
MATALOKAL.COM, – Tanjung Pinang adalah salah satu desa yang terletak di Kecamatan Kusambi, Kabupaten Muna Barat, sebagian penduduknya mayoritas Suku Bajau. Mayoritas masyarakat di desa ini mengandalkan hasil laut sebagai mata pencaharian mereka.
Potensi laut yang dimiliki Desa Tanjung Pinang lebih besar dibandingkan potensi lainnya seperti hasil perkebunan, jambu mete, mangga, kelapa dan jagung. Desa Tanjung Pinang juga mempunyai akses jalur ekonomi yang mendukung karena berada pada akses jalan kabupaten.
Masyarakat di desa ini lebih banyak berprofesi sebagai nelayan pancing, nelayan bagan dan penangkap kepiting bangkau. Jumlah mangrove pun bisa di bilang memiliki kerapatan yang tinggi di desa ini sekitar 800-2600 ind/ha untuk jenis mangrove Rhyzophora Mucronata dan Soneratia alba (Riska Nur Amalia, et. al 2022).
Sebagian besar masyarakat menggunakan mangrove sebagai kayu bakar dan bahan bangunan untuk rumah.
Tidak hanya memiliki banyak hutan mangrove, desa ini juga menjadi area untuk pengambilan bibit mangrove karena banyaknya propagus yang berjatuhan sehingga bibit mangrove yang tersedia juga begitu melimpah.
Selain karena banyaknya progagus, akses untuk pengambilan bibit pun tidak jauh dari pemukiman masyarakat setempat.
Hutan mangrove sendiri sudah menjadi daya tarik wisata bagi wisatawan yang hendak berkunjung ke desa ini, namun belum adanya pengelolaan mangrove yang efektif sehingga menyebabkan masyarakat di Desa Tanjung Pinang ini belum memahami terkait manfaat dan fungsi mangrove secara sosial dan ekonomi untuk keberlanjutan hidup kedepannya.
Selain hutan mangrove, desa ini juga menyajikan keindahan alam untuk menyaksikan terbenamnya matahari di kala sore hari, yang letaknya langsung menghadap rimbunan mangrove.
Tak hanya Desa Tanjung Pinang, namun Desa Kamosope, Kecamatan Pasir Putih Kabupaten Muna pun memiliki hutan mangrove. Desa ini sendiri memiliki fasilitas umum seperti kantor desa, sekolah tingkatan tamat kanak-kanak (TK) dan puskesmas, sementara untuk ke Sekolah Dasar (SD) harus menempuh jarak kurang lebih 1 km.
Begitu pula dengan SMP dan SMA masyarakat desa harus menempuh jarak kurang lebih 7 km. Walaupun harus berjalan kaki maupun naik kendaraan untuk bisa bersekolah, semangat masyarakat desa Kamosope untuk melanjutkan pendidikan sangatlah tinggi.
Desa Kamosope sendiri memiliki tradisi dalam menurunkan perahu yang baru pertama kali akan digunakan, dengan cara membacakan doa sekaligus membuat haroa (makanan) seperti cucur, kue baruasa, pisang goreng.
Setelah imam membaca doa, masyarakat berlomba-lomba untuk mengambil makanan tersebut dan kemudian perahu di turunkan ke laut. Dengan adanya tradisi baca doa ini harapannya perahu yang digunakan bisa mendapatkan hasil yang berlimpah.
Masyarakat Desa Kamosope sendiri sebagian besar berprofesi sebagai nelayan, petani dan ada juga yang merantau untuk mencari nafkah buat keluarga mereka. Mangrove di desa inipun cukup lebat.
Namun, banyak mangrove digunakan oleh masyarakat setempat untuk dijadikan sebagai kayu bakar, bangunan rumah dan juga untuk kandang ternak. Jenis mangrove yang banyak di jumpai di Desa Kamosope adalah Soneratia Alba, Rhizopora sp, Nipa-Nipa dan sebagainya.
Area mangrove di desa ini memiliki spot tersendiri dan tidak berada di tengah-tengah pemukiman masyarakat. Untuk menuju ke area mangrove bisa di tempuh dengan berjalan kaki sekitar 5 menit dari area permukiman masyarakat.
Mangrove di Desa Kamosope masih begitu padat pada tahun 2010, namun seiring berjalannya waktu, dan memanfaatkan mangrove sebagai kayu bakar yang dilakukan oleh masyarakat setempat, hutan mangrove di desa ini bisa dibilang sudah mulai tidak padat lagi seperti dulu.
“Jika dibandingkan jaman dahulu, dengan adanya penebangan hutan mangrove di desa kami menyebabkan terjadinya abrasi pantai yang mengakibatkan pasang air laut sudah masuk ke kebun masyarakat,” ujar La Ode Randi, salah satu pemuda desa.
Pengelolaan mangrove secara berkelanjutan di desa bisa dibilang masih jauh dari kata cukup, walaupun pernah diadakan kegiatan penanaman yang dilakukan oleh instansi terkait dari pusat.
Salah satu penyebab kurangnya pengelolaan mangrove adalah belum pernah dilakukan sosialisasi oleh instansi terkait untuk memberikan penyadartahuan terkait manfaat dan fungsi mangrove itu sendiri.
“Seiring perkembangan jaman, masyarakat mulai beralih menggunakan kompor gas dan kompor minyak tanah untuk memasak makanan sehari-hari, sehingga hal ini dapat mengurangi penggunaan mangrove sebagai kayu bakar oleh masyarakat setempat. Tetapi jika ada acara hajatan, masyarakat masih menggunakan mangrove sebagai kayu bakar,” ujar La Ode Randi.
La Ode Randi berharap, mangrove di Desa Kamosope perlu dilakukan rehabilitasi kembali agar tetap terjaga dan lestari. Selain itu, sosialisasi terkait pengelolaan ekosistem pesisir khususnya mangrove juga begitu penting untuk dilakukan kepada masyarakat setempat agar masyarakat dapat mengetahui bagaimana cara melestarikan dan menjaga mangrove.
Dengan begitu mangrove bisa dijadikan sebagai destinasi ekowisata bahari yang bisa memberikan manfaat kepada masyarakat setempat baik dari sisi ekonomi, sosial maupun ekologi.
La Ode Randi sendiri mulai peduli terhadap mangrove sejak ia memasuki bangku perkuliahan dan bergabung dalam organisasi internal kampus, yang membuatnya aktif melakukan penanaman mangrove.
“Berangkat dari hal itulah saya mulai peduli terhadap mangrove di kampung saya. Selain saya, beberapa pemuda di kampung juga mulai peduli dengan kondisi mangrove yang sudah berkurang sedikit demi sedikit,” ujarnya.
Kekhawatiran terhadap dampak negatif dari penebangan mangrove yang menyebabkan kondisi desa mulai mengalami abrasi pantai, membuat La Ode Randi dan pemuda lainnya berkeinginan untuk melakukan rehabilitasi mangrove dan melakukan sosialisasi kepada masyarakat setempat terkait manfaat dan fungsi mangrove, dan secara umum menyelamatkan pesisir desa mereka dari abrasi.(***)
Penulis: Sasi