MATALOKAL.COM, KENDARI – Aparat Polsek Poasia dianggap lamban menangkap terduga pelaku pencabulan bernama Tata terhadap gadis disabilitas di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara, meski sudah hampir sebulan dipolisikan.
Padahal penyidik Reskrim Polsek Poasia sudah mengetahui lokasi pasti keberadaan terduga pelaku ini. Polisi bahkan telah menyusun rencana penangkapan terhadap pelaku. Namun, hingga kini, upaya itu tak kunjung dilakukan.
Korban ditemani orangtuanya telah melaporkan kejadian yang dialaminya Polsek Poasia, pada 18 Juli 2024 lalu. Polisi juga telah 2 kali memeriksa korban dan sejumlah saksi.
“Penyidik sudah berjanji akan segera menangkap pelaku, tapi sampai sekarang pelaku belum ditangkap,” ujar Nono, salah satu keluarga korban kepada matalokal.com, Senin, 12 Agustus 2024.
Menurut Nono, korban dua kali mengalami kekerasan seksual yang dilakukan Tata. Pertama kali dilakukan di sekitar Jembatan Kuning Bungkutoko.
Awalnya pelaku mengajak korban makan siomay. Meski sempat menolak, korban terpaksa mengikuti ajakan pelaku lantaran diancam akan dianiaya.
“Katanya, jangan kamu pulang, nanti saya pukul kamu, kamu ikuti dulu saya. Ternyata, setelah makan siomay korban dipaksa, dibawa ke suatu tempat dan dicabuli,” jelasnya.
Tak sampai di situ, pelaku kembali mengulangi perbuatannya beberapa hari kemudian. Pelaku bertemu korban saat berada di rumah keluarganya.
Saat korban melintas, pelaku langsung menarik tangan dan membawanya ke dalam toilet masjid. Korban berontak, namun pelaku mengancam akan membunuhnya jika menolak.
“Kami tidak terima karena pelaku ini mengancam korban yang punya keterbelakangan mental. Bayangkan setelah kejadian malam itu dia (korban) biasa-biasa saja, menyanyi-menyanyi di kamar,” urainya.
Kepala Divisi Hak Perempuan, Anak dan Disabilitas LBH Makassar, Mira Amin menilai polisi sangat lamban menangkap dan menahan pelaku kekerasan seksual terhadap korban disabilitas.
“Sudah sepatutnya dilakukan pembatasan ruang gerak terhadap tersangka, sebagaimana diamanatkan juga dalam UU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual),” ujar Mira Amin via WhatsApp, pada Selasa, 13 Agustus 2024.
Menurut Mira, dalam kasus kekerasan seksual yang melibatkan korban dengan disabilitas, membutuhkan percepatan proses hukum oleh aparat kepolisian, mengingat terduga pelaku sudah ditetapkan sebagai tersangka.
Mira menjabarkan, dalam Pasal 6 huruf c UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang TPKS dijelaskan bahwa setiap orang yang menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan, atau perbawa yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan atau memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan atau ketergantungan seseorang;
Memaksa atau dengan penyesatan menggerakkan orang itu untuk melakukan atau membiarkan dilakukan persetubuhan atau perbuatan cabul dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 300 juta.
Lebih lanjut ditegaskan dalam Pasal 15 huruf h, ancaman pidana akan ditambah 1/3 jika dilakukan terhadap penyandang disabilitas.
“Dengan mengacu pada ancaman pasal diatas, sudah sepatutnya penyidik melakukan penahanan terhadap terduga pelaku,” terangnya.
Selain itu, Mira bilang, dalam proses penyidikan, penyidik bertanggungjawab atas ruang aman korban. “Dalam setiap pemberian keterangan, korban wajib didampingi, baik oleh keluarga maupun pendamping disabilitas,” tegasnya.
Sementara itu, Kapolsek Poasia, AKP Jumiran mengakui, pihaknya belum bisa menangkap terduga pelaku bernama Tata yang kini telah ditetapkan sebagai tersangka.
“Masih dalam pencarian. Itu hari saya dapat info begitu (di Laonti) tapi setelah dilakukan pencarian di Laonti ternyata, nihil berarti sudah bergeser,” tandasnya.
Editor: Fadli Aksar