MATALOKAL.COM, KENDARI – Kejati Sultra melaporkan hakim Pengadilan Negeri (PN) Tipikor Kendari, ke Komisi Yudisial (KY) lantaran menjatuhkan vonis bebas kepada 2 terdakwa korupsi, Ridwansyah Taridala dan Syarif Maulana.
Tak hanya itu, jaksa penuntut umum (JPU) Kejati Sultra juga memboikot persidangan dengan walk out dari ruang sidang perkara dugaan korupsi terdakwa korupsi eks Wali Kota Kendari, Sulkarnain Kadir, pada Rabu (15/11/2023).
JPU Kejati Sultra, Edwin Beslar menuding, ketua majelis hakim PN Tipikor Kendari, Nursina berpihak dan punya kepentingan dalam perkara ini.
Salah satunya saat pemeriksaan terdakwa Syarif Maulana. Saat itu, JPU menanyakan uang yang mengalir ke salah satu terdakwa yakni Sulkarnain Kadir. Tetapi majelis hakim membatasi JPU untuk mencecar terdakwa.
“Majelis hakim membatasi dan tidak memberikan kesempatan kepada JPU untuk bertanya. Menurut majelis hakim itu bukan bagian dari dakwaan dan tidak boleh melebar,” ujar Edwin.
Padahal menurut Edwin, itu bagian dari pembuktian JPU untuk meyakinkan majelis hakim bahwa ada tindak pidana pemerasan atau supa sebagaimana dalam dakwaan jaksa.
Akibat dari masalah itu, Edwin dan 4 JPU yang lain memilih walk out meninggalkan ruang sidang. Pihaknya juga meminta majelis hakim untuk diganti.
Bagi Edwin, sikap JPU itu sudah diatur dalam 120 KUHAP, yakni mempersilahkan penuntut umum meminta majelis hakim untuk mengundurkan diri dari persidangan.
“Makanya kami mengambil sikap itu (walk out). Tapi sebelum kami mengambil sikap, pada 13 November 2023, sudah melapor ketua majelis hakim ke Komisi Yudisial terkait kode etik perilaku hakim,” tegas Edwin.
JPU Kejati Sultra memastikan, tak akan mengikuti sidang perkara dugaan suap Sulkarnain Kadir selama majelis hakim tidak diganti.
“Selama belum ada pergantian (majelis hakim), kami tidak akan datang di persidangan atas nama Sulkarnain Kadir,” tandasnya.
Dianggap Hina Pengadilan
Sebelumnya, JPU Kejati Sultra meninggalkan persidangan saat sidang pemeriksaan saksi untuk perkara terdakwa Sulkarnain Kadir. Kelima JPU itu yakni Edwin Beslar, Muhammad Yusran, Ari Rahael, Anita Daud dan Zainuddin.
Kuasa Hukum Sulkarnain Kadir, Baron Harahap menjelaskan, walk out para JPU itu terjadi ketika hendak digelar pemeriksaan saksi-saksi, dari jaksa, yakni Sukirman dan pihak PT MUI.
Namun, sebelum pemeriksaan saksi, JPU mau menyatakan sikap dan diizinkan oleh majelis hakim. Dalam pernyataan sikap itu, JPU meminta majelis hakim yang memeriksa perkara ini untuk mundur.
Selain itu, para JPU ini meminta dibentuk majelis hakim yang baru. Alasannya adalah karena 2 perkara yang lain, terdakwa Ridwansyah Taridala dan Syarif Maulana divonis bebas.
“Mereka (JPU) menyatakan tidak akan mengikuti sidang ketika majelis hakim belum diganti, mereka kemudian walk out. Majelis hakim sempat meminta mereka untuk tetap duduk di ruang sidang, tetapi mereka keluar nyelonong begitu saja,” bener Baron ditemui usai sidang.
Baron mengaku keberatan dengan sikap JPU tersebut. Karena ketika korps Adhyaksa tersebut tidak puas dengan putusan majelis hakim, ada jalur kasasi yang bisa ditempuh tanpa meninggalkan ruang sidang.
“Keberatan mereka dengan 2 perkara yang diputus bebas itu, tidak pantas rasanya ditumpahkan di kasus Sulkarnain Kadir, sebab, itu perkara yang berbeda,” tegas Baron.
Menurut Baron, pihak berperkara yang tidak sopan dalam persidangan, yakni meninggalkan ruangan, tidak menaati perintah majelis hakim merupakan tindakan contempt of court atau penghinaan pengadilan.
Akibat kejadian itu, Baron meminta majelis hakim untuk menetapkan perilaku JPU sebagai contempt of court. Apalagi mereka sengaja meninggalkan persidangan tanpa alasan yang jelas.
“Kalau sekarang ada namanya obstraction of justice, menghalang-halangi proses persidangan. Ini penghinaan yang sebesar-besarnya kepada pengadilan. Saya puluhan tahun bersidang, baru saya melihat proses persidangan seperti ini,” imbuhnya.
“Bagaimana bisa majelis hakim ditekan sedemikian rupa, dihina-hinakan, mereka mengabaikan perintah yang disampaikan ke majelis hakim,” tambah Baron.
Baron berharap, majelis hakim serius menegakkan kekuasaan kehakiman dalam kasus ini, agar tidak mudah diintervensi. “Kalau mereka ada problem kode etik, silahkan saja laporkan kode etiknya (di KY),” jelas Baron.
Baron bilang, ketika JPU tidak bisa membuktikan dakwaan dan tuntunannya, tidak boleh seolah-olah menyebut ada keberpihakan. Sehingga, baginya, tindakan jaksa adalah intervensi bagi kekuasaan kehakiman.
“Kita berharap pengadilan bisa menjaga independensinya, menjaga kemerdekaannya supaya tidak bisa ditekan. Kalau mengikuti pikiran jaksa, kecuali hakim yang sejalan dengan mereka, itu yang diinginkan untuk menangani perkara,” tandasnya.
Sementara itu, Humas PN Kendari, saat dihubungi mengaku belum bisa menanggapi masalah ini.(*)
Editor: Fad5