160 x 600 AD PLACEMENT
160 x 600 AD PLACEMENT

Opini: Bank Syariah, Antara Bagi Hasil dan Jual-Beli

Oleh: Mahasiswa Jurusan Ekonomi Syariah Program Pascasarjana IAIN Kendari, Nurmala N Sabon

Setelah debat antara calon wakil presiden (cawapres) pada 22 Desember 2023, media sosial ramai dengan diskusi mengenai “SGIE”, pertanyaan yang diajukan oleh salah seorang cawapres peserta debat.

SGIE adalah singkatan dari State of the Global Islamic Economy. Menurut laporan SGIE, Indonesia meraih posisi ketiga sebagai negara dengan sistem ekonomi syariah terbaik di dunia pada tahun 2023, setelah Malaysia dan Arab Saudi.

Posisi Indonesia ini didorong oleh beberapa sektor, yakni produk makanan halal, modest fashion, kosmetik dan obat-obatan halal, media dan rekreasi, terakhir ada keuangan syariah.

Di Indonesia, sektor keuangan syariah meliputi berbagai bidang, salah satunya adalah perbankan syariah. Dikarenakan jumlah populasi muslim yang besar di Indonesia, potensi pertumbuhan bank syariah juga cukup besar.

Selain berperan sebagai lembaga keuangan dengan sistem bagi hasil, bank syariah juga bertindak sebagai perantara yang memfasilitasi kebutuhan antara pemberi dan penerima pinjaman.

Prinsip-prinsip muamalah Islam yang dijalankan oleh bank syariah bertujuan untuk membantu sesama manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Lebih dari itu, prinsip muamalah dalam Islam mendorong transaksi yang terbebas dari unsur riba, gharar, dan zalim.

Transaksi keuangan menurut prinsip ajaran Islam bukan hanya sebagai sarana tolong-menolong antar sesama dan untuk menghindari praktik yang dilarang yang dapat merugikan individu lain, tetapi juga menjadi alat untuk menciptakan keadilan ekonomi dan sosial.

Dalam ajaran Islam, transaksi keuangan mencerminkan keseimbangan antara kebutuhan dunia dan kehidupan akhirat. Oleh karena itu, memperkuat prinsip-prinsip perbankan syariah menjadi strategi penting dalam memperkuat sektor keuangan syariah guna mengembangkan ekonomi syariah di Indonesia.

Secara global, kemajuan perbankan syariah ditandai dengan pembentukan Islamic Development Bank (IDB) pada tahun 1975. Badan ini didirikan oleh Organisasi Konferensi Islam dengan tujuan memberikan bantuan keuangan kepada anggotanya yang ingin mendirikan lembaga keuangan syariah, serta mendorong penelitian khususnya dalam bidang ekonomi, keuangan, dan perbankan syariah.

Indonesia, melalui ICD-Refinitiv Islamic Finance Development Report tahun 2022, mengungkapkan rencana pengembangan perbankan syariah 2020-2025 melibatkan penguatan identitas perbankan syariah, peningkatan sinergi dalam ekosistem ekonomi syariah, dan penguatan dalam perizinan, regulasi, serta pengawasan.

Dalam konteks identitasnya, bank syariah memiliki karakteristik yang esensial, yaitu prinsip tolong-menolong, keadilan, dan kesejahteraan. Menurut Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008, tujuan bank syariah adalah untuk mendukung pembangunan nasional dengan meningkatkan aspek keadilan, kesetaraan, dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.

Umer Chapra, seorang ekonom muslim kontemporer, menyatakan bahwa bank syariah memiliki tujuan sosial-ekonomi. Hal ini mengindikasikan bahwa bank syariah tidak hanya fokus pada pencapaian keuntungan semata, melainkan juga mempertimbangkan nilai-nilai Islam serta menjaga kebutuhan keseluruhan masyarakat dalam setiap kegiatannya.

Dengan mengacu pada identitasnya yang esensial, bank syariah sering kali diidentikkan dengan konsep bagi hasil atau sistem tanpa bunga ketika dibicarakan oleh kebanyakan orang.

Konsep ini muncul dari keyakinan bahwa bank konvensional yang menggunakan bunga tidak sejalan dengan ajaran Islam, sehingga diperlukan model perbankan alternatif yang berlandaskan pada prinsip tanpa bunga, yaitu prinsip bagi hasil.

Oleh karena itu, prinsip bagi hasil menjadi fondasi utama dalam perbankan syariah, menggantikan sistem bunga yang ada dalam bank konvensional. Melalui prinsip ini, keuntungan dan kerugian dibagi secara adil di antara pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak.

Namun, instrumen bagi hasil dalam bank syariah tidak begitu diminati. Lebih sering, bank syariah menggunakan akad murabahah yang didasarkan pada prinsip hutang.

Menurut Laporan Perkembangan Keuangan Syariah Indonesia 2022, total pembiayaan bank syariah telah mencapai Rp 505,94 triliun, tetapi mayoritasnya berasal dari pembiayaan di sektor konsumsi, yakni sekitar 261,62 Triliun, dengan jenis akad murabahah mendominasi dalam posisi utama pembiayaan.

Ini tidak terjadi tanpa dasar yang jelas, penggunaan akad murabahah sebagai alternatif pembiayaan disebabkan kemampuannya untuk digunakan dalam pembiayaan dengan jangka waktu yang pendek dan kemampuan untuk menentukan keuntungan secara pasti.

Hal ini menjadi jaminan bagi bank syariah untuk memberikan pengembalian (return) kepada pemilik dana (shahibul mal). Dengan kata lain, pembiayaan murabahah dipilih sebagai alternatif karena bank syariah, melalui akad ini, dapat menghindari earning of business.

Dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) NO: 04/DSN-MUI/IV.2000 tentang Murabahah, disebutkan bahwa bank syariah perlu menyediakan fasilitas murabahah bagi yang membutuhkannya, dimana bank menjual suatu barang dengan menetapkan harga beli kepada pembeli, kemudian pembeli membayarnya dengan harga yang lebih tinggi sebagai keuntungan.

Salah satu dasar hukum akad ini adalah firman Allah SWT dalam Surat al-Baqarah (2): 275 yang menyebutkan “…Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…“. Dalam Fatwa NO: 111/DSN-MUI/IX/2017 tentang akad jual beli Murabahah, disebutkan bahwa pihak-pihak yang terlibat adalah al-Ba’i atau penjual dan Al-Musytari atau pembeli.

Ini menunjukkan bahwa hubungan antara bank syariah dan nasabah melalui akad ini tidak lebih seperti hubungan antara penjual dan pembeli atau pemberi dan penerima pembiayaan.

Perbedaan dengan akad mudharabah, dalam fatwa DSN NO: 07/DSN-MUI/IV/2000 terkait akad mudharabah menunjukkan bahwa pengelola modal (mudharib) diizinkan untuk menjalankan berbagai jenis usaha yang telah disetujui secara bersama dan sesuai dengan prinsip syari’ah.

Bank syariah tidak terlibat dalam manajemen usaha, namun memiliki hak untuk memberikan bimbingan dan melakukan pengawasan. Dalam konteks ini, mudharabah dipahami sebagai bentuk kemitraan antara pemilik modal (shahibul mal) dan pengusaha (mudharib) untuk melakukan usaha bersama, dengan keuntungan dibagi sesuai dengan proporsi yang telah disepakati bersama.

Berdasarkan hal tersebut, bank syariah dan para pelaku ekonomi Islam memiliki pekerjaan rumah yang harus segera diatasi. Pertama adalah bagaimana mengatasi stigma terhadap praktik yang umum digunakan dalam bank syariah, khususnya dengan akad murabahah, yang sering dianggap memiliki kesamaan dengan sistem bunga yang diterapkan dalam bank konvensional.

Mengingat bank syariah dijiwai oleh prinsip-prinsip tolong-menolong kerjasama, dan kebermanfaatan, maka sistem murabahah dalam praktiknya dengan pertimbangan harga pasar perlu direvisi.

Kedua, fokus utama bank syariah sebagai institusi keuangan untuk mencapai kesetaraan kesejahteraan masyarakat seharusnya lebih tertuju untuk menggerakkan sektor keuangan mikro.

Tantangan utamanya bagi bank syariah adalah memberikan peluang kepada seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali, sehingga masyarakat dapat mengakses modal yang diperlukan untuk meningkatkan taraf hidupnya, atau lebih sederhananya, memperbaiki upaya dalam mendukung pertumbuhan sektor riil.

Menurut Laporan Keuangan Syariah tahun 2022, mayoritas pembiayaan masih didominasi oleh sektor konsumsi dengan murabahah sebagai akad teratas yang digunakan.

Jika pembiayaan bisa beralih dari murabahah ke akad kerjasama dan bagi hasil, maka hal ini akan memberikan dampak berlipat ganda (multiple effects).

Usaha yang produktif akan menghasilkan pengembalian keuntungan (return) yang lebih besar untuk bank syariah, menciptakan lapangan kerja, dan akan berdampak positif pada kesejahteraan semua pihak yang terlibat.

Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa akad murabahah juga bisa digunakan untuk pembiayaan produktif jika diarahkan pada perolehan barang untuk modal kerja.

Bank syariah harus meningkatkan pembiayaan (lending) kepada nasabah melalui skema kemitraan atau bagi hasil dalam mendukung usaha masyarakat.

Bank syariah harus menghindari semata-mata mencari keuntungan. Hal ini sangat penting karena bank syariah didasarkan pada prinsip-prinsip tolong-menolong (at-ta’awun), keadilan (al-‘adl), dan kesejahteraan (al-falah).(Opini)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like