160 x 600 AD PLACEMENT
160 x 600 AD PLACEMENT

PT GKP Gugat UU Pulau-Pulau Kecil di MK, Warga Wawonii Ajukan Diri Sebagai Pihak Terkait

Kendari – Warga Pulau Wawonii dan koalisi masyarakat sipil mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai pihak terkait dalam permohonan uji materiil PT Gema Kreasi Perdana (GKP).

PT GKP sendiri menggugat Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf (k) dalam Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (PWP3K).

Permohonan warga Pulau Wawonii ini merupakan upaya agar MK tidak memenangkan permohonan judicial review PT GKP yang ingin melegalkan pertambangan di pulau-pulau kecil.

Juru Kampanye Trend Asia, Arko Tarigan mengatakan, sejak 8 Agustus 2023 koalisi masyarakat sipil telah mengajukan permohonan informasi perkembangan pemeriksaan perkara dan/atau tahapan perkara Nomor: 35/PUU-XXI/2023 ke MK.

Namun, hingga saat ini belum ada respons terkait permohonan informasi tersebut. Sebelumnya, koalisi masyarakat sipil memantau perkembangan perkara melalui situs resmi MK.

“Kami menemukan informasi 9 Mei 2023 pukul 13.30 WIB terdapat agenda perbaikan permohonan kedua untuk pemohon PT GKP. Namun, sampai 24 Agustus 2023 koalisi masyarakat sipil tidak mendapatkan jawaban perkembangan perkara oleh MK,” kata Arko.

Selanjutnya, menurut Arko, pada 30 Agustus 2023 atau 4 bulan setelah PT GKP diminta untuk melakukan perbaikan, MK tetap akan melanjutkan persidangan.

Padahal perbaikan permohonan hanya diberikan waktu 14 hari kerja sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

“Ini menjadi suatu hal yang janggal, seharusnya Mahkamah Konstitusi sudah membatalkan terkait uji materiil yang diajukan oleh PT GKP,” tegasnya.

Tak Terima Putusan MA

PT GKP mengajukan uji materiil untuk beberapa pasal dalam UU PWP3K, sebab anak perusahaan Harita Group tersebut tak terima dengan putusan Mahkamah Agung.

Putusan MA sendiri mengabulkan permohonan judicial review warga Pulau Wawonii atas Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2021 tentang RTRW Kabupaten Konkep yang memberikan ruang untuk pertambangan.

Dalam permohonan uji materiil tersebut, warga Wawonii berargumen bahwa Perda No.2/2021 bertentangan dengan UU PWP3K yang melindungi pulau-pulau kecil dari aktivitas pertambangan.

MA pun mengabulkan permohonan warga dan membatalkan beberapa pasal yang mengatur alokasi ruang untuk kegiatan pertambangan di Kabupaten Konawe Kepulauan.

Puluhan warga Konawe Kepulauan (Konkep), didampingi kuasa hukum dari Integrity Law Firm Prof Denny Indrayana dkk, menggugat Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Gema Kreasi Perdana (GKP) di Pengadilan Tata Usaha Kendari

Putusan MA tersebut menguatkan bahwa PT GKP tidak memiliki legitimasi untuk melakukan aktivitas pertambangan nikel di Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan.

Sebab pulau itu masuk dalam kategori pulau kecil karena memiliki luas hanya 706 km². Sesuai dengan UU No.27/2007, pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km².

Dalam permohonan judicial review-nya, PT GKP melayangkan pengubahan pada Pasal 35 huruf (k):

“Dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, setiap orang secara langsung atau tidak langsung dilarang melakukan penambangan mineral pada wilayah yang apabila secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya.”

Kata “apabila” dalam pasal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum yang berdampak pada kerugian warga. Permohonan uji materiil tersebut merupakan upaya perusahaan melegalkan aktivitas tambang di Pulau Wawonii, walaupun secara hukum pertambangan dilarang di pulau-pulau kecil.

Pasal 35 dalam UU PWP3K memuat larangan atas kegiatan penambangan pasir, minyak gas, dan mineral karena kerentanan yang dimiliki wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

“Aktivitas pertambangan di Pulau Wawonii dan pulau-pulau kecil lainnya sudah seharusnya tidak dilakukan mengingat pulau-pulau kecil termasuk dalam wilayah yang rentan untuk kegiatan ekstraktif dan eksploitatif,” ujar Juru Kampanye Trend Asia Wildan Siregar.

Jika permohonan PT GKP dikabulkan oleh MK, maka aktivitas tambang tak hanya dilegalkan di Pulau Wawonii, tetapi seluruh wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia.

Dengan demikian, kerusakan ekologis hingga konflik sosial akibat perusahaan tambang yang tidak menaati UU No.27/2007 akan semakin masif.

Juru Kampanye Seknas KIARA Fikerman Saragih menyebutkan, seharusnya MK menolak uji materil terhadap UU PWP3K yang diajukan oleh PT GKP untuk menyelamatkan pulau-pulau kecil di seluruh Indonesia dari cengkraman industri pertambangan.

Dengan demikian, ada sinkronisasi produk hukum yang dihasilkan oleh MK dan MA untuk melindungi pulau-pulau kecil dari ancaman pertambangan.

Fikerman mengatakan, MK seharusnya mengikuti langkah MA dalam menyelamatkan pulau-pulau kecil dari ancaman industri pertambangan.

Dalam putusan MA No.57P/HUM/2022 telah menyebutkan bahwa secara filosofis, Wawonii merupakan pulau yang rentan sehingga membutuhkan perlindungan khusus.

“Kegiatan pertambangan dikategorikan sebagai abnormally dangerous activity yang harus dilarang dilakukan karena akan mengancam kehidupan seluruh makhluk hidup yang ada di Pulau Wawonii,” ujarnya.

Bahkan, jika dilihat dari respons masyarakat Wawonii, mereka menolak masuknya PT GKP dalam ruang hidup, karena pertambangan mengancam keberlanjutan sumber-sumber penghidupan masyarakat maupun lingkungan.

Selama ini, kehidupan masyarakat Wawonii sudah sejahtera dan tidak ada konflik horizontal di internal warga tanpa adanya industri pertambangan.

“Tetapi faktanya, masuknya pertambangan di Pulau Wawonii tidak sesuai dan tidak menjawab kebutuhan masyarakat untuk mensejahterakan mereka, karena mereka telah sejahtera dari hasil bertani/berkebun dan lautnya,” lanjutnya.

Aktivitas Tambang PT GKP Cemari Lingkungan

Kegiatan pertambangan yang dilakukan PT GKP telah mencemari lingkungan Pulau Wawonii. Tiga sumber mata air yang digunakan warga kini keruh bercampur dengan lumpur.

Imbasnya warga tak lagi memiliki akses air bersih untuk aktivitas sehari-hari, seperti mandi, mencuci, hingga untuk dikonsumsi. Lebih parahnya lagi, keragaman flora dan fauna di Pulau Wawonii juga terancam keberadaannya.

Sungai Roko-Roko yang dulu jernih kini menjadi kemerahan. Akibatnya ikan Lompamea yang dijadikan cadangan protein oleh warga Wawonii bahkan bahan pangan untuk pesta atau ritual adat, tak lagi ditemukan di sungai tersebut akibat sudah tercemar.

Burung maleo bahkan penyu yang bertelur di daerah pesisir juga terancam hilang akibat perusahaan yang membangun jetty di habitat mereka.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)/ Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mencatat ada sekitar 1.000 jenis tumbuhan di Pulau Wawonii. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari ada sekitar 200 jenis tumbuhan yang digunakan sebagai bahan pangan, papan, obat, hingga kosmetika.

Beberapa di antaranya berupa, kelapa, cokelat, cengkih, dan jambu mete. Tetapi, PT GKP melakukan penyerobotan lahan, seperti yang terjadi 9 Agustus 2023 lalu. PT GKP merangsek lahan tanaman cengkeh milik warga Wawonii menggunakan alat berat.

Kerusakan yang diakibatkan oleh perusahaan tentunya berpengaruh pada sumber ekonomi warga yang mayoritas berprofesi sebagai petani dan nelayan.***

Editor: FAD5

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like