Kendari – Direktur Utama (Dirut) PT Lawu Agung Mining (LAM) Ofan Sofwan ditetapkan sebagai tersangka korupsi penjualan bijih nikel di Konawe Utara (Konut), Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra).
Ofan Sofwan ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara (Kejati Sultra) setelah beberapa kali menjalani pemeriksaan sebagai saksi.
“Kita menetapkan lagi satu tersangka yaitu saudara OFN (Ofan Sofwan), selaku Direktur PT Lawu Agung Mining,” ungkap Kajati Sultra, Patris Yusrian Jaya di kantornya, pada Kamis (22/6/2023) sore.
Patris Yusrian Jaya menjelaskan, sebagai direktur PT LAM, Ofan Sofwan menandatangani kerjasama dengan PT Antam dan merekrut 39 lebih perusahaan kontraktor untuk menambang di Blok Mandiodo
“Dia (Orang Sofwan) yang menandatangani KSO dengan PT Antam. Dia juga yang menentukan klausul-klausul beberapa perusahaan sebagai mitra PT Lawu Agung Mining,” jelasnya.
Mantan Wakajati DKI Jakarta itu mengatakan, dari 39 perusahaan kontraktor ini, beberapa di antaranya sudah menggarap di konsesi PT Antam, dan adapula yang belum sama sekali menambang.
Meski sudah ditetapkan sebagai tersangka, Ofan Sofwan belum ditahan, lantaran penyidik Kejati Sultra masih akan melakukan panggilan pemeriksaan.
Total 4 orang sudah ditetapkan sebagai tersangka, 3 di antaranya yakni Pelaksana Lapangan PT LAM, Glen, Direktur PT Kabaena Kromit Pratama (KKP) Andi Adriansyah dan GM PT Antam Hendra Wijayanto.
Dari 4 tersangka ini, baru Pelaksana Lapangan PT LAM Glen yang ditahan. Sementara 3 lainnya masih akan diperiksa sebagai tersangka.
Patris Yusrian Jaya mengatakan, 2 tersangka yakni Andi Adriansyah dan Hendra Wijayanto dijadwalkan akan diperiksa sebagai tersangka pada Jumat (23/6/2023) besok.
“Besok dua tersangka, dijadwalkan akan diperiksa. Ditahan atau tidak, tergantung kondisi dan pertimbangan penyidik,” tandasnya.
Duduk Perkara
Perkara dugaan korupsi yang tengah digarap Kejati Sultra ini terkait dugaan penambangan ilegal dan penjualan bijih nikel di kawasan izin usaha pertambangan (IUP) PT Antam.
“Ini terkait KSO (kerja sama operasional) PT Antam dengan PT Lawu dan Perusda yang melakukan kerjasama penambangan di areal seluas 22 hektare di wilayah IUP PT Antam,” ungkap Patris Yusrian Jaya.
Selain di atas konsesi PT Antam, 12 perusahaan lain juga menambang di luar izin 22 hektare secara ilegal dan menjual bijih nikel ke tempat lain dengan meminjam dokumen PT KKP serta perusahaan lain.
Dari hasil penambangan tersebut, hanya sebagian kecil dijual ke PT Antam, sisanya dijual kepada smelter lain menggunakan dokumen palsu, atau dokumen terbang dari PT KKP dan beberapa perusahaan tambang lainnya.
“Jadi dokumen terbang ini cuma modus saja. Penambangan ilegal ini bisa dijual ke smelter dengan menggunakan dokumen palsu, seolah-olah nikel ini berasal dari perusahaan tersebut,”
“Jadi (bijih) nikel ilegal ini dilegalkan dengan dokumen palsu, dalam praktek pertambangan dikenal dengan dokumen terbang yang dimiliki perusahaan yang memiliki wilayah IUP dan RKAB, tetapi tidak ada lagi deposit, atau depositnya tidak sebesar RKAB,” tandasnya.
Dari kasus ini, penyidik sudah memeriksa 47 saksi, 38 di antaranya perusahaan kontraktor yang menandatangani kontrak kerjasama operasional dengan PT Lam sejak 2021 hingga 2023.***