Oleh : La Ode Muhammad Dzul Fijar
(Pemerhati Hukum, Konstitusi dan HAM)
Setelah Jumat 24/11/2023, tepat seminggu peristiwa tertembaknya 4 (empat) nelayan belum di “lidik” oleh Kepolisian. Mulanya, di waktu sore beredar kabar 4 nelayan tertembak orang tak dikenal.
Selang beberapa waktu kemudian, saat malam oleh Dirpolairud Polda Sultra, menyatakan pelaku penembakan adalah Oknum (sebutan) anggota Polairud Polda Sultra.
Hari-hari berikutnya rentetan potongan fakta kejadian dimunculkan ke publik. Potongan fakta itu kemudian menjadi perdebatan yang tak terhenti sampai saat ini. Khusus tentang
“BOM IKAN, PERLAWANAN & PENEMBAKAN”.
Potongan Fakta
Singkatnya, potongan fakta yang dipublikasikan lewat media-media yakni, maraknya pengeboman ikan yang dilakukan nelayan di wilayah cempedak. Kemudian ditindaklanjuti dengan penyelidikan/patroli di wilayah perairan cempedak. Terlihat oleh Anggota Polairud 4 (empat) Nelayan sedang mencari ikan, dilakukan lah pemeriksaan oleh Bripka A terhadap kapal yang digunakan nelayan.
Sesaat dilakukan pemeriksaan mulailah suasana tak terkendali. Lewat Humas dan Dir. Polairud Polda Sultra, menyatakan bahwa Bripka A melihat gabus yang diduga berisi botol kaca yang digunakan sebagai bahan peledak (BOM).
Kemudian adanya perlawanan nelayan yang menombak Bripka A menggunakan dayung, upaya perebutan senjaya, dan perahu yang digoyang-goyangkan oleh nelayan.
Penembakan, sebanyak 5 (lima) letupan senjata api dilancarkan oleh Bripka A secara acak dan tidak terarah. Bripka A pun tidak mengetahui apakah proyektil peluru miliknya menembus badan nelayan atau tidak.
Sebab gelap gulita ditengah malam, dan 4 (empat) nelayan yang langsung melompat ke Laut. Dilakukannya proses etik, pengumpulan bahan dan keterangan (Pulbaket). Beberapa bukti sudah dirilis ke media.
Namun tidak BOM yang ditemukan. Alasannya, 20 bom yang siap ledak ditaruh dalam kotak gabus telah di buang laut. Yang ditemukan hanya gabus yang terapung. Selain mengumpulkan bukti, beberapa Saksi-saksi dan korban telah dimintai keterangan.
Men-delay Proses Pidana
Telah memasuki waktu 10 hari sejak tertembak nya 4 (empat) orang nelayan. 2 (dua) orang telah meninggal, sedang 2 (dua) nya masih menjalani perawatan.
Desas-desus penembakan tak terarah nyatanya menyasar pada badan 4 (empat) orang nelayan dan berhasil merenggut nyawa 2 (dua) orang nelayan tak juga terjawab secara terang hingga saat ini. Kini proses pemeriksaan etik menjadi benteng untuk menenangkan situasi.
Tentunya sembari menunggu hasil pemeriksaan etik, kotak pandora atas peristiwa pidana yang terjadi wajib dibuka oleh Kepolisian. Memasuki waktu 10 hari rasa-rasanya proses penegakkan hukum yang sedang berproses patut dipertanyakan.
Sudah sejauh mana institusi tempat oknum penembakan nelayan melakukan kerja-kerja penegakkan hukum nya? Sebab saat ini masih bersandar pada proses penegakan etik yang mendelay proses pidana, Lidik-Sidik.
Tidak ada penekanan terhadap Uji Balistik, seperti case tewasnya Randi-Yusuf, mahasiswa UHO yang tewas setelah melakukan aksi September 2019. Ketika itu hasil uji balistik memberikan jawaban, Brigadir AM adalah pelaku penembakan alm. Randi.
Namun bagaimana dengan kematian alm. Yusuf, yang hingga saat ini sebab mati nya tak diketahui. September 2019, menjadi catatan penting bagaimana kekerasan/kejahatan lahir dari Oknum Kepolisian.
Hingga saat ini, tak ada klarifikasi resmi yang diungkapkan, apa yang menjadi hambatan dalam penanganan perkara tersebut. Menunggu hasil autopsi kah? Atau perlu dilakukan uji balistik? Atau ada hal lain? Yang ditemukan sebatas pernyataan bahwa menunggu proses etik.
Tentunya tanya tersebut dipantik agar pertanyaan terhadap proses penanganan perkara bisa terbuka ke publik, tak hanya proses etik yang ditegakkan, proses pidana pun harus dilaksanakan sesegera mungkin.
Korban telah berjatuhan, 2 (dua) orang telah tewas. Yang sebab matinya tak lain karena timah panas/peluru tajam yang bersarang dalam tubuh korban. Sedang 2 (dua) korban lainnya masih menjalani perawatan. Muasal peluru dari Senjata milik Bripka A, di tembakan secara acak tak beraturan di malam yang gelap gulita karena membela diri.
Sejatinya proses pengungkapan kasus oleh Aparat Penegak Hukum tak bisa di intervensi oleh pihak eksternal. Proses panjang kopi sianida yang menyeret Jessica Kumala Wongso menjadi cerminan kerja-kerja penegakan hukum. Rumit, tapi terungkap.
Walaupun belakangan setelah film “Ice Cold : Murder, Coffee and Jesicca Wongso”, dirilis Netflix kasus tersebut masih menyisakan misteri. Belum lidik, maka belum pula sidik. Singkat proses pidana belum dilakukan selang 10 hari peristiwa penembakan nelayan.
Hanya dalih proses etik yang mendelay proses pidana yang diterangkan. Jika lidik belum dilakukan maka rangkaian tindakan penyelidik mengumpulkan alat bukti tak belum dilakukan. Peristiwa menjadi tanya, apakah merupakan peristiwa pidana atau peristiwa alamiah?
Aneh bin ajaib, lantas autopsi dan visum et repertum yang telah dilakukan, bagaimana dengan hasil nya? Publik telah menarik kesimpulan, 4 nelayan yang ditembak Oknum Polairud, 2 (dua) diantaranya telah meninggal.
Sepertinya sudah cukup mengantar nalar kita bahwa Penembakan 4 (empat) orang nelayan yang mengakibatkan 2 (dua) orang nelayan meninggal dan 2 (dua) lainnya menjalani perawatan bukanlah peristiwa alamiah namun peristiwa pidana.
Hingga kini kita tak mendengar adanya pernyataan dari pihak kepolisian terkait progress penanganan kasus tersebut. Bahkan untuk melakukan penyelidikan nampaknya kepolisian kita kehilangan ketajaman strategi penyelidikan.
Berlarut dengan men-delay proses pidana mengaduk-aduk logika dan emosi publik, sesulit itukah menyatakan peristiwa penembakan nelayan yang dilakukan oknum Polairud adalah suatu peristiwa pidana hingga dapat dilakukan penyelidikan.
Mendiamkan proses pidana dan mendahului proses etik, tak akan menyelesaikan masalah. Cukup kematian alm. Yusuf yang menjadi alibi dan tameng berlarut nya proses lidik yang dilakukan.
Extrajudicial Killing
Law enforcement duties, mengedepankan langkah-langkah preventif dalam penegakkan hukum sebatas simbol. Sambo cs, begitu sadis menyusun rencana merenggut nyawa Brigadir Yosua. Bidikan yang sangat tepat sasaran oleh Brigadir AM, yang tidak meninggalkan proyektil peluru dalam tubuh alm. Randi.
Enam orang laskar FPI yang tewas dijalan Tol Jakarta-Cikampek setelah ditembak oleh Aparat Kepolisian.
Pilihan untuk merenggut nyawa manusia, yang tidak didasarkan pada hukum melainkan tindakan kekerasan dan kejahatan sudah berulang kali terlaksana. Pelaku disebutkan sebagai oknum dari suatu institusi merasa diberikan hak untuk menumpas kejahatan dengan membunuh terduga pelaku kejahatan
Bukan Vigilante, julukan bagi seorang calon polisi yang sedang melaksanakan pendidikan di Universitas Kepolisian Korea dalam menghabisi/membunuh para pelaku kejahatan yang divonis ringan oleh Pengadilan.
Masyarakat menjulukinya sebagai Vigilante, setelah menjalani vonis yang ringan pelaku kejahatan merasakan udara bebas, namun tak lama harus berhadapan dengan Vigilante yang dengan sadis menghabisi nyawa para korbannya.
Penembakan masyarakat oleh oknum Kepolisian di Sulawesi Tenggara bukan hal baru yang didengar. Rentetan peristiwa yang paling banyak disoroti adalah penembakan Randi-Yusuf.
Hal mana pelaku penembakan Randi Brigadir AM telah divonis 4 tahun penjara oleh Pengadilan Jakarta Selatan. Sedang kasus kematian alm. Yusuf masih berkutat pada proses penyelidikan.
Kemarin, nelayan yang “diduga” akan melakukan pengeboman ikan harus dihadiahi timah panas/peluru tajam oleh Bripka A. Mirisnya Pelaku Penembakan tidak melaporkan hal tersebut.
Peristiwa terjadi pada Jumat tengah malam sekira pukul 02.00 wita dini hari (24/11/2023), Kabar penembakan nelayan diketahui Jumat sore, (24/11/2023) ketika itu pelaku tak dikenal dan Polisi akan menyelidiki nya.
Sampai pada Jumat malam, (24/11/2023), oleh Dirpolairud Polda Sultra menyatakan pelaku penembakan adalah Oknum Polairud. Membunuh terduga pelaku kejahatan tanpa proses hukum/tidak berdasarkan hukum adalah extra judicial killing.
Sebab melanggar prinsip dasar hak hidup yang tak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable rights). Extrajudicial killing yang dilakukan Aparat Kepolisian di luar putusan pengadilan adalah tindakan represif tanpa dijalankan sesuai dengan prosedur hukum acara pidana.
Namun yang menjadi catatan pengecualian tindakan extrajudicial killing tersebut tidak dilakukan dalam keadaan membela diri ataupun melaksanakan perintah undang-undang.
Pun jika berdalih dilakukan dalam hal pembelaan diri, bagaimana menilai keterukuran pembelaan diri tersebut? Sebab nyawa seseorang tak bisa dikesampingkan hanya dengan alasan pembelaan diri. Pembelaan diri harus betul-betul dapat dibuktikan sehingga pembelaan terpaksa dapat menjadi alasan penghapus pidana bagi pelaku.
Apabila pembelaan terpaksa tidak dapat dibuktikan perbuatan extrajudicial killing adalah pelanggaran HAM berat (Pasal 104 UU 39/1999), sebab menghilangkan nyawa seseorang secara sewenang-wenang di luar putusan pengadilan.
Professional-Transparan
Kini, penulis mencoba menyelami apakah mungkin berlarut hingga 7 (tujuh) hari sejak, Jumat 24/11/2023 hingga saat ini adalah pilihan untuk menegakkan proses etik dengan mengenyampingkan proses pidana yang dinanti-nanti oleh Publik dan Nelayan-nelayan lainnya. Atau mungkin kepolisian lebih mendalami peristiwa untuk menampik adanya dalih pembelaan terpaksa dari pelaku?
Tidak lagi dengan permohonan kata maaf dan sejumput rayu-raju janji. Pun sikap empati terhadap keluarga Korban dengan memberikan santunan. Sebab kata maaf bukanlah alasan penghapus pidana. Upaya pengungkapan secara cepat nan professional dibutuhkan publik saat ini, ditengah merosotnya kepercayaan publik atas institusi kepolisian.
Selain itu, pengungkapan kasus penembakan nelayan bukan hanya sekadar kepentingan keluarga korban semata, namun ada kepentingan publik, bahwa setiap nyawa negara hukum ini adalah tanggung jawab negara, sehingga penghilangan nyawa dengan kekerasan harus dibalas setimpal dengan hukum yang berlaku.
Penanganan secara professional dan transparan atas kasus ini akan memberikan pembelajaran kepada aparat kepolisian dikemudian hari, tidaklah boleh lagi berulang dengan pola-pola kekerasan/penembakan yang akhirnya-menghilangkan nyawa. Betapa otoriternya nan buasnya hal itu.
Segara membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta yang independen. Sebab proses pidana harus berjalan tegak lurus tanpa intervensi ataupun perlindungan bagi pelaku.
Penyelidikan dan penyidikan dilaksanakan dengan terbuka dan berdasarkan fakta-fakta. Lainnya, Komnas HAM harus menelisik lebih dalam dan mengawal peristiwa penembakan yang terjadi.
Menanti harapan, dibawah kepemimpinan Irjen Pol Teguh Pristiwanto pengungkapan penembakan nelayan bisa dilakukan secara profesional dan transparan.
Tak ada lagi misteri yang disembunyikan, cukup misteri kematian alm. Yusuf yang tertinggal. Tak ada lagi misteri kejahatan yang tak bisa dipecahkan. Tak ada lagi intrik atau trik untuk menyembunyikan kejahatan yang keji seperti Sambo CS.
Akhirnya, ditengah malam yang sepi dibawah bulan yang menerangi lautan, kita semua berharap masih ada nelayan yang memberanikan diri untuk mencari ikan.
Kita berharap masih ada polisi baik seperti Jenderal Hoegeng yang memperhatikan hak-hak asasi manusia. Kita berdoa, berucap meminta kepada tuhan, bersujud dalam tangis semoga tak ada lagi letupan senjata yang terdengar memecah keheningan malam ditengah lautan yang menyasar para nelayan.(*)