160 x 600 AD PLACEMENT
160 x 600 AD PLACEMENT

Cerita di Belakang Vonis Lepas Dua Warga Torobulu

Haslilin (32) warga Desa Torobulu, Kecamatan Laeya tak kuasa menahan tangis lantaran terharu usai divonis lepas majelis hakim Pengadilan Negeri Andoolo, Selasa, 1 Oktober 2024. (Foto: La Ode Muhlas)

MATALOKAL.COM, KONSEL – Air mata Haslilin (31) dan Andi Firmansyah (42) bercucuran luruh tatkala majelis hakim Pengadilan Negeri Andoolo memvonis keduanya lepas dari dakwaan merintangi operasi penambangan PT Wijaya Inti Nusantara (WIN).

Perusahaan ini mengeruk ore nikel di kawasan permukiman. Hakim membacakan amar putusan di sidang Selasa pekan ini.

Kedua warga Desa Torobulu, Kecamatan Laeya, Konawe Selatan diputus tak bersalah atas dakwaan melanggar ketentuan Pasal 162 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dengan tuntutan hukuman 8 bulan penjara.

“menyatakan terdakwa Haslilin binti Laode Ndailesa alias Wa Lili tersebut di atas terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan tetapi bukan merupakan tindak pidana. Melepaskan terdakwa oleh karena itu dari segala tuntutan hukum,” ucap ketua majelis hakim, Nursinah, disusul bunyi satu ketukan palu.

Seorang ibu rumah tangga dan pekerja bengkel itu menjalani serangkaian proses hukum nyaris setahun lamanya semenjak dipolisikan bersama warga lain karena menghentikan penambangan PT WIN kala beraktivitas di bawah tower pemancar jaringan berjarak kurang 100 meter dari jalan umum.

Putusan hakim setidaknya mereduksi setumpuk ratapan derita Haslilin selama gigih menentang operasi penambangan hingga nyaris menjebloskannya ke dalam kerangkeng besi bui.

Kesibukan menghadapi perkara hukum merampas waktu Haslilin mendagangkan bahan kebutuhan sembako, nomaden dari pasar ke pasar. Usaha rutinitasnya mengais pundi-pundi rupiah mandek.

Begitu pun suaminya sukar buat mengakses pekerjaan bila diketahui kepala rumah tangga Haslilin. Tak ayal kondisi keuangan mereka makin terperosok seiring hirapnya tumpuan ekonomi. Terpaksa dengan berat hati dia mengandalkan pemenuhan isi perut keluarga dari perasan peluh orang tuanya.

Andi Firmansyah dan Haslilin dua warga Torobulu divonis bebas oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Andoolo). (Foto: Fadli Aksar)

Selain turut berperan memapah kebutuhan rumah tangga, Haslilin memikul tanggung jawab mengasuh tiga anak laki-lakinya. Dua antara lain menduduki bangku sekolah dasar. Sedang anak bontotnya masih berusia balita.

Saya menemui Haslilin sesudah berada di luar ruang sidang hendak beranjak meninggalkan pengadilan. Matanya kuyup memandang sayu. Dia menyampaikan terima kasih bagi seluruh pihak yang menyumbang kesadaran moril mendukungnya selama menjalani proses hukum.“

Alhamdulillah saya senang dengan putusannya bu hakim. Dan satu yang saya ucapkan terima kasih kepada yang dampingi saya,” dia sejenak menghentikan bicara mengambil jeda meluapkan tangisannya.

“Dari awal saya berjuang, yang dampingi saya kasih kekuatan supaya tabah hadapi semua kasus ini,” terusnya menangis tersedu-sedu dengan kepala tertunduk.

Haslilin tak pernah menyangka upaya menentang kejahatan tambang bakal menyeretnya ke meja hukum. Dia mengira tindakan membela lingkungan adalah haknya yang diproteksi ketentuan Undang-undang.

Benaknya terpantik mengambil peran menolak tambang didorong serentetan dampak kerusakan lingkungan akibat ambisi pengerukan bijih nikel mengabaikan kelayakan ruang hidup dan merampas sumber-sumber penghidupan, bahkan menimbulkan sejumlah penyakit.

Di sela aktivitas melawan tambang, dia harus menyisihkan waktu merawat anak bungsunya selepas didiagnosa dokter mengidap penyakit paru-paru. Mulanya anaknya mengalami gejala batuk-batuk dan sesak napas. Kondisi ini terjadi menyusul serakan debu penambangan kerap menyusupi rumahnya.

Anaknya ketika itu sedang masa menyusui naik meja operasi untuk dilakukan tindakan sedot cairan berwarna biru menumpuki paru-paru. Supaya memulihkan kondisi, anaknya mesti menjalani pengobatan kurun waktu 6 bulan.

“Sampai kasihan saya menyusui itu lewat selang langsung ke lambung,” kenangnya seperti diungkapkan dalam film dokumenter Watchdoc ‘Jeruji Nikel.’

Tak hanya debu menyelimuti kawasan permukiman, imbas operasi PT WIN merusak dua sumber mata air yang menghidupi ribuan penduduk di Desa Torobulu. Salah satunya curug yang dikelilingi rimbunan pohon menjadi sasaran pengerukan hingga tertutup timbunan tanah bekas galian.

Perusahaan juga mengeruk lahan berjarak hanya sepelemparan batu dengan bangunan sekolah dasar. Siswa terganggu dibaluti rasa takut mengikuti proses pembelajaran lantaran alat berat yang bekerja memicu kebisingan ditambah debu berhamburan mengotori ruang kelas.

Aksi Haslilin dan Andi Firmansyah bersama warga lain hari itu merupakan klimaks kemarahan mereka sesudah beberapa kali melayangkan komplain meminta perusahaan menunjukan hasil kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL). Warga khawatir eksploitasi penambangan kian mendekati areal tempat tinggal hingga merusak sumber penghidupan.

Sebelumnya, warga berulang kali menemui pihak PT WIN menuntut diperlihatkan dokumen Amdal. Tapi begitu, perusahaan tidak pernah memenuhi permintaan warga dengan dalih Amdal menjadi informasi tertutup.

Seiring gencarnya warga memprotes, pemerintah kecamatan meminta perusahaan sementara menahan diri tidak beroperasi. Namun, pada 6 November 2023, eksavator PT WIN sekonyong-konyong kembali melakukan pengerukan tanpa memberitahu warga.

Tindakan perusahaan menyulut reaksi puluhan warga termasuk Haslilin dan Andi Firmansyah. Berbalut perasaan geram mereka mendatangi keberadaan alat berat beroda besi untuk meminta supaya menyetop kegiatannya sambil membawa spanduk bertuliskan, “hentikan penambangan di pemukiman. Mari menjaga Torobulu yang tersisa.”

Haslilin menaiki alat berat hendak membuka pintu, namun ditahan operator yang berada di dalam. Dia lantas memukul kaca pintu kendaraan simultan berteriak, “kau tidak mau berhentikah?” kemudian turun dan menyeru warga lain maju menghentikan eksavator Caterpillar 330 GC tersebut.

Saat operator sedang ingin memarkirkan alat berat, Firmansyah mengambil segumpal tanah terus melemparkan ke arah eksavator lalu melambaikan tangan mengisyarat agar menjauh dari lokasi penambangan.

Aksi protes dibalas PT WIN dengan melaporkan warga ke Polda Sulawesi Tenggara atas tuduhan menghalang-halangi aktivitas penambangan. Awal Januari 2024, sebanyak 32 warga menjalani pemeriksaan sebagai saksi. Setelah beberapa kali diperiksa, pada 5 Maret 2024 penyidik resmi menetapkan Haslilin dan Andi Firmansyah menjadi tersangka.

Keputusan polisi dipandang upaya mengkriminalisasi warga pembela lingkungannya, alhasil memantik gelombang protes lintas kalangan terutama asal pegiat lingkungan. Massa tergabung dalam Aliansi Peduli Lingkungan Hidup dan HAM saling merangkul merajut soliditas perlawanan di antaranya lewat aksi unjuk rasa.

Menuju penghujung Juni 2024, Polda Sulawesi Tenggara melimpahkan berkas dan barang bukti tersangka ke Kejaksaan Tinggi yang kemudian menyeret Haslilin dan Andi Firmansyah menduduki kursi Pengadilan Negeri Andoolo.

Status hukum Haslilin mendapat stigma buruk di lingkungan sekitarnya. Anak sulungnya kerap dicemooh orang-orang. Dia dan ketiga anaknya tidak mudah berbaur di tengah masyarakat. Dianggap asing bahkan kerabat dekat termasuk mertuanya sendiri.

Suatu waktu anaknya bertanya menyangkut masalah yang menimpanya. “mama kenapakah? kenapa orang bilang mama mau dipenjara?” Haslilin kelimpungan memilih padanan kata untuk memberitahu anaknya agar mengerti tentang kondisinya.

Mental si sulung dengan usia baru sedekade tak cukup kuat menampung cercaan orang-orang nyaris tiap hari. Puncaknya ia memilih ogah bersekolah. Akhirnya Haslilin memindahkan anaknya ke sekolah di desa tetangga berjarak kurang lebih 2 kilometer dari rumah demi menjaga keberlangsungan pendidikannya.

“Dua minggu setelah pindah dia tidak mau pulang di rumah. Di rumahnya bapakku terus. Dia nyaman di sana,” kata Haslilin dengan raut wajah serius.

Haslilin mengerahkan segala daya upaya demi menyekolahkan anak-anaknya lantaran tidak ingin mereka menyamai dirinya yang hanya mengenyam pendidikan sekolah dasar. Dia mendambakan anak-anaknya bisa menjangkau tingkat pendidikan lebih layak.

Dalam menghadapi proses hukum Haslilin dan Andi Firmansyah didukung Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Tenggara menggandeng Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar untuk memberikan pendampingan hukum.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut keduanya hukuman delapan bulan penjara. Tuntutan ini didasari antara lain bukti kepemilikan lahan konsesi PT WIN yang menjadi lokasi konflik antara perusahaan dan warga.

Bukti demikian didukung oleh keterangan keduanya yang meminta operator alat berat menghentikan aktivitasnya. Tindakan tersebut mendasari dakwaan mengganggu operasi perusahaan yang diklaim menimbulkan kerugian sebesar Rp5 miliar.

Namun begitu, perusahaan tidak memenuhi permintaan majelis hakim untuk menunjukan dokumen Amdal sebagaimana syarat legalitas operasi penambangan. Hakim pun mengingatkan PT WIN agar menghadirkan dokumen Amdal di meja sidang.

Amdal adalah dasar penerbitan izin lingkungan untuk mencegah dampak kerusakan lingkungan hidup. Dokumen kajian Amdal jadi prasyarat melakukan penambangan. Di antara syarat yang harus terpenuhi dalam menyusun dokumen Amdal, yakni melibatkan partisipasi masyarakat.

Pakar hukum lingkungan, guru besar R. Andri Gunawan Wibisana, saksi ahli di persidangan menyebut, pelibatan peran masyarakat dalam penyusunan Amdal merupakan suatu kewajiban hukum. Apabila norma ini dilanggar, maka dapat membatalkan izin lingkungan yang telah diterbitkan.

Menurut Andri, keterlibatan masyarakat dalam penyusunan Amdal mencakup keterlibatan penyusunan, penilaian, sampai pengoreksian sebelum berubah menjadi izin lingkungan.

Warga mengaku selama PT WIN mengeksploitasi sumber daya mineral nikel di tempatnya tidak pernah memenuhi kewajiban memberi sosialisasi terkait Amdal. Warga merasakan keberadaan perusahaan merampas pemenuhan hak-hak terutama menyangkut ruang hidup dan sumber penghidupan mereka.

Walhi Sulawesi Tenggara menemukan aktivitas PT WIN yang berjalan sejak 2017, telah merusak sungai dan mengakibatkan sumber mata air warga mengalami kekeringan. Adapun air mengalir bercampur endapan lumpur kuning kecokelatan sehingga tak layak dikonsumsi. Demi tetap memenuhi kebutuhan air bersih warga membeli air tandon seharga Rp70 ribu per tandon.

Operasi penambangan juga diduga menggusur kawasan hutan mangrove yang menjadi ruang hidup kerang laut sumber protein warga. Hilangnya hutan mangrove juga mengancam perkampungan pesisir di Desa Torobulu dari gelombang besar dan abrasi.

Selain itu, lumpur limbah bekas galian tambang mencemari laut wilayah tangkap-sumber nelayan mendulang nafkah. Kondisi ini memaksa para nelayan mesti melaut lebih jauh dengan merogoh kocek tidak sedikit.

Masifnya pengerukan nikel berimbas pada usaha melaut tak bisa lagi diandalkan menopang kelangsungan hidup. Pengeluaran biaya ongkos melaut tak sebanding hasil tangkapan. Akhirnya sebagian nelayan terpaksa menjual perahunya dan beralih profesi.

Cemaran limbah tambang merusak pula usaha tambak warga. Komoditas hewan laut seperti ikan dan udang yang dibudidaya di dalam air berwarna kuning kecokelatan tak sanggup berkembang biak. Warga kerap mengalami gagal panen. Menurunnya produktivitas usaha memaksa pemilik menutup tambaknya demi menghindari kerugian berkepanjangan.

Warga kian resah sebab hasrat penambangan PT WIN semakin serampangan menyasar kawasan permukiman dan mendatangkan banyak kerusakan lingkungan. Mereka protes tapi malah terperangkap dalam jeratan perkara pidana.

Menurut Andri Gunawan, keterlibatan peran masyarakat menjaga kondisi lingkungannya dilindungi beberapa ketentuan hukum antara lain, Pedoman Kejaksaan Nomor 8 Tahun 2022 tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ketentuan serupa termuat dalam Perma Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup.

Andri menerangkan, ketentuan perlindungan pejuang lingkungan dalam hukum di Indonesia dikenal dengan konsep ANTI-SLAPP (Strategic Lawsult Againts Public Partisipation) di mana partisipasi masyarakat melindungi kelayakan lingkungan tidak dapat dituntut baik secara pidana maupun perdata.

Beleid yang mengatur tentang penanganan perkara lingkungan tersebut mendasari pertimbangan hakim memutus keduanya lepas dari segala tuntutan hukum.

Hakim memandang tindakan Haslilin dan Andi Firmansyah bukan dilatari atas kepentingan persaingan bisnis atau hendak meraup keuntungan ekonomi pribadi. Melainkan didorong alasan ingin menjaga lingkungannya dari segala bentuk pengrusakan.

Putusan majelis hakim disambut riuh isak tangis warga yang berduyun-duyun datang menyaksikan persidangan. Warga beserta sanak kerabat silih berganti memeluk keduanya.

Sesaat berada di luar ruang sidang, tubuh Haslilin melesu sampai roboh tak sadarkan diri. Suaminya sigap mengangkat lantas memangku berbaring di sebuah kursi panjang. Sang suami bertutur menguatkan sembari menyeka air mata bercampur keringat yang membasahi wajah Haslilin.

Tidak lebih setengah jam kesadaran Haslilin kembali pulih. Dia bangkit melangkah meninggalkan area ruang sidang. Napasnya bisa berhembus lega. Fakta hukum persidangan telah meluaskan jalan untuk menata ulang hidup keluarganya yang sekian lama berantakan.

Reporter: La Ode Muhlas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like