MATALOKAL.COM, KENDARI – Pemilihan panelis debat kandidat Calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang dilakukan KPU Sulawesi Tenggara menuai kritik. Pasalnya, panelis debat didominasi akademisi tanpa melibatkan praktisi dan masyarakat sipil.
Kritik itu datang dari Direktur Pusat Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (Puspa HAM) Sulawesi Tenggara, Kisran Makati. Kisran mempersoalkan keputusan KPU Sultra tersebut.
“Langkah ini tidak hanya problematik, tapi juga kurang bijak, karena jelas mengabaikan persoalan nyata yang dihadapi masyarakat setiap hari. KPU tolong ingat, ini debat politik, bukan kuliah umum di ruang kelas,” tegas Kisran.
Menurut eks Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sultra ini, debat politik adalah momen penting untuk menguji para calon pemimpin dalam menghadapi realitas kehidupan rakyat, bukan soal teori atau retorika ilmiah yang kompleks.
Kisran menyebut, panelis debat yang didominasi kalangan akademisi ini membuat debat terasa lebih seperti seminar kampus dan kurang relevan masalah di masyarakat.
“Apakah relevan dengan kehidupan kita yang setiap hari berhadapan dengan masalah-masalah seperti kerusakan lingkungan, konflik agraria, korupsi, narkoba, banjir musiman, serta lonjakan harga kebutuhan pokok?,” tanya Kisran.
Kisran bilang, masalah hak asasi manusia, keadilan lingkungan, kesehatan publik, hingga kesetaraan gender sering kali kurang mendapat perhatian dalam ranah akademik yang penuh angka dan statistik.
Namun faktanya, isu-isu ini dihadapi langsung masyarakat. Sehingga, ketika KPU Sultra hanya mengundang akademisi sebagai panelis, suara petani, nelayan, buruh, dan masyarakat akar rumput tidak didengar.
Padahal, mantan panelis Pilgub Sultra 2018 ini, debat politik seharusnya mencerminkan beragam perspektif dari berbagai kalangan termasuk mereka yang terjun langsung mengadvokasi hak-hak rakyat.
Dengan langkah ini, lanjut Kisran, KPU Sultra justru mempersempit ruang partisipasi masyarakat dalam debat yang seharusnya inklusif.
“KPU Sultra seolah menutup telinga terhadap persoalan riil yang dialami rakyat. Keputusan ini mengirimkan pesan bahwa hanya pandangan akademisi yang layak didengar,” ujar Kisran.
Di samping itu, Kisran meragukan netralitas para akademisi, termasuk panelis debat. Menurutnya, banyak akademisi memiliki kepentingan, bias, dan preferensi politik.
Kisran lantas mempertanyakan objektivitas para akademisi dalam merumuskan materi debat kandidat Cagub-Cawagub Sultra yang digelar perdana di Kota Baubau, pada Sabtu, 19 Oktober 2024.
“Jika hanya mereka (akademisi) yang diizinkan bertanya, bagaimana kita bisa menjamin objektivitas? Alih-alih memperkaya diskusi, debat malah bisa dipenuhi jargon ilmiah yang tidak semua orang pahami,” katanya.
Bagi Kisran, Pemilu adalah tentang masa depan rakyat, bukan sekadar adu teori atau pamer data yang rumit.
Jika KPU Sultra benar-benar peduli pada demokrasi yang inklusif dan relevan, tutur Kisran, mereka harus melibatkan panelis dari berbagai lapisan masyarakat yang merepresentasikan keragaman Indonesia.
“Suara rakyatlah yang harus didengar, bukan hanya suara dari menara gading akademisi. Untuk debat-debat selanjutnya, pertimbangkan evaluasi panelis, agar benar-benar mewakili kepentingan rakyat dan menggali isu-isu yang nyata di lapangan, bukan sekadar teori,” tandasnya.
Ketua KPU Sultra, Asril belum menanggapi terkait panelis tersebut. Dirinya masih meminta waktu untuk diwawancarai. “Tunggu ya, sebentar,” kata Asril lewat telepon seluler, pada Jumat, 18 Oktober 2024.
KPU Sultra menetapkan 7 panelis debat publik Cagub-Cawagub Sultra. Ketujuh panelis itu yakni Rektor Universitas Halu Oleo (UHO) Prof Muhammad Zamrun, pakar Filologi UHO Prof La Niampe, Prof Buyung Sarita pakar Institusi Keuangan UHO.
Selanjutnya, Pakar Gender dan Kesehatan Reproduksi Perlindungan Perempuan dan Anak UHO Prof Sartian. Pakar Manajemen Pendidikan IAIN Kendari Abdul Kadir, Hukum SDA Sahrina Saifudin, serta Pakar Sosiologi Pembangunan Desa IPB Sofyan Sjaf.
Editor: Fadli Aksar