
MATALOKAL.COM, KENDARI – Peran eks Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Ali Mazi dalam dugaan korupsi tambang PT Antam di Blok Mandiodo, Konawe Utara (Konut) perlahan mulai terungkap.
Teranyar, Ali Mazi kembali disebut dalam sidang lanjutan perkara dugaan korupsi tambang PT Antam di Pengadilan Negeri (PN) Tipikor Kendari, beberapa waktu lalu.
Sidang saat itu menghadirkan seorang saksi mantan Direktur Operasi dan Transformasi Bisnis PT Antam 2021, Risono. Risono sendiri bersaksi untuk terdakwa General Manager PT Antam Hendra Wijayanto.
Nama Ali Mazi muncul ketika hakim Arya Putra Negara Kutawaringin mencecar Risono terkait adanya perjanjian rahasia antara PT Antam dengan PT Lawu Agung Mining (LAM).
Saksi lantas buka-bukaan dan mengatakan, terdakwa Penanggung Jawab Lapangan PT LAM, Glen Ario Sudarto merupakan orang ‘titipan’ Gubernur Sultra. “Glen orangnya gubernur (Ali Mazi),” ungkap Risono.
Pernyataan itu diungkapkan kala Risono ditugaskan oleh Mantan Direktur Utama PT Antam Dana Amin untuk bertemu Glen. Namun, Risono tak mengenal sosok Glen Ario Sudarto.
Pertemuan untuk membahas kerjasama kerahasiaan itu setelah PT LAM, melalui Direkturnya Ofan Sofwan menyurati PT Antam pada 5 Mei 2021 lalu. Dana Amin lantas memerintahkan Risono untuk bertemu Glen.
Hakim Arya Putra Negara Kutawaringin pun mempertanyakan tindakan Risono yang mau bertemu dengan terdakwa Glen, padahal bukan Direktur PT LAM.
“Saudara ketemunya bukan dengan direktur, tapi bisa ketemu dengan Glen,” tanya hakim Arya. “Itu dari dirut (Direktur Utama PT Antam),” jawab Risono spontan.
Merespon jawaban itu, hakim Arya Putra malah memperdalam pertanyaan kepada Risono. Pasalnya, dalam surat yang diajukan PT LAM, tidak ada petunjuk, baik nomor telepon maupun identitas Glen.
Namun, Dana Amin getol meminta Risono untuk bertemu Glen Ario Sudarto. Kata hakim Arya, Risono seharusnya mempertanyakan kenapa harus bertemu dengan Glen, padahal yang bersurat adalah Direktur PT Antam Ofan Sofwan.
“Glen itu siapa. Katanya orangnya gubernur (Ali Mazi),” beber Risono secara tegas usai merespon pertanyaan hakim Arya Putra. “Nah, dicatat dalam persidangan ini. Apakah saudara bertemu karena perintah dirut, atau karena orangnya gubernur,” tanya Arya Putra lagi.
Risono mengaku, selain orang ‘titipan’ Gubernur Sultra, Glen merupakan pihak PT LAM. Tetapi, saat bertemu, Glen tak menunjukkan surat kuasa dari PT LAM. Hakim terus menanyakan alasan kuat Risono bertemu Glen.
Risono bilang, bertemu pertama kali dengan Glen Ario Sudarto di salah satu rumah makan di kawasan Senayan bersama seseorang bernama Arianto dari PT Antam.
Risono mengatakan, dalam pertemuan itu disepakati perjanjian kerjasama kerahasiaan. Beberapa klausul dalam perjanjian itu, yakni informasi yang disepakati tidak boleh disampaikan ke publik.
“Kemudian Informasi yang disepakati tidak boleh di-copy, tidak boleh difoto dan tidak boleh dibawa pulang. Kemudian perjanjian ini hanya merupakan evaluasi awal, sebelum dilakukan perjanjian kerjasama,” jelasnya.
Risono mengatakan, perjanjian kerjasama kerahasiaan antara PT Antam dan LAM ditandatangani pada 19 Mei 2021. Tetapi, saat itu PT Antam belum memiliki IUP di Blok Mandiodo, Kecamatan Molawe, Konawe Utara.
Hal ini menjadi pertanyaan hakim Arya Putra, sebab, PT LAM meminta melakukan pertambangan di Kecamatan Molawe namun, PT Antam belum memiliki izin usaha pertambangan.
“Benar gak, kalau IUP-nya saja belum turun, saudara melakukan proses eksekusi dan tanda tangan. Pertanyaan saya, apa yang menjadi keyakinan saksi, kalau IUP belum turun, berarti belum melakukan pertambangan. Belum ada IUP sudah main tunjuk,” cecar hakim ke Risono.
Selama proses perjanjian kerjasama kerahasiaan itu, Risono mengaku beberapa kali bertemu dengan Ali Mazi di Rujab Gubernur Sultra, dan Hotel Claro Kota Kendari. Dalam pertemuan itu dihadiri sejumlah orang, yakni Dana Amin, Glen Ario Sudarto.
Glen Ario Sudarto ditetapkan tersangka hingga kini berstatus terdakwa bersama 10 petinggi perusahaan tambang dan pejabat Kementerian ESDM lainnya.
Mereka adalah petinggi PT Lawu Agung Mining (LAM), Windu Aji Sutanto dan Ofan Sofwan. Direktur PT Kabaena Kromit Pratama (KKP) Andi Ardiansyah, GM PT Antam Hendra Wijayanto.
Direktur PT Tristaco Rudi Hariyadi Tjandra, Kuasa Direktur PT Cinta Jaya Agussalim Madjid dan Eks Dirjen Minerba Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin.
Berikutnya pejabat Kementerian ESDM yakni, Koordinator Pokja Pengawasan Operasi Produksi Mineral Yuli Bintoro, Evaluator RKAB Erik Viktor Tambunan, Kepala Badan Geologi Sugeng Mujianto.
Para terdakwa ini diduga melakukan penambangan ilegal di wilayah dan di luar izin usaha pertambangan (IUP) PT Antam. Tak hanya itu, para terdakwa juga melakukan penjualan bijih nikel dengan menggunakan dokumen terbang dan tidak menjualnya ke PT Antam.
Akibat perbuatan ke-11 terdakwa ini, Kejati Sultra menyebut kerugian negara mencapai Rp 5,7 triliun. Kejati Sultra juga telah menyita sejumlah aset para terdakwa diduga diperoleh dari hasil kasus dugaan korupsi tambang.(*)
Editor: Fadli Aksar