Kendari – Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara (Kejati Sultra) akhirnya merilis perhitungan kerugian negara kasus korupsi pertambangan dan penjualan bijih nikel ilegal di Blok Mandiodo, Kabupaten Konawe Utara (Konut)
“Kerugian negara akibat pertambangan nikel di Blok Mandiodo Konawe Utara berdasarkan perhitungan sementara auditor mencapai Rp5,7 triliun,” kata Asintel Kejati Sultra, Ade Hermawan pada Rabu (12/7/2023).
Meski begitu, Ade belum menjelaskan secara detil dari mana angka kerugian negara tersebut, berikut item-item perhitungan yang dilakukan auditor.
Kejati Sultra telah menetapkan 4 orang sebagai tersangka, yakni Direktur Utama PT Lawu Agung Mining (LAM) Ofan Sofwan, Direktur PT Kabaena Kromit Pratama (KKP) Andi Adriansyah, Pelaksana Lapangan PT LAM, Glen dan GM PT Antam, Hendra Wijayanto.
Dari keempat tersangka ini, hanya Andi Adriansyah yang belum ditahan lantaran masih buron dari panggilan penyidik Kejati Sultra. Andi Adriansyah pun dimasukkan dalam daftar pencarian orang (DPO).
Teranyar, Dirut PT LAM, Ofan Sofwan ditangkap tim penyidik Kejati Sultra di Jakarta Barat, usai dua kali mangkir dalam pemeriksaan sebagai tersangka, pada Rabu (12/7/2023) sore.
Duduk Perkara
Perkara dugaan korupsi yang tengah digarap Kejati Sultra ini terkait penambangan ilegal dan penjualan bijih nikel di kawasan izin usaha pertambangan (IUP) PT Antam.
PT Antam diduga secara ilegal melakukan kerja sama operasional (KSO) dengan PT LAM dan Perusda di atas lahan 22 hektare. PT LAM selanjutnya, merekrut 38 perusahaan kontraktor untuk menambang nikel di dalam konsesi PT Antam tersebut.
Namun, puluhan perusahaan ini menambang di luar IUP PT Antam dengan menerabas kawasan hutan hingga mencapai 157 hektare. Padahal, lahan yang bisa digarap karena memiliki RKAB hanya 40 hektare.
Kepala Kejati Sultra, Patris Yusrian Jaya mengatakan, hasil penambangan ilegal itu dijual ke smelter PT Antam dan pabrik lain dengan meminjam dokumen PT KKP dan perusahaan lain.
“Jadi dokumen terbang ini cuma modus saja. Penambangan ilegal ini bisa dijual ke smelter dengan menggunakan dokumen palsu, seolah-olah nikel ini berasal dari perusahaan tersebut,”
“Jadi (bijih) nikel ilegal ini dilegalkan dengan dokumen palsu, dalam praktek pertambangan dikenal dengan dokumen terbang, dimiliki perusahaan yang memiliki wilayah IUP dan RKAB, tetapi tidak ada lagi deposit, atau depositnya tidak sebesar RKAB,” tandasnya.***
Penulis: FAD