MATALOKAL.COM, KONSEL – Seorang guru SD di Kecamatan Baito, Konawe Selatan (Konsel), Sulawesi Tenggara bernama Supriani (36) diduga dikriminalisasi usai dituduh menganiaya siswanya berinisial MCD.
MCD yang kini duduk di kelas 2 SD negeri itu merupakan anak Kanit Intel Polsek Baito, Konawe Selatan bernama Wibowo Hasyim berpangkat Ajun Inspektur Polisi Dua.
Aipda Wibowo Hasyim ini diduga mengintervensi hingga punya konflik kepentingan dalam kasus ini. Sebab, perkara ini ditangani Polsek Baito, satuan yang sama tempat polisi ini bertugas.
Kini Supriani ditahan jaksa Kejaksaan Negeri Konawe Selatan di Lapas Perempuan dan Anak Kota Kendari, sejak 16 Oktober 2024. Supriani pun harus terpisah dengan dua anak anaknya yang dititipkan ke saudaranya.
Kepala SD Baito, Sanaali menjelaskan, peristiwa bermula ketika ibu siswa kelas dua ini melihat luka di paha anaknya. Sang ibu pun menanyakan penyebab luka dekat areal sensitifnya itu.
“Kata anaknya penyebab luka karena jatuh di sawah. Tapi saat ditanya ayahnya dia mengaku dipukul ibu Supri (Supriani),” ujar Sanaali, kepada matalokal.com, pada Senin, 21 Oktober 2024.
Tanpa menanyakan kejadian ini ke pihak sekolah ataupun sang guru, orangtua murid ini langsung melaporkan kejadian itu ke Polsek Baito pada Jum’at 26 April 2024, dua hari setelah kejadian itu dituduhkan.
Berdasarkan kontruksi perkara versi polisi, korban dipukul Supriani menggunakan gagang sapu ijuk saat jam belajar , Rabu, 24 April 2024, pukul 13.00 Wita. Pemukulan itu mengakibatkan luka melepuh di kedua paha belakang murid tersebut.
Korban mengaku ke ibunya pada 25 April 2024 bahwa luka itu akibat jatuh di sawah bersama ayahnya. Namun tak disebutkan waktu kejadiannya. Keesokan harinya, korban mengaku dianiaya Supriani saat ditanya oleh ayahnya.
Sanaali bersama dua guru termasuk Supriani pun datang melakukan klarifikasi ke Polsek Baito setelah menerima panggilan penyidik untuk di-BAP. Mereka lantas membantah kejadian itu.
Di hadapan penyidik, mereka bilang, saat hari kejadian, Supriani tidak mengajar anak polisi yang saat itu duduk ke kelas 1A. Sebab, guru yang kini menyandang status tersangka itu tengah mengajar di kelas 1B.
“Guru kelas 1A yang mengajar siswi ini sampai pulang tidak ada kejadian itu. Jadi ibu Supriani tidak pernah bertemu dengan siswa itu di hari kejadian,” beber Sanaali.
Tak hanya itu, Sanaali mengungkapkan, jika luka yang dialami siswa separah itu, maka akan menghebohkan seisi ruang hingga di luar kelas, didengar guru dan siswa lain di sekolah.
Sebab, siswa akan menangis, menjerit karena kesakitan. Pun siswa lain akan ketakutan bahkan dimungkinkan ikut trauma melihat kejadian itu.
“Luar biasa kalau ada kejadian itu, pasti mereka (siswa dan guru) berkerumun, pasti heboh karena siswa lain ketakutan. Jadi tidak ada kejadian itu,” katanya.
Dugaan Rekayasa
Proses penyelidikan hingga penyidikan kasus ini diduga penuh rekayasa, pasalnya ditemukan sejumlah kejanggalan. Salah satunya dari keterangan saksi yang saling bertentangan.
Penyidik Polsek Baito Konawe Selatan menetapkan dua saksi anak sebagai petunjuk dalam perkara ini, yakni siswi kelas dua berinisial I dan A.
Penyidik sempat melakukan reka adegan peristiwa itu di tempat kejadian perkara (TKP) ruang kelas SD negeri Baito, dihadiri dua saksi, korban, para guru dan kepala sekolah.
Sanaali menyaksikan reka adegan saat guru Supriani melakukan dugaan pemukulan yang diperagakan oleh penyidik. “Penyidik turun di TKP dia yang peragakan cara memukulnya,” kata Sanaali.
Saat itu penyidik memperagakan pemukulan yang dilakukan Supriani terhadap MCD di dekat lamari kelas. Namun, saat setengah mengayun tangkai sapu, tangan penyidik sudah terbentur di lemari.
“Baru setengah mengayun sudah terbentur di lemari. Gagang sapu tidak sampai ke paha siswa ini. Maksudnya, (berdasarkan reka adegan) tidak terjadi pemukulan sekeras itu.” bebernya.
Dua saksi siswi juga memberi pengakuan berbeda. Saksi pertama bilang kejadian itu di meja korban. Sebaliknya, saksi kedua menunjuk tempat lain, yakni meja di paling depan.
“Jadi saksi kedua menunjuk tempat lain di depan, bukan meja korban. Artinya antara saksi sudah saling bertentangan. Itu saya saksikan, guru kelas juga menyaksikan,” jelasnya.
Kepala sekolah ini juga melihat foto luka yang beredar luas merupakan luka lama dan bukan luka dipukul sapu, karena melepuh seperti terbakar.
“Pokoknya orang-orang yang melihat foto itu tidak ada yang masuk akal kalau itu luka pukulan, tidak ada. Itu melepuh kayak luka bakar, kayak gigitan serangga,” ujarnya.
Kuasa Hukum Guru SD Baito, Syamsuddin menduga ada kejanggalan dalam kasus ini. Salah satunya, keterangan dua saksi anak diajukan Polsek Baito berbeda dengan siswa yang lain.
Menurut Syamsuddin, banyak siswa yang lain di dalam kelas, namun tak melihat kejadian itu. “Anak sekolah (siswa) yang lain ditanya kalau ada kejadian itu, katanya tidak ada, mereka tidak lihat,” tegas Syamsuddin.
Selain itu, sapu ijuk disita polisi dianggap barang bukti yang tidak sah karena tak membawa surat penetapan dari PN Andoolo. Bahkan, sapu ijuk itu bukan diambil oleh penyidik, melainkan ayah korban Aipda Wibowo Hasyim.
“Pada saat itu sudah ganti penyidik. Jadi yang ambil barang bukti itu bukan penyidik, tapi orangtua korban sendiri (Aipda Wibowo Hasyim. Makanya kami merasa aneh perkara ini,” tegasnya.
Tak hanya itu, kuasa hukum dari LBH HAMI Konawe Selatan ini juga meragukan luka di tubuh MCD jika dianiaya menggunakan sapu ijuk. Sebab, luka yang ditimbulkan sangat parah, melepuh seperti luka lama.
Selain itu luka yang muncul juga tidak teratur, ada titik besar di beberapa bagian, dan luka panjang yang tidak rata. Sementara permukaan gagang sapu ijuk rata.
Pengakuan korban kepada ibunya luka itu akibat jatuh di sawah bersama ayahnya. Diakui pada Kamis, 25 April 2024. Sehari kemudian, pengakuan korban berubah saat ditanya ayahnya Aipda Wibowo Hasyim.
“Pertanyaannya pada 24 April (orangtuanya) tidak melihat lukanya. Tapi pengakuan korban pernah jatuh di sawah dengan ayahnya, jauh (hari) sebelumnya,” jelas Syamsuddin.
Syamsuddin mengaku penuh keraguan melihat foto luka korban MCD. Namun tak bisa memastikan waktu pengambilan foto tersebut. “Dari hasil foto itu kami meragukan barang bukti itu. Makanya kami lihat ada sedikit kejanggalan,” tegasnya.
Kasatreskrim Polres Konawe Selatan, AKP Nyoman Gede Arya Triadi Putra, menjelaskan, pihaknya menetapkan Supriani sebagai tersangka karena telah mengantongi 2 alat bukti yang cukup.
Dua siswa tidak berstatus alat bukti saksi, melainkan sebagai petunjuk. Ditambah alat bukti surati visum et repertum bekas luka korban. Dua alat bukti ini diyakini penyidik bahwa Supriani melakukan tindakan kekerasan terhadap anak.
“Minim saksi yang melihat langsung kejadian ini karena peristiwa terjadi di dalam kelas (1A) yang jam belajar kosong. Sehingga saksi hanya bersifat petunjuk. (Alat bukti kedua) surat visum,” kata AKP Nyoman.
Nyoman mengatakan, tersangka Supriani masuk ke kelas korban ketika gurunya pulang karena akan mengantar suaminya kontrol kesehatan. Para siswa pun diberikan tugas.
“(Saat) Kekosongan pengajar (guru) anak-anak ribut. Terlapor (mengajar) dari kelas sebelah (1B) langsung datang dan menghampiri korban,” jelasnya.
Nyoman mengakui, sebenarnya banyak siswa yang melihat kejadian tersebut. Namun hanya 2 siswa yang bersedia menjadi saksi.
“Banyak yang melihat namun tidak mau menjadi saksi dan ortunya tidak mau mendampingi. Mungkin krn takut di-presur (ditekan)/apa,” katanya. Namun Nyoman enggan menyebut ditekan oleh siapa.
Nyoman juga mengklarifikasi terkait surat persetujuan penyitaan dari PN Andoolo. Ia menunjukkan foto surat persetujuan penyitaan itu yang ditandatangani Waka PN Andoolo, Nursinah.
Namun, kuasa hukum Supriani Samsuddin menyebut, surat penetapan pengadilan itu baru dibuat. Karena saat pengambilan barang bukti oleh Aipda Wibowo Hasyim dilihat oleh saksi-saksi yang lain.
“Itu baru dibuat. Kami punya saksi yang melihat itu nanti kami hadirkan di persidangan,” jelasnya.
Supriani akan menjalani sidang perdana pada 24 Oktober 2024 di Pengadilan Negeri Andoolo. Sebelumnya, Supriani ditetapkan sebagai tersangka pada 10 Juli 2024. Lima hari berikutnya diperiksa namun tidak ditahan.
Selanjutnya tahap p-21 atau berkas perkara dinyatakan lengkap oleh Kejari Konawe Selatan pada 29 September 2024. Tahap dua atau penyerahan tersangka barang bukti ke JPU sekaligus dilakukan penahanan pada 16 Oktober 2024.
Editor: Fadli Aksar