kendaraan motor tak lagi bisa menjejak jalanan aspal.
Kejaksaan Negeri Konawe Selatan mengendus aroma rasuah di balik kerja pengaspalan tersebut. Diketahui lewat audit Inspektorat Provinsi sejumlah pihak pengelola menilap uang proyek sebanyak Rp237 juta.
Sewaktu awal Juli 2024, jaksa menetapkan tiga orang tersangka dugaan korupsi pengerjaan peningkatan jalan Lapisan Penetrasi (Lapen) Unit Permukiman Transmigrasi (UPT) Desa Roda.
Ketiganya mengenakan rompi tersangka yakni; Pejabat Pembuat Proyek (PPK) berinisial SA. Pelaksana Kegiatan LJ. Dan direktur perusahaan pemenang tender berinisial G.
“Sebenarnya kalau mau dicaritahu banyak korupsi (lain) di sana (permukiman transmigrasi Roda),” kata Didi.
Buruknya Akses, Fasilitas Kesehatan Nihil dan Kesulitan Air Bersih
Mulanya pengaspalan jalan diatensi buntut sentimen atas kejadian sekelompok warga transmigrasi mengayuh langkah di atas endapan lumpur. Mereka bahu-membahu memanggul tandu hendak memulangkan seorang ibu sesudah melahirkan.
Beberapa orang warga mengandar tandu rakitan batang bambu di sisi kiri dan kanan diiringi rinai hujan. Beberapa orang menguntit, sebagian lagi berada di samping. Seorang lainnya berjalan sembari memegangi payung kelir merah mencegat guyuran hujan menguyup si ibu bersama bayinya.
Tiada fasilitas layanan kesehatan di sana. Warga menjangkau jarak berkilo-kilometer demi pergi berobat atau sekedar memeriksakan kesehatan di Puskesmas. Keberadaan gedung fasilitasnya melewati empat desa. Menyusuri separuh jalanan berdebu saat kemarau, diganti lumpur di musim hujan.
Apabila intensitas curah hujan sedang sampai tinggi, beberapa titik jalan tergenang air setinggi mata kaki bercampur lumpur. Kondisi jalan menjadi licin, tak pelak membuat pengendara makin berisiko mengalami kecelakaan.
Tapi di lain sisi adanya hujan bak durian runtuh bagi warga bisa menyicipi nikmat air lumayan layak pakai. Manakala hujan datang warga menadah air memancur dari ujung atap seng yang tertampung di ember dan tong plastik.
Selain tak begitu warga cuma bisa mengandalkan air sumur galian kedalaman 5 hingga 7 meter dengan kondisi keruh mengandung kapur. Bahkan kering bila masa kemarau.
Sebelum dikonsumsi air sumur dimasak lebih dulu dalam panci aluminium. Setelah matang air kemudian didiamkan beberapa saat menunggu kandungan kapur mengendap ke dasar panci.
Proses serupa juga dilakukan kala memakai air hujan. Kendati zat kapurnya didapati lebih sedikit ketimbang air sumur. Warga menyaring air masak lantas memindahkan ke wadah lain supaya lebih mengurangi kandungan zat kapur.
Meskipun sudah begitu, kandungan zat kapur masih ada tersisa saat dikonsumsi. Kondisi demikian memicu warga rentan mengalami penyakit gangguan pencernaan.
I Nengah Suastika (48), seorang warga trans Bali menderita penyakit prostat setahun lalu. Awalnya dia mengalami gejala mengeluarkan darah sewaktu buang air kecil.
Dia kemudian memeriksakan kesehatan di Puskesmas setempat, sebelum nantinya dirujuk ke rumah sakit skala provinsi di Kendari. Dia pun mendatangi rumah sakit dengan numpang berbayar mobil pengepul yang membeli sayuran di permukiman transmigrasi.
Sesampai di rumah sakit dia menjalani pemeriksaan radiologi untuk mengetahui kondisi organ dalam tubuhnya. Hasil pemeriksaan ditemukan adanya cairan kental di ginjalnya membeku serupa batu.
Suastika mendapat keterangan dokter jika penyakitnya disebabkan kekurangan minum air putih. “Cuma saya bilang kalau air sumur kami di sana itu yang kami konsumsi zat kapurnya tinggi. Ooo jangan minum itu,” katanya seperti percakapan dengan dokter.
Dia sedianya mesti menjalani jadwal pengobatan rutin sampai kondisi sakitnya dinyatakan pulih. Namun, dia hanya sekali itu datang berobat di rumah sakit.
Daya tubuhnya tidak cukup mampu mengunjungi rumah sakit setiap waktu. Suastika harus menempuh perjalanan sejauh nyaris 150 kilometer pergi-pulang untuk sekali berobat.
“Saya kan mabuk berkendaraan (mobil). Itu sa nda sanggup.”
Sakitnya menimbulkan efek samping nyeri pinggang seperti kerap dirasakan. Apalagi ketika sedang bekerja berat di kebun. Untuk mengurangi efek dia mengikuti anjuran dokter agar mengonsumsi air putih sebanyak 2 liter tiap hari.
Sementara Syawal, warga paruh baya harus naik meja operasi di RSUD Kota Kendari pada 2018. Dia didiagnosa menderita penyakit kencing batu.
Dia jatuh sakit usai sering mengonsumsi air mengandung kapur diambil dari sumur galian. Bagaimana tidak dia hanya punya sumur galian di belakang rumahnya itu sebagai sumber air satu-satunya.
Sebetulnya saat ini sudah ada tiga tempat buat warga dapat mengakses air bersih. Dua sumur bor menampung air di tandon dan satu bak penampungan berdinding tembok.
Ketiga fasilitas sumber air berasal dari pengadaan pemerintah dalam rentang waktu 2021-2022 dibiayai keuangan kas daerah dan pusat dengan total anggaran Rp1,136 miliar.
Tetapi, tak ada pipa saluran air terhubung ke masing-masing rumah. Sekedar memenuhi kebutuhan dapur warga kecuali mengangkut air pakai jerigen plastik berjarak puluhan hingga ratusan meter.
Warga makin sulit menyusul salah satu sumber air bersih dari bak penampungan dinding tembok kosong sudah berbulan-bulan. Air tidak lagi mengalir sampai di penampungan.
Bak setinggi 5 meter itu menampung air asal hulu sungai. Mengalir melalui sambungan pipa lingkaran 3 inci terlentang mengapung di atas tanah sepanjang kurang lebih 7 kilometer.
Sebagian area rentangan pipa berada dalam lahan kelola PT Tiran Sulawesi. Pipa pernah mengalami kerusakan sesudah dilindas kuku alat berat perusahaan saat menyapu tumbuhan hutan untuk penanaman sawit.
Warga mengunyah pahitnya aneka rupa kepelikan itu semenjak mula berdomisili di UPT Desa Roda. Masa mula tinggal tiada akses listrik. Mereka menerangi rumah dari nyala lampu kaleng bekas berisi minyak tanah.
Alat penerangan kemudian diganti memanfaatkan jaringan listrik tenaga surya. Warga membeli panel penangkap sinar matahari, aki serta peralatan lain merogoh biaya sendiri.
Minimnya fasilitas pemenuhan kebutuhan dasar berkelindan asingnya uluran tangan pemerintah. Warga pun semakin resah.
Mereka lantas berpumpun dengan masyarakat transmigrasi lain korban konflik agraria menghelat aksi unjuk rasa di kantor Bupati Konawe Selatan.
Upaya warga sempat hendak dihalangi aparat kepolisian satuan Polsek Kolono. Mereka diminta tidak turut terlibat demonstrasi massa gabungan dengan alasan tidak punya surat pemberitahuan aksi.
Tapi permintaan polisi ditolak. Tidak berhenti polisi menyilakan warga ikut berunjuk rasa asal jangan mengemukakan pendapat di tengah jalannya kegiatan.
Meski begitu, warga bersikukuh tetap berdemo. Mereka meluahkan kesah belum tersedianya kebutuhan listrik. Tiadanya fasilitas pendidikan dan kesehatan. Kerusakan kondisi jalan dan belum dibagikannya lahan yang sudah dijanjikan.
Tahun berikutnya usai warga berunjuk rasa, pekerja PLN mulai datang menancapkan sejumlah tiang listrik di tepi jalan. Lalu membuntut memasang kabel tunggal hitam di tahun itu. Nantilah awal 2019, pelita sumbangan daya listrik menerangi gulita malam di permukiman.
Warga merasakan berkat aksi unjuk rasa cukup efektif mendamprat kepekaan pemerintah. Beberapa fasilitas umum di permukiman nanti diadakan kalau warga menuntut lewat demonstrasi.
“Semua fasilitas yang ada di sini hasil demo. Demi Allah didapat karena demo. Bagus dan hancur tidak lepas dari perjuangan,” kata Didi emosional.
Didi salah seorang anak muda yang kritis atas kondisi di lingkungannya. Bahkan sikap itu membikin resah hingga geram pemerintah di Desa Roda.
Waktu 2019, Kepala Desa Roda Baharuddin, Kepala UPT Suparlin, dan tokoh masyarakat Darwis Konggoasa dan Haeruddin membuat surat pernyataan meminta agar dia sekeluarga dipulangkan ke daerah asal di Jawa Barat.
Pemicunya ditengarai sikap warga UPT Roda santer mengajukan protes dan menuntut pengadaan fasilitas kebutuhan dasar. Warga memupuk perlawanan kolektif mereka dengan membentuk wadah organisasi petani.
Didi sekeluarga, terutama ayahnya malah dituduh menjadi provokator di balik gerakan warga.
Warga di UPT Roda bereaksi lewat sebuah surat sanggahan menolak dan mengecam tuduhan tersebut. Menurut mereka, tuduhan sebagai provokator amat kontras dari kenyataan sesungguhnya.
Fakta sebenarnya menurut warga, justru Koordinator Desa (Kordes) dan Kepala Unit Permukiman Transmigrasi (KUPT) tidak menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya. Keduanya jarang berada di tempat dan kurang memberi pembinaan terhadap warga UPT Roda.
Warga sudah mengadukan masalah ini ke Disnakertrans Konawe Selatan dalam beberapa kali pertemuan. Aduan serupa juga disampaikan ke Disnakertrans Provinsi. Namun, tiada satu pun berbalas tanggapan.
Keterbatasan Fasilitas dan Buruknya Tata Kelola Pendidikan
Penduduk transmigrasi mulai bermukim di Desa Roda sejak penghujung 2016. Jumlah keseluruhan sebanyak 118 kepala keluarga. Terbagi 60 penduduk lokal. Selainnya asal Jawa dan Bali. Dominan mempunyai latar belakang pendidikan setingkat sekolah dasar.
Di dusun 4 UPT Roda berdiri sekolah dasar-filial SD 9 Kolono. Punya satu bangunan terdiri tiga ruang kelas digunakan siswa enam tingkatan.
Sebelum ada gedung sekolah, siswa belajar menumpangi bangunan balai dusun. Ditopang fasilitas kursi. Meja. Buku dan satu papan tulis, siswa mendapat pengajaran empat orang guru.
Salah satu pernah menjadi guru, Mirnawati, istri Didi Hardiana. Dia warga transmigran lokal. Mulai mengajar di sekolah permukiman transmigrasi sewaktu 2017 awal. Saat itu dirinya masih duduk di bangku Universitas Terbuka Kendari.
Mulanya, ibunya memberitahu Mirna via sambungan telepon. Katanya, dia diminta kesediaan mengajar oleh Koordinator Desa alias Kordes di UPT Roda sekaligus guru di sekolah permukiman transmigrasi, Darwis Konggoasa.
Menurut Mirna, Darwis diamanahkan sekolah induk untuk menangani keberlangsungan sekolah di permukiman transmigrasi.
Sempat menimang-nimang sebelum akhirnya mengangguk tawaran mengajar dengan status guru honorer di bawah naungan Disnakertrans. Dia diiming-imingi bakal menerima gaji sebesar Rp1,5 juta per bulan. Kemudian memutuskan keluar dari pekerjaannya sebagai karyawan pusat perbelanjaan di Kendari.
“Waktu itu saya kuliah sambil kerja,” kenang Mirna.
Mirna mengajar di balai seluas setengah lebih lapangan voli dipetak menjadi enam kelas. Kursi dan meja berjejer membentuk tiga baris menyamping. Masing-masing baris terdiri dua kelas. Tiada sekat pemisah. Batas tiap-tiap kelas ditandai jarak deretan kursi selebar beberapa jengkal orang dewasa.
Total siswa sebanyak lima puluh lebih dari enam tingkatan belajar secara koinsiden. Semua menerima mata pelajaran sama dalam satu bangunan balai tanpa ditutupi dinding penuh di sisi kiri dan kanan.
Mirna menyiasati agar tak ripuh menyampaikan pembelajaran dengan memberi buku bacaan khusus siswa kelas atas. Dengan begitu bisa menyediakan kesempatan untuknya mengajari siswa kelas bawah.
“Kan nda mungkin 6 kelas dalam satu papan tulis. Kalau kelas satu atau kelas dua kan harus di papan tulis menulis. Nah, kelas lainnya kelas tinggi saya kasih buku paket.”
Walau tetap saja dia kelabakan manakala menghadapi keriuhan siswa yang mengusik ketenangan belajar siswa lain. Tak jarang pula sesama siswa saling menganggu ketika sedang mengikuti proses pembelajaran. Belum lagi simultan dia mesti melayani kebutuhan siswa dari tingkatan berbeda.
“Kelas lima, kelas enam kan kayak sudah pintar bertanya, jadi kalau misalkan saya lagi fokus di kelas satu, kelas dua saya harus layani lagi. Ada juga bu saya sudah selesai, bu mau ke kamar mandi,” kata Mirna menggambarkan kondisi dihadapi ketika itu.
Mirna sempat didera pergolakan batin. Pikiran penat membisikinya untuk mengakhiri aktivitas mengajar. Beban kerja dan besaran gaji dianggapnya tidak sebanding. Dia menerima gaji melenceng dari nominal dijanjikan semula.
“Bulan pertama cair, tapi lima ratus. Pas saya bicara sama KUPT ternyata betul itu yang sebenarnya lima ratus. Kenapa pak Darwis tidak bilang dari awal? Kenapa harus bilang sekian honornya?”
“Sebenarnya sata tidak anukan gajinya. Sa ditipu begitu, tidak dikasih kata-kata yang jelas dari awal,” keluhnya.
Kendati demikian, setelah merenungi pengetahuan dikenyam di bangku kuliah dia mengurungkan niatnya. Memutuskan tetap menekuni profesi guru meski banyak waktu mengajari puluhan siswa hanya seorang diri.
Kata dia, tiga orang guru lain di antaranya Darwis dan istri kerap absen memenuhi kewajiban buat mengajar di sekolah.
“Kadang satu minggu sa sendiri. Kadang muncul pak Basrin. Pernah itu pernah satu bulan sa sendiri. Sa ingin sekali berhenti waktu itu,” ucapnya dengan nada tegang.
“Pokoknya pak Darwis itu jarang sekali naik. Mungkin seminggu ada dua kali, seminggu juga ada tiga kali. Bahkan sebulan ada dua kali, tiga kali. Paling jarang muncul.”
Menurutnya, Darwis menyampaikan alasan tidak datang mengajar karena harus menyelesaikan urusan di sekolah induk.
“Langsung sa konfirmasi sama operator, kadang sama guru-guru di bawah. Betulkah pak Darwis dia sibuk di bawah ada kegiatan? Tidak,” katanya seperti tanggapan guru di sekolah induk saat itu.
Masa penghujung 2018, tempat belajar siswa berpindah menyusul pembangunan gedung sekolah rampung. Sudah tersedia fasilitas bangku dan buku dilengkapi lemari beserta papan tulis di masing-masing kelas.
Satu bangunan sekolah hanya terdapat tiga ruang kelas toh. Satu ruangan dibuat jadi dua kelas supaya mencukupi kebutuhan proses pembelajaran. Jarak barisan kursi selebar langkah orang dewasa memisahkan tiap kelas.
Satu ruangan dua kelas menggunakan satu papan tulis. Hanya ditengahi garis pena spidol selaku tanda pembatas.
Menurut Mirna, jumlah guru semasa awal pindah di gedung baru sebanyak tiga orang. Termasuk Darwis sebagai guru tertua. Namun, kata dia, terkadang siswa tiga ruang kelas dari enam tingkatan diajari seorang guru. Dia sendiri.
Walaupun begitu, tidak mengendurkan kesediaannya mengajar setidaknya untuk memastikan siswanya tetap menyesap pengetahuan di bangku sekolah.
Bila sedang sendiri, dia mempraktikkan pola mengajar sama sebelumnya. Memberi buku bacaan bagi siswa kelas atas, lalu menerangkan kepada siswa kelas bawah.
Emosi dan tenaganya terkuras ketika tengah memberi pelajaran di satu ruangan, dia harus bergegas untuk menenangkan keributan siswa di dua ruangan lain.
Mirna melakoni aktivitas mengajar meski dalam kondisi tengah mengandung. Dia berangkat ke sekolah diantar suaminya, Didi. Kadang kala berjalan kaki. Atau bahkan mengendarai motor seorang diri.
“Sampe umur 8 bulan (mengandung) malah sa masih bawa motor,” katanya sedikit tertawa.
Nanti menjelang waktu melahirkan Mirna mengajukan cuti selama tiga bulan. Sebelum menyusul keputusan mengakhiri masa tugas empat tahun mengajar di sekolah permukiman transmigrasi Roda. Dia lantas pindah mengajar di sekolah penyandang disabilitas di Kendari.
Kini para siswa hanya diampu dua orang guru, salah satunya Darwis Konggoasa yang masih ogah-ogahan datang mengajar. Tak jarang siswa tidak bersua guru saat berada di sekolah.
Kalau kegiatan belajar-mengajar melompong, siswa bermain sepakbola di lapangan depan ruang kelas. Atau pergi memetik buah kersen di hutan sebelah kiri gedung sekolah.
Kondisi ini memengaruhi daya kesadaran pendidikan anak-anak transmigran tergolong rendah. Hal itu ditunjukan saat mereka lebih sedia membantu orang tua berkebun ketimbang mendatangi sekolah.
“Pengaruh gurunya juga mungkin jadi orang tua siswa juga melihat anaknya. Karena gurunya juga kurang jadi orang tua berpikir mungkin anaknya mau pergi siapa yang mau ajar. Bikin kotor pakaian saja,” ujar Mirna.
Upaya konfirmasi ke Darwis sudah dilakukan Selasa 29 Oktober 2024. Dua kontak ponsel yang diakses melalui warga gagal tersambung saat dihubungi.
Dampak Kesulitan Akses Fasilitas Pendidikan
Sekolah dasar di UPT Roda baru berusia setengah dekade. Dinding cat tembok putih perlahan sudah memudar bercampur sedikit kemerah-merahan. Beberapa bagian langit-langit bolong. Sekolah itu jadi fasilitas pendidikan satu-satunya dipunyai warga transmigrasi.
Sekolah menengah pertama berjarak lebih kurang 3 kilometer dari kawasan permukiman. Sedangkan untuk sekolah menengah atas jaraknya sejauh 10 kilometer.
Bagi mereka bila berkenan meneruskan ke jenjang sekolah menengah, mesti rela meninggalkan permukiman sekalian berpisah dari orang tua. Atau memilih menetap asal siap menanggung risiko pergi-pulang saban hari melintasi jalanan terbilang ekstrem.
Sebagian anak-anak memilih tidak meneruskan pendidikan selepas menamatkan sekolah dasar. Mereka kemudian berkebun, atau menggeluti pekerjaan yang bisa mendatangkan lembaran Rupiah.
“Tidak sekolah juga kita bisa dapat uang. Mending kerja saja,” ucap salah seorang anak lelaki tamatan sekolah dasar dengan tampang serius.
Jumlah warga transmigrasi yang menempuh pendidikan sekolah menengah hingga bangku kuliah tak habis dihitung jari tangan. Dua dari empat orang yang berhasil merengkuh gelar strata pendidikan perguruan tinggi adalah Didi Hardiana dan istrinya Mirnawati.
Didi menambah deretan gelar sarjana di belakang namanya saat wisuda 2023, setelah empat tahun bergelut dengan kehidupan kampus. Dia alumni Universitas Muhammadiyah Kendari.
Dia baru menapaki dunia kampus usai tujuh tahun lulus sekolah menengah atas. Sebelum menjadi bagian dari rumpun transmigran, Didi berkartu kependudukan di Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat.
Ketika itu, sepenamatan sekolah menengah atas, dia sempat menjadi salah seorang pekerja warga negara asing di Taiwan. Merantau kurang lebih tiga tahun, dia pulang sesudah dideportasi karena alasan keimigrasian.
Tidak cukup setahun pasca pulang kampung, dia dan dua adiknya ikut kedua orang tua bermigrasi di tanah Sulawesi. Ayahnya memutuskan pindah lantaran tergiur cerita tentang kemakmuran orang-orang transmigran.
Masa penghujung 2016, Didi sekeluarga mendarat di Desa Roda. Mereka lalu tinggal di rumah bantuan bagi warga transmigrasi seukuran perumahan subsidi. Untuk menopang keberlanjutan hidup, keluarganya bertani di lahan yang disediakan Disnakertrans.
Belum setahun bermukim di Desa Roda, warga transmigrasi sudah diperhadapkan setumpuk masalah menyangkut fasilitas kebutuhan dasar. Termasuk lainnya belum kunjung dibagikan lahan yang kadung dijanjikan.
Warga trans Roda risau lalu menuntut pemenuhan hak lewat unjuk rasa. Aksi massa diandalkan agar suara-suara lirihnya terdengar. Didi pun dengan darah muda tergerak melibatkan diri acap kali ada kegiatan demonstrasi.
Suatu kali Didi jatuh sakit tak lama selepas ikut aksi demonstrasi. Kepalanya pening dan dada sesak lantaran gagal menyalurkan keluh kesah saat unjuk rasa. Dia masih limbung hingga gugup untuk bertutur di muka khalayak ramai.
“Dulu saya masih petani, belum pernah orasi. Sakit hati betul waktu itu.”
Sang ayah lantas menitipkannya untuk belajar di sebuah organisasi berlatar intensi kerja-kerja pendampingan masalah konflik agraria. Dari situlah mulanya dia rutin menjalin interaksi bersama banyak kalangan terutama kelompok mahasiswa maupun pihak terpelajar lain.
Nuansa pergaulan baru menggugah motivasi Didi mengecap pendidikan di bangku perguruan tinggi. Dia mulai menyadari ihwal pentingnya peran pendidikan buat lingkungannya. Benaknya meyakini pendidikan bisa meretas jalan guna menjejaki era pembaharuan.
“Investasi yang paling berharga itu ilmu pengetahuan. Lebih mahal itu,” ucapnya bangga.
Setelah bermahasiswa, wawasan berbalut kesadaran moril Didi makin terasah melantangkan suara-suara sunyi di kampungnya. Isu terkait masalah pertanahan semisal, sering disinggungnya dalam perbincangan di ruang perkuliahan.
Didi merupakan jebolan fakultas hukum. Dia memilih kuliah ilmu hukum didorong rasa keingintahuan menyangkut ketentuan hukum perkara pertanahan yang saling beririsan dengan kebijakan pemerintah.
Dia memahami masalah dihadapi warga trans Roda ihwal konflik lahan melawan PT Tiran Sulawesi berakar dari ketidaktetapan sikap pemerintah dalam membuat produk kebijakan. Alhasil kini berimplikasi mengorbankan kehidupan masyarakat kalangan tapak seperti mereka.
Saat ini dia sudah bekerja di lembaga pendampingan publik yang mengurusi hak asasi manusia. Dia juga bertekat untuk meniti karir menjadi seorang advokat.
Tumpang-tindih Kepemilikan Lahan
Penduduk transmigran di UPT Roda melewatkan hari bersilih hari bertekun mengayun sebilah parang dan cangkul di lahan kebunnya. Bertani jadi keahlian satu-satunya mereka miliki. Sebagaimana pekerjaan warisan turun temurun.
Semua penduduk memapah kelangsungan hidup dari komoditas taninya. Bangunan rumah berbentuk semi permanen dikitari ragam tanaman sayur-mayur dan buah-buahan. Tumbuh bersanding di area lahan yang sama.
Sudah nyaris sedekade berpindah, penduduk transmigran tinggal menyisakan sekitar 55 kepala keluarga. Mayoritas warga trans Bali. Sedangkan lainnya asal Jawa dan lokal.
Lebih dari setengah memilih minggat dan menjual lahannya. Ada pergi ke tempat diharap lebih layak meneruskan hidup. Sebagian pulang di tanah kelahirannya Jawa dan Bali.
Mereka terdesak menyingkir lantaran tak tahan meringkik di tengah kepitan jamak kepelikan.
Bukan hanya alasan kesulitan akses dan minimnya fasilitas kebutuhan hidup, keputusan enyah dipicu sudah patah arang atas konflik lahan melawan PT Tiran Sulawesi. Pekan kedua Oktober, eksavator perusahaan kembali menggusur lahan perkebunan warga.
Tanaman antara lain jambu mete, pisang dan pohon jati tersungkur rata di tanah. “Padahal baru kemarin saya panen pisang itu,” kata Carmo siang itu sembari menunjuk batang pisang yang ia tebang sehari lalu.
Biasanya Sarmo (48) memanen tanaman pisangnya dua kali seminggu. Selain pisang, kebunnya ditanami aneka jenis sayuran, seperti buncis, kacang panjang, tomat, dan rupa sayuran hijau lain. Tumbuh di atas gundukan tanah bedengan.
Sarmo memanen sayurannya rutin berkali-kali saban bulan. Bila hasil panen banyak, dia mengaku bisa meraup Rupiah hingga sejutaan dalam sekali menjual. Sayuran dibeli seorang pengepul yang datang mengambil langsung di rumah. Atau dijualnya bersama istri di pasar.
Namun, sudah dua bulan lamanya kata warga trans Bali itu, tidak lagi mengelola lahan kebunnya. Dia gamang sewaktu-waktu perusahaan kembali melakukan penggusuran.
“Pernah tawar menanam di lahan yang digusur tapi ditolak,” ujarnya pilu.
Demi mengasuh nafkah istri dan satu anak lanangnya terus tercukupi, Sarmo meminjam lahan sesama warga trans Bali agar tetap bisa berkebun.
Lahan pinjaman itu sudah ditanami nilam di bawah rerimbunan pohon kelapa sawit. Masih ada sebidang lainnya rencana akan ditanami berbagai macam sayuran.
Kejadian penggusuran mendesak Didi lekas pulang di UPT Roda. Proyeksi perusahaan menyasar lahan yang pernah dia tinggali. Lahan itu milik mertuanya berisi tanaman jambu mete dan pohon jati.
Di tempat itu, dia pernah tinggal bersama istrinya saat bersamaan mengandung putrinya. Dia ingin hidup mandiri sesudah menikah. Setidaknya sudah tak lagi bergumul seatap dengan kedua orang tua.
Akhirnya sewaktu awal 2021, Didi memutuskan memboyong istrinya tinggal di pinggiran permukiman. Tetangga paling dekat berjarak setengah kilo.
Keduanya menghuni rumah panggung berukuran tipe 36 tanpa aliran listrik. Rumah berdinding papan beratap seng itu disinari nyala lampu tenaga surya. Sedangkan sumber air mereka mengharap hujan mengucur.
Didi membuat dipan semuat satu orang dewasa di bawah kolong rumah buat istrinya biasa dipakai merebahkan badan dengan perut membuncit. Semua bahan diambilnya sendiri di tengah hutan.
Rutinitas kesehariannya berkebun dengan menanam sayuran sebagai sumber penghidupan. Saat itu, dia juga masih mahasiswa. Mengikuti proses perkuliahan secara daring yang diberlakukan kampus semasa virus corona mewabah.
Di tempat itu dia pernah melewati waktu selama dua pekan untuk mengisolasi diri usai didiagnosa terjangkit Covid 19.
Selepas menghabiskan hari lebih kurang setengah tahun di tempat disebutnya pondok, dia pindah di Kota Kendari. Hanya sesekali menyempatkan pulang di UPT Roda.
Ketika pulang pertengahan Oktober, dia terenyuh kala memandangi hamparan lahan bekas penggusuran berjarak hanya beberapa langkah dari rumah tempatnya pernah tinggal. Lahan gusuran sebagian dibikin terasering.
Rumah itu pula dulu seringkali dijadikan tempat pertemuan warga ketika merembukan penyelesaian berbagai persoalan di permukiman. Salah satunya mengenai perseteruan lahan dengan perusahaan.
PT Tiran Sulawesi mengklaim lahan gusuran merupakan kawasan Hak Guna Usaha (HGU) miliknya. Total luasannya 41,44 hektare di Desa Roda dan 2,54 hektare di Desa Meletumbo, Kecamatan Kolono.
Warga menggarap lahan perkebunan tradisional yang digusur sedari 2017 atas dasar diberikan Disnakertrans Konawe Selatan sebagai hak kelola penduduk transmigrasi.
Lahan objek konflik dengan perusahaan semula sudah diperuntukan bagi warga transmigrasi semenjak rencana penempatan pada 2012.
Merujuk berita acara musyawarah Desa Roda tertanggal Senin 11 Februari 2012, bertempat di balai Desa Roda melahirkan kesepakatan; menerima kedatangan transmigrasi daerah asal dengan persentase 60 persen lokal dan 40 persen pendatang Jawa dan Bali.
Masyarakat Desa Roda turut menyepakati tidak akan menuntut ganti rugi lahan dan tanaman yang berada dalam lahan calon lokasi transmigrasi. Keputusan rapat ditandatangani Camat Kolono waktu itu, Muh Yusuf; Kepala Desa Roda, Baharuddin; dan Kepala BPD Desa Roda, Abdul Malik.
Peruntukan lahan transmigrasi kemudian tercatut dalam Surat Keputusan Bupati Konawe Selatan bernomor 595/946 Tahun 2012 tentang Pencadangan/Penunjukan Wilayah Desa Roda, Kecamatan Kolono, Kabupaten Konawe Selatan Sebagai Calon Lokasi Penempatan Transmigrasi.
SK Bupati Konawe Selatan memuat keputusan; menunjuk wilayah Desa Roda seluas 1000 hektare status kawasan Areal Penggunaan Lain (APL) sebagai calon lokasi penempatan transmigrasi.
Tetapi masalah pun bermula saat Bupati Konawe Selatan mendiang Imran menerbitkan izin lokasi perkebunan sawit untuk PT Tiran Sulawesi di lahan sedianya sudah diperuntukan menjadi lokasi penempatan warga transmigrasi.
Menurut mantan Kepala Bidang Penyiapan dan Penempatan Transmigrasi Disnakertrans Konawe Selatan, Halik, izin perkebunan sawit pertama kali diterbitkan pada 2012 dengan luasan sekitar 20.000 hektare. Namun, izin mengalami pengubahan setelah sebagian lokasi perkebunan mengambil bagian lahan peruntukan transmigrasi.
Izin kemudian diperbarui melalui Surat Keputusan nomor 525/871/Tahun 2015 tentang Izin Lokasi Untuk Perkebunan Sawit PT Tiran Sulawesi, mencapai kurang lebih 13.800 hektare. Meliputi wilayah Kecamatan Kolono, Moramo dan Wolasi.
Berdasarkan pemetaan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Konawe Selatan, izin lokasi diberikan di Kecamatan Kolono masih berada sama dengan lahan rencana peruntukan transmigrasi.
Sebelum rencana penempatan diresmikan, pihak Disnakertrans Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat datang meninjau calon lokasi kawasan permukiman warganya di Desa Roda.
Saat itu, pihak Disnakertrans Tasikmalaya juga bertemu lembaga Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) Sulawesi Tenggara. KPA pun meminta agar program transmigrasi tidak dilaksanakan. Sebab calon lokasi lahan penempatan di Desa Roda diketahui berada dalam kawasan izin kelola PT Tiran Sulawesi. KPA sudah mewanti-wanti kemungkinan kelak terjadi konflik lahan antara warga dan perusahaan.
Namun demikian, rencana tetap berlanjut dengan ditempatkannya warga transmigrasi di Desa Roda memasuki Desember 2016.
Kami sudah mengonfirmasi Kepala UPT Desa Roda, Suparlin terkait SK penempatan warga transmigrasi. Namun tidak merespon sewaktu dihubungi lewat sambungan seluler.
Upaya konfirmasi sama juga dilakukan terhadap Kepala Desa Roda. Tetapi tidak menanggapi pesan singkat dikirimkan.
Salah satu dasar pijakan penempatan transmigrasi di Desa Roda adalah Surat Pernyataan tentang Penempatan Warga Transmigrasi diterbitkan pada 4 April 2016. Ditandatangani Camat Kolono, Jafar; Kepala Desa Roda, Baharuddin serta tokoh masyarakat Haeruddin dan Darwis Konggoasa.
Dalam surat pernyataan disebutkan; menyetujui penempatan warga transmigrasi penduduk asal (TPA) Jawa dan Bali sebanyak 59 kepala keluarga. Dan 59 kepala keluarga warga transmigrasi penduduk setempat di atas lahan seluas lebih kurang 250 hektare.
Penempatan transmigrasi juga terikat oleh MOU Pemerintah Kabupaten Konawe Selatan dan pemerintah daerah asal warga pelaku transmigrasi.
Sesuai kesepakatan tiap-tiap kepala keluarga warga transmigrasi akan mendapat tiga bidang lahan total seluas 2 hektare. Meliputi lahan pekarangan seluas 0,25 are. Kemudian lahan usaha satu 0,75 are. Dan 1 hektare lahan usaha dua.
Adapun wewenang pembagian lahan menjadi otoritas penuh Disnakertrans. Di samping itu, Disnakertrans memberikan bantuan jaminan hidup berupa kebutuhan bahan sembako selama satu tahun.
Segala urusan menyangkut kawasan permukiman warga transmigrasi merupakan tanggung jawab Kepala Unit Permukiman Transmigrasi alias KUPT.
Semasa awal penempatan warga baru mendapatkan pembagian lahan pekarangan di mana tempat berdirinya bangunan rumah masing-masing.
Saat berjalan bulan ketiga tinggal, warga mendapati alat berat perusahaan bekerja membersihkan lahan di sekitar kawasan permukiman. Lahan itulah nantinya jadi bagian dari lahan usaha satu.
“Lahan siapa ini? Lahannya PT. PT apa? PT Tiran. Terus lahan yang lain untuk masyarakat bagaimana? Ada ji bagiannya dia bilang operator,” kata Didi mengulang percakapan warga dengan pekerja perusahaan.
Sudah nyaris setahun bermigrasi warga tak kunjung diberikan lahan usaha satu dan dua. Mereka lalu berunjuk rasa mendesak realisasi janji pembagian lahan. Warga meminta pula perpanjangan masa jaminan hidup.
Dari sekian tuntutan, pemerintah hanya mengabulkan satu permintaan yakni pemberian lahan usaha satu. Sebelum dibagikan sebidang lahan luas 0,75 are sesuai bagian masing-masing diberi tanda penomoran.
Pembagian lahan dilakukan melalui mekanisme pengundian. Tiap-tiap kepala keluarga mengambil secara acak nomor undian yang telah disediakan. Nantinya warga mendapatkan lahan sesuai perolehan nomor undian tersebut.
Setelah resmi dibagikan, warga lantas berduyun-duyun menjadikannya lokasi perkebunan untuk ditanami berbagai macam tanaman pangan. Selayaknya petani, mereka mendulang nafkah dari isi kebunnya itu.
Kondisi di UPT Roda berubah menggaduh menyusul pihak perusahaan memasang kawat duri di sekitar permukiman guna membatasi lahan yang diklaim lokasi izin kelolanya.
Barulah belakangan warga yakin rupanya lahan perkebunan termasuk lahan mereka tinggali sudah menjadi kawasan izin kelola PT Tiran Sulawesi sebelum penempatan transmigrasi.
Warga akhirnya berunjuk rasa didampingi KPA, Walhi Sulawesi Tenggara dan Puspaham menuntut pemerintah segera diberikan kejelasan terkait status kepemilikan lahan.
Selain menuntut kejelasan pemilikan lahan, warga mendesak realisasi rencana pembagian lahan usaha dua yang tak kunjung dilaksanakan. Sedianya masing-masing kepala keluarga akan mendapatkan 1 hektare di lahan tersebut.
Lokasi lahan usaha dua sudah beberapa kali mengalami perubahan pemetaan melalui program di bawah selenggaraan Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.
Tercatat di laporan data Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE), dua kali pemetaan di 2020 dikerjakan CV Multi Planing Consultan dan CV Nikkou Enginering Design Consultan dengan akumulasi anggaran sebesar Rp241 juta.
Namun, alih-alih menyuguhkan bekal hidup layak, pembagian lahan usaha dua malah nantinya menyeret warga terjerembab ke liang ancaman penyingkiran baru.
Bagaimana tidak, merujuk pemetaan BPN, rencana lokasi lahan tersebut ternyata berada di kawasan hutan konservasi. Di mana landasan hukum kehutahan melarang adanya aktivitas kehidupan manusia di dalamnya. Warga pun akhirnya harus mengelus dada dan memendam harap yang telah diasuh sedemikian waktu.
Terkait ini telah berusaha dikonfirmasi kepada Kepala Disnakertrans Konawe Selatan, Erna Yustina. Pesan singkat dikirimkan Selasa 5 November 2024 tidak ditanggapi. Pesan konfirmasi kembali dikirimkan esoknya. Namun pesan gagal terkirim setelah nomor kontak diblokir.
Bupati Konawe Selatan Surunuddin Dangga pernah menjanjikan warga bakal menyelesaikan masalah lahan di UPT Roda dalam estimasi waktu paling lambat tiga bulan. Surunuddin juga berjanji tidak akan lagi memberikan izin untuk perkebunan sawit.
Padahal, tanpa sepengetahuan warga, pemerintah menerbitkan izin HGU bagi PT Tiran Sulawesi pada 2020 di lahan lokasi perkebunan seluas 41,44 hektare. Pemerintah memberikan izin HGU Tiran buat perkebunan sawit dan peternakan. Seluruh luasan lahannya terdapat 51 kaplingan dikelola 49 warga transmigrasi.
Pemberian izin pernah dibantah Kepala UPT Roda Suparlin dengan mengatakan tiada HGU Tiran di lahan perkebunan warga.
Suparlin tidak menanggapi saat dihubungi lewat sambungan telepon untuk upaya konfirmasi.
Pemberian izin HGU mulanya diketahui warga saat mengusulkan sertifikat tanah di 2020. Sebagian lahan usulan tidak boleh diterbitkan sertifikat karena berada di kawasan kelola perusahaan.
Karena itu, pihak BPN hanya menerbitkan sertifikat tanah warga setidaknya lebih dari 60 bidang selama tiga kali pengusulan sejak 2019 sampai 2021.
Kendati sudah punya sertifikat tanah tetapi tidak mutlak menghindarkan warga dari ketakutan akan ancaman penyingkiran. Mereka dimomoki atas kejadian di pelupuk mata sewaktu lahan warga transmigran di kecamatan tetangga diserobot perusahaan perkebunan sawit meski mengantongi alas hak kepemilikan.
Apalagi menurut warga, mereka tidak bisa bersandar di punggung pemerintah untuk berlindung manakala menghadapi hasrat ambisius korporasi.
“Kalau masyarakat datang cuma kata-kata. Kalau perusahaan datang kan bawa uang,” ungkap warga.
Ketakutan warga kian kental nyata seiring tindakan PT Tiran Sulawesi menggusur lahan perkebunan, sekaligus juga lahan kelolanya. Penggusuran sudah dilakukan sekian kali diketahui sejak Juli hingga Oktober 2024.
Saat malam lepas penggusuran Oktober, warga berpumpun di balai dusun guna membicarakan kondisi nasib keberadaan mereka.
Didi membuka pertemuan tak kuasa menahan tangis sesaat memulai pembicaraan. Air matanya tumpah tatkala ingatannya menuntun untuk mengenang perjalanan panjang perjuangan warga UPT Roda. Sampai saat ini warga kalangan tua masih harus memeras peluh berjuang demi menggapai sejumput ketenangan hidup di masa rentanya.
Setelah dua hari pulang dia mesti meninggalkan lagi Desa Roda. Memacu laju kendaraan roda duanya kembali ke Kota Kendari. Benaknya memangku angan kiranya suatu waktu sanggup menamatkan episode larat sekian lama merundung entitasnya.
Hingg berita ini diterbitkan, Humas PT Tiran Indonesia, La Pili saat dikonfirmasi belum memberikan respon.
Penulis: La Ode Muhlas